Mubadalah.id – Teman-teman yang sudah menikah, berapa tahunkah kalian sudah mengarungi bahtera rumah tangga? Bagaimana rasanya? Enak atau tidak enak? Tentu banyak sisi lain perkawinan yang membuat kita terus belajar, bagaimana menjadi pasangan suami istri yang saling melengkapi, atau menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak.
Saya tertarik mengulasnya, setelah sepagian ini, dalam sekali duduk membaca buku “Belahan Jiwa: untuk wanita yang kuhadiahi bunga wol rajutan ibuku” karya Tasaro GK, seorang mantan jurnalis yang kini banyak melahirkan novel, dan buku refleksi sederhana sebagaimana judul di atas.
Membaca buku itu, seakan membawa ingatan saya kembali melihat ke belakang, sepanjang 16 tahun perjalanan pernikahan saya dan suami, banyak hal yang sudah kami alami. Menimbang antara enak dan tidak enak, tentu masih banyak enaknya. Hehehe.. Tetapi bukan berarti tak pernah ada badai dalam perkawinan ini.
Belahan Jiwa
Di sampul belakang buku, Tasaro menuliskan bahwa menemukan belahan jiwa adalah kerinduan yang menggayuti setiap jiwa. Kita mendamba agar keberadaannya melengkapi kekosongan dalam diri. Kita menghabiskan pencarian panjang dengan berbagai ujian agar bisa bertemu sang kekasih hati, seseorang yang dalam bayangan akan menjadi belahan jiwa sempurna.
Namun, kala kita sudah temukan sosoknya, apakah pencarian ini akan terhenti dalam gemerlap pesta perkawinan?
Ya, saya mengamini apa yang Tasaro tulis dalam buku tersebut. Perkawinan bagai sebuah lorong panjang, untuk menguji seberapa tangguh pasangan kekasih meneguhkan cinta. Kala terjangan masalah mengguncang, seperti rasa kecewa, bosan, kurangnya perhatian, dan keraguan, akankah kita rela mengorbankan segalanya demi belahan jiwa?
Hanya waktu yang mampu menyingkap seberapa kuat sebuah cinta, hingga kita dengan yakin mengatakan dialah sang belahan jiwa.
Jika kita yakin dengan kehadiran belahan jiwa ini, maka akan membuat kita lebih percaya pula terhadap pasangan hidup kita masing-masing. Sehingga kita akan mampu secara legawa menerima kekurangan, dan keterbatasan pasangan, hingga bisa saling memaafkan lalu bersama-sama saling menguatkan.
Karena memang tak ada manusia yang sempurna. Tak pernah ada yang ideal dalam sebuah perkawinan. Kita hanya mampu mengupayakannya sebaik mungkin, dengan perbuatan baik, dan memperlakukan orang lain dengan baik pula.
Sisi Tidak Enak Perkawinan
Setelah yakin dengan belahan jiwa, yang akan menemani hingga nanti maut memisahkan, rasanya kita juga perlu menyiapkan diri memasuki lorong panjang perkawinan. Dalam Islam sendiri, pernikahan merupakan ibadah terpanjang yang dilakukan oleh manusia. Pernyataan ini tentu bukan tanpa alasan jika kita melihat sisi lain perkawinan.
Dari sisi tidak enak, kita harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Resiko-resiko relasi dengan lingkaran yang lebih besar. Keluarga dari masing-masing pihak, kerabat dekat maupun jauh, rekan kerja dan organisasi jika keduanya sama-sama aktif di ruang publik. Selain itu, relasi bersama tetangga yang setiap hari bertatap muka.
Ada banyak hal yang harus kita kompromikan ketika sudah melepas masa lajang. Seperti menerima anggota keluarga baru. Suka tidak suka, meski ada orang yang punya sifat menyebalkan dan bikin tak nyaman, maka sebisa mungkin menghindari berinteraksi dengan orang model seperti ini. Pun jika harus berkomunikasi, upayakan sebaik mungkin.
Mengenal Stoicism
Sebagaimana ajaran stoicism yang merupakan sebuah filosofi yang berkaitan dengan kebahagiaan hidup, dan bagaimana menghindari pikiran-pikiran stres dan jenuh. Ilmu yang satu ini mengajarkan pada kita tentang bagaimana kebahagiaan seseorang itu bersumber dari hal-hal yang bisa kita kendalikan. Jadi untuk meraih kebahagiaan yang dimaksud, kita perlu memfokuskan diri pada apapun yang bisa kita kendalikan.
Stoicism mengungkapkan bahwa kebijakan atau kebijaksanaan merupakan sebuah kebahagiaan dan penilaian yang harus berdasarkan pada perilaku, bukan kata-kata. Di mana kita tidak bisa mengendalikan apapun yang terjadi jika itu berasal dari luar diri kita atau bersifat eksternal. Kita hanya bisa mengendalikan diri kita, dan bagaimana cara kita merespon hal-hal yang terjadi di sekitar kita.
Para Stoa mengungkapkan bahwa perasaan takut atau cemburu. Entah itu nafsu seksual atau cinta yang penuh gairah terhadap apapun, muncul dari penilaian yang tidak tepat dari orang-orang pada umumnya. Namun bagi orang-orang yang bijak, yaitu seseorang yang sudah mencapai kesempurnaan dalam hal moral serta intelektual. Maka hal tersebut tidak akan mereka alami. Misalnya dalam kasus perselingkuhan, atau kekerasan dalam rumah tangga.
Sisi Enak Perkawinan
Melihat sisi enak perkawinan, saya ingin menceritakan kisah hidup sahabat baik saya yang tumbuh dari keluarga sederhana. Sebut saja namanya Liana. Kalaupun teman saya membaca tulisan ini, semoga dia tahu betapa sebagai temannya saya bangga atas capaian hidup dia hingga mampu melangkah sejauh ini.
Ketika pertama kali bertemu denganya dalam suatu acara di Bandung di awal 2000-an, saya tahu ia seorang yang bertanggung jawab, disiplin, dan punya rasa kesetiakawanan tinggi. Kami saat itu menghadiri acara organisasi kepemudaan di salah satu gedung pertemuan di Kota Bandung. Jika aku belum tuntas menyelesaikan sesuatu, dia akan setia menunggu.
Dalam satu kesempatan ketika kami hanya duduk berdua, ia bercerita menyelesaikan pendidikan tanpa ulur tangan orang tua, karena ayahnya sudah tiada bahkan sejak ia masih berusia belia. Jika ditanya seperti apa sosok ayahnya, dia tak sanggup mengingat karena ayahnya wafat, ketika ingatan masih belum genap dalam memorinya. Dia harus melalui banyak kesulitan untuk bisa menjadi sarjana, dan sekaligus menjadi perempuan bekerja.
Sejak saat itu, bahkan sampai hari ini komitmen dan konsistensi dia tidak pernah berubah. Selalu mendahulukan kepentingan orang banyak dibandingkan diri sendiri. Saya kira karakter-karakter baik seperti ini bukan tumbuh serta merta, tetapi ada peran orang tua dan keluarga yang turut membesarkannya.
Maka di balik romansa perkawinan, atau perasaan bucin berjuang menemukan belahan jiwa, saya lebih berpikir bahwa perkawinan harus melahirkan Liana-Liana yang lain. Sebagaimana yang Tasaro ungkapkan, perkawinan tidak menjadi perkara enak atau tidak enak. Sebab di dalamnya selalu ada masa enak, dan tidak enak. Kita tidak akan menemukan satu sisi saja.
Perkawinan adalah tentang melahirkan generasi yang lebih baik dibanding pendahulunya. Yakni generasi yang lebih mengenal Tuhan, dan berguna bagi sebanyak-banyaknya ciptaan di alam semesta ini. Pun jika ada pilihan childfree, nilai-nilai kebaikan itu tetap tertularkan pada generasi muda berikutnya di sekitar kita. Setidaknya hari ini, saya dan suami tengah berikhtiar mewujudkan itu. Semoga. []