Mubadalah.id – Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan kembali menggelar rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP). Acara ini menghadirkan Admin Media Sosial Mubadalah.id, Fitri Nurajizah, sebagai narasumber untuk memberikan perspektif mendalam tentang bagaimana Islam memandang isu kekerasan terhadap perempuan.
Fitri Nurajizah, menyampaikan satu pesan pokok yang menjadi fondasi seluruh gerakan advokasi perempuan, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama adalah hamba Allah, sama-sama manusia yang tidak boleh mengalami kekerasan, tidak boleh didiskriminasi, dan tidak boleh dibedakan dalam akses pendidikan maupun ruang publik.
Menurut Fitri, relasi manusia tidak pernah dimulai dari perbedaan jenis kelamin. Melainkan dari kesadaran dasar bahwa setiap manusia adalah ciptaan Tuhan yang harus dimuliakan.
“Ketika ada pihak yang menzalimi perempuan atau menzalimi kelompok marjinal, itu sama saja dengan melecehkan penciptanya,” ujarnya, di aula Dinas Sosial Kabupaten Majalengka, pada Jumat, 5 Desember 2025.
Ia mengutip pesan yang pernah Gus Dur tegaskan yaitu memuliakan perempuan berarti memuliakan Tuhan, sebaliknya merendahkan perempuan sama dengan merendahkan penciptanya sendiri.
Pernyataan itu menjadi pijakan bagi seluruh rangkaian 16 HAKTP tahun ini bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan semata persoalan hukum atau sosial, tetapi persoalan moral keagamaan.
Menggali Akar Ketidakadilan
Fitri mengajak peserta untuk menengok kembali akar historis ketidakadilan gender. Ia memaparkan bagaimana beberapa teks al-Qur’an, ketika kita pahami melalui tafsir progresif, jelas menegaskan bahwa Islam datang membawa perubahan sosial yang radikal untuk mengangkat martabat perempuan.
Ia mengingatkan bahwa masyarakat pra-Islam—pada masa jahiliyah—memperlakukan perempuan sebagai objek yang bisa diwariskan, diperjualbelikan, dihadiahkan, bahkan diburu. Perempuan dianggap bukan manusia yang memiliki kehendak, melainkan bagian dari struktur sosial yang meminggirkan mereka secara ekstrem.
“Bahkan kelahiran bayi perempuan dianggap aib,” jelasnya. Keputusasaan itu terkadang melahirkan tragedi paling gelap dalam sejarah Arab pra-Islam yaitu dengan penguburan bayi perempuan hidup-hidup. Praktik itu menggambarkan bahwa perempuan tidak memiliki nilai di mata masyarakat.
Islam hadir untuk membalik realitas tersebut. Bukan hanya menghapus ketidakadilan, tetapi menggeser paradigma masyarakat secara total. Kedatangan Nabi Muhammad SAW membawa visi baru bahwa kemuliaan manusia tidak bisa kita tentukan oleh jenis kelamin. Melainkan oleh ketakwaan, akhlak, dan manfaatnya bagi sesama.
Orang yang mulia menurut Nabi bukan orang yang sekadar rajin menjalankan ritual. Tetapi orang yang menjaga relasi dengan manusia secara baik, tidak menyakiti, dan membawa manfaat sosial.
Kesetaraan yang Ditanamkan Nabi
Di hadapan peserta, Fitri menegaskan bahwa nilai kesetaraan adalah inti ajaran Islam. Banyak ayat dan hadis yang menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia yang setara di hadapan Allah.
Salah satu contoh paling nyata adalah larangan Nabi terhadap tradisi mengubur bayi perempuan. Sebagai gantinya, beliau memperkenalkan aqiqah sebagai praktik yang memuliakan kelahiran anak—baik laki-laki maupun perempuan. Melalui aqiqah, Nabi mengajak masyarakat untuk merayakan hadirnya seorang anak tanpa membedakan jenis kelaminnya.
“Ini pesan penting yang harus selalu kita sampaikan kepada orang tua dan masyarakat,” papar Fitri.
Ia mengingatkan bahwa bias gender sampai sekarang masih banyak dengan beragam bentuknya. Mulai dari pujian berlebihan, pengabaian terhadap potensi anak perempuan, hingga pembatasan peran perempuan dalam pendidikan maupun partisipasi publik.
16 HAKTP: Ruang Belajar, Ruang Merawat Kemanusiaan
Rangkaian 16 HAKTP oleh Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan sejak lama menjadi tempat bagi aktivis dan masyarakat untuk membaca ulang persoalan kekerasan berbasis gender.
Bagi Fitri dan para anggota jaringan, kegiatan ini tidak hanya bertujuan memperluas kampanye anti-kekerasan. Tetapi juga memulihkan cara pandang masyarakat tentang relasi antara laki-laki dan perempuan—bahwa keduanya adalah manusia setara yang harus kita muliakan.
Di Majalengka, ruang ini menjadi titik temu warga dari berbagai latar belakang untuk berdiskusi, berbagi pengalaman kekerasan yang mereka saksikan atau alami, dan mendorong perubahan kecil dari lingkup paling dekat yaitu keluarga, sekolah, hingga komunitas.
Fitri menegaskan bahwa gerakan ini bukan sekadar perlawanan terhadap kekerasan. Tetapi juga seruan untuk menegakkan kembali nilai ketakwaan sosial yang Nabi ajarkan yaitu memuliakan sesama manusia tanpa membedakan jenis kelaminnya.
“Jika kita benar memahami nilai kemanusiaan yang Islam bawa sejak awal. Maka tidak ada ruang sedikit pun untuk kekerasan,” katanya.
16 HAKTP 2025 di Majalengka menjadi pengingat bahwa perjuangan kesetaraan bukan sekadar melawan ketidakadilan hari ini.
Tetapi melanjutkan warisan perubahan sosial yang telah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW, yang harus terus dijaga, dirawat, dan diwujudkan di setiap ruang kehidupan. []











































