• Login
  • Register
Kamis, 5 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Feminisme itu Berbicara tentang Batasan Peran Laki-laki dan Perempuan

Gerakan feminisme yang menggaungkan batasan peran antara laki-laki dan perempuan ini seringkali disalahpahami sebagai anti laki-laki

Mela Rusnika Mela Rusnika
11/10/2021
in Personal
0
Kesetaraan Gender

Kesetaraan Gender

238
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menjadi seorang feminis itu berat. Alasannya karena selalu dicap sebagai anti laki-laki, pro Barat, dan anti Islam. Padahal ruang lingkup feminisme itu sangat luas, tapi teguh dengan satu nilai yaitu keadilan dan kesetaraan gender.

Bukan lagi menjadi hal baru ketika orang-orang yang menyuarakan keadilan dan kesetaraan gender ini selalu mendapat prasangka. Apakah mungkin karena mereka tidak siap dengan kehadiran perempuan berdaya atau memang tidak siap menghadapi kenyataan kalau gerakan keadilan dan kesetaraan gender ini semakin masif.

Gerakan yang masif ini menandakan bahwa semakin banyaknya orang-orang, khususnya perempuan, yang menyadari kalau ia diperlakukan tidak adil di berbagai ranah. Dari gerakan inilah lahir feminis-feminis baru.

Penggunaan kata feminis dan feminisme untuk saat ini mungkin belum terlalu familiar untuk orang-orang awam. Bisa jadi mereka hanya mendengar kalau feminis itu dari Barat dan anti Islam. Dengan minimnya pengetahuan tentang feminisme dan membawa ranah agama, muncullah paham yang menganggap feminis itu kafir atau dosa.

Padahal jika ingin disederhanakan, feminisme itu berbicara salah satunya tentang batasan peran antara laki-laki dan perempuan. Batasan untuk tidak memaksa laki-laki dan perempuan menjadi orang lain, tapi mendorong untuk melakukan apa yang ingin dilakukan masing-masing. Dalam feminisme ini kita diajarkan untuk menghargai pilihan orang lain, meski berbeda dengan budaya yang berkembang di lingkungan itu misalnya.

Baca Juga:

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

Memaknai Aurat Perempuan secara Utuh

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

Batasan-batasan ini bisa dengan mudah dibangun jika kita bisa memahami kalau setiap manusia itu memiliki hak untuk merdeka atas dirinya sendiri. Tidak lagi dibelenggu dengan batasan-batasan yang hanya menguntungkan satu pihak sedangkan pihak yang lain merugi.

Kekeliruan dalam Memahami Feminisme

Gerakan feminisme yang menggaungkan batasan peran antara laki-laki dan perempuan ini seringkali disalahpahami sebagai anti laki-laki. Ini karena para feminis selalu berbicara bahwa memasak, menikah, tidak menggunakan riasan, dan aktivias lainnya yang identik dengan perempuan ini adalah bagian dari pilihan hidup.

Berbagai aktivitas yang sudah biasa dilakukan perempuan ini, jika tidak kita tunaikan dianggap salah jalur bahkan berdosa. Inilah kekeliruan yang dicerna oleh mereka yang menstigma feminisme sebagai pemikiran Barat atau kafir.

Adapun stigma terhadap feminisme ini berpengaruh terhadap aktivitas para feminis. Misalnya ketika kita menyuarakan kalau memasak itu bukan tugas utama perempuan, maka kita dianggap benci atau tidak suka memasak. Padahal poin utama yang ingin disampaikan ialah memasak itu bukan tuntutan untuk perempuan, melainkan survival skill yang perlu dimiliki semua orang.

Kemudian ketika feminis berbicara tentang pernikahan dan tidak punya anak itu sebagai pilihan hidup, malah dianggap anti pernikahan dan tidak menunaikan ajaran agama. Hal yang perlu digarisbawahi, dalam ajaran Islam saja kita diberi kehendak bebas untuk menikah dan meneruskan keturunan. Oleh sebab itu yang ingin kami suarakan tentang pernikahan dan keturunan ini ialah bukan merupakan keharusan atau kewajiban, tapi pilihan.

Selain itu, feminis juga cukup bold berbicara tentang hak perempuan dalam berpenampilan. Ketika perempuan dituntut dengan berbagai standar kecantikan dan standar berpakaian agar tidak memfitnah laki-laki, kami mengonternya agar perempuan bisa menggunakan riasan dan pakaian sesuai kenyamanannya.

Cara berpakaian dan berdandan perempuan bukanlah hal yang dilakukan untuk menyenangkan mata laki-laki, melainkan untuk kenyamanan, kepuasan, dan kesenangan pribadi perempuan itu sendiri. Jadi, bagaimanapun kami berpakaian itu adalah bagian dari hak kami dalam mengekspresikan diri sendiri.

Feminisme tidak hanya berbicara tentang batasan peran perempuan, tapi juga batasan peran laki-laki. Misalnya ketika laki-laki dituntut untuk selalu kuat dan harus menjadi pemimpin, tapi secara personal ia tidak mau dan tidak mampu, maka kita tidak perlu memaksanya. Lebih baik kita menghargainya, karena laki-laki juga sama-sama manusia yang memiliki kehendak bebas.

Dengan begitu, feminisme ini tidak hanya menguntungkan perempuan. Feminisme terkadang distigma hanya untuk memperjuangkan keadilan perempuan, padahal memperjuangkan keduanya. Feminisme hadir untuk menggebrak pemikiran patriarki yang selama ini tidak adil bagi laki-laki dan perempuan.

Feminisme juga terkadang dianggap melawan ajaran agama. Padahal yang dikonter adalah budaya patriarki yang membawa ranah agama yang dikaitkan dengan kewajiban dan dosa. Ajaran Islam sendiri bagi saya sangat ramah dengan keadilan dan kesetaraan gender dan tidak semudah itu mengklaim seseorang berdosa.

Itulah beberapa kekeliruan tentang feminis dan feminisme yang selama ini masih beredar di lingkungan yang patriarki. Kekeliruan ini selalu berbicara tentang bagaimana peran laki-laki dan perempuan dalam ranah domestik dan publik, keharusan atau kewajiban dan pilihan, serta dosa dan pahala. Semua ini kami pelajari dalam feminisme agar menjadi adil dan setara gender.

Bagi saya sendiri, menjadi seorang feminis itu tantangan sekaligus kesyukuran. Bersyukur bisa berkumpul bersama perempuan yang memiliki visi dan misi yang sama dalam menyebar keadilan dan kesetaraan gender di lingkungan yang masih kental dengan budaya patriarki. Bersyukur juga memiliki support system yang tepat saat merasa direndahkan karena berjenis kelamin perempuan. Namun, tantangan terbesarnya ialah ketika dikaitkan dengan persoalan dosa, seolah feminisme itu kejahatan padahal feminisme penuh dengan keadilan. []

Tags: FeminisfeminismeGendergerakan perempuankeadilanKesetaraanlaki-lakiperempuan
Mela Rusnika

Mela Rusnika

Bekerja sebagai Media Officer di Peace Generation. Lulusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Part time sebagai penulis. Tertarik pada project management, digital marketing, isu keadilan dan kesetaraan gender, women empowerment, dialog lintas iman untuk pemuda, dan perdamaian.

Terkait Posts

Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Pandangan Subordinatif

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

31 Mei 2025
Joglo Baca SUPI

Joglo Baca SUPI: Oase di Tengah Krisis Literasi

31 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ibadah Kurban

    Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Batasan Aurat Perempuan dalam Tinjauan Madzhab Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ragam Pendapat Ahli Fiqh tentang Aurat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat
  • Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan
  • Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID