Mubadalah.id – Khitan laki-laki dalam hukum Islam itu wajib atau minimal sunnah, apa berarti dalam metode mubadalah, juga sama hukum khitan perempuan, karena keduanya subyek setara? Bukankah khitan merupakan syari’at Nabi Ibrahim as yang turun kepada Nabi Muhammad Saw? Ia berlaku untuk laki-laki dan karena itu juga berlaku untuk perempuan? Bukankah ada hadits-hadits yang berbicara khitan laki-laki, yang berarti secara mubadalah juga untuk perempuan? Jika khitan itu baik bagi laki-laki berarti juga hukum khitan perempuan itu baik, begitukah?
Dalam metode mubadalah kita perlu mempertanyakan tentang makna yang terkandung di dalam teks tersebut. Kita juga perlu mempertanyakan hukum khitan perempuan tersebut, yang bisa kita kaitkan dengan prinsip dan norma-norma umum dalam Islam. Kira-kita makna apa yang terkandung di dalam hukum khitan laki-laki? Apakah perempuan memiliki anggota tubuh yang sama dengan laki-laki, yang sejenis dengan yang terkhitan dari laki-laki? Apakah perempuan akan memperoleh manfaat yang sama, sebagaiman praktik khitan pada laki-laki?
Tentu saja validasi teks harus kita dahulukan. Karena mubadalah hanya bekerja untuk teks-teks yang kita anggap valid dan otoritatif. Ini untuk menemukan maknanya yang selaras dengan visi dan prinsip umum Islam. Kemudian berlaku kepada kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Kita akan mengawali diskusi fiqh klasik terlebih dahulu, lalu fiqh kontemporer, terutama terkait dengan teks-teks hadits. Terakhir: bagaimana perspektif mubadalah melihat diskusi mengenai hal ini.
Pandangan Para Ulama Mengenai Khitan Perempuan
Dalam fiqh klasik, Mazhab Syafi’i dan Hanbali memandang hukum khitan laki-laki itu wajib, sementara Hanafi dan Maliki sunnah saja. Sementara hukum khitan perempuan itu wajib bagi Syafi’i dan makramah (di bawah sunnah) bagi tiga Mazhab yang lain. Perbedaan pandangan ini karena perbedaan memandang dan memahami sumber al-Qur’an dan Hadits yang berhubungan dengan isu khitan. Dalam hal ini, banyak ulama berpendapat tidak ada satupun teks hadits terkait khitan yang bisa dapat menjadi rujukan. Perdebatannya pun bisa semakin tajam. Termasuk mengundang para ulama fiqh kontemporer (Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, juz 1, halaman: 306-307).
Dalam fiqh kontemporer, di samping beberapa ulama yang mengikuti persis pernyataan ulama fiqh klasik, juga banyak mengembangkan ijtihad ulang dan baru. Fatwa MUI sendiri tahun 2008 memandang hukum khitan perempuan sebagai bagian dari syi’ar Islam, yang tidak boleh kita larang, tetapi juga tidak wajib kita lakukan. Jikapun terpaksa ada yang melakukan, harus dengan syarat ketat tidak menimbulkan dharar (dampak buruk dan rusak), tidak memotong atau melukai klitoris, hanya menghilangkan sedikit saja selaput yang menutup klitoris (M. Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa MUI tentang Khitan Perempuan, Jurnal Ahkam: Vol. XII, No. 2, Juli 2012, halalan: 35-46).
Larangan Khitan Perempuan
Beberapa ulama di Timur Tengah dan Indonesia melarang praktik khitan perempuan, karena faktanya secara medis menimbulkan dampak buruk dan rusak (dharar) bagi bayi perempuan. Praktik khitan perempuan, dalam bentuk apapun, tidak memiliki manfaat sama sekali bagi kehidupan biologis dan psikis perempuan. Secara anatomis, perempuan tidak memiliki anggota tubuh, yang dianggap lebih atau menutupi sesuatu, sebagaimana laki-laki, yang perlu dibuang atau dikhitan. Sedangkan, dalil-dalil yang ada, sebagaimana para ulama hadits mengatakan, tidak ada yang kuat, valid, dan bisa menjadi rujukan dalam hal khitan ini.
Fatwa ini secara resmi menjadi pijakan Majlis Fatwa Mesir sejak dekade 90an. Bulan Februari tahun 2020, lembaga Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah Universitas Azhar Kairo kembali mengeluarkan fatwa larangan hukum sunat perempuan yang Syekh al-Azhar, Dr. Ahmad Tayyib, menandatanganinya. Ulama lain, seperti Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Syaltut, Ali Jum’at, Yusuf al-Qaradawi juga mengeluarkan pandangan serupa.
Tulisan yang cukup lengkap dengan argumentasi utuh mengenai larangan ini bisa kita temukan di fatwa Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam website internetnya. Adik dari Hasan al-Banna sang pendiri Ikhwan Muslimin, yaitu Jamal al-Banna juga menulis buku cukup keras tentang hukum khitan perempuan sebagai tindakan kriminal. Judulnya “Khitan al-banat laysat sunnah wa la makrumah wa lakin jarimah ” (Khitan Perempuan itu bukan Sunnah atau Makrumah, tetapi Pidana).
Alasan Mengapa Sunat Perempuan Tidak Perlu
Metode mubadalah memfokuskan pada makna yang terkandung dalam hukum khitan ini. Dalam berbagai tulisan, termasuk dalam fiqh, khitan laki-laki itu dengan memotong kulit yang menutupi ujung penis. Kulit ini menutupi kepala penis, sehingga mengumpulkan sisa-sia air kencing, atau kotoran yang lain. Kulit ini, karena menutupi ujung penis, juga membuat rangsangan laki-laki jadi terhambat. Karena itu, khitan, dengan memotong ujung kulit ini, akan membuat laki-laki menjadi lebih bersih, dan lebih bisa menikmati rangsangan seksual saat berhubungan intim.
Pertanyaannya apakah perempuan memiliki anggota tubuh seperti ini, yang menutupi, mengumpulkan kotoran, dan membuatnya lebih sulit terangsang, sehingga perlu ada tindakan khitan? Atau, dengan ungkapan lain: apakah perempuan dengan adanya tindakan khitan akan menjadi lebih bersih dan lebih mudah menikmati rangsangan seksual. Kajian medis menyatakan bahwa anatomi perempun berbeda jauh dari laki-laki. Tidak ada sesuatu yang bisa dikatakan mirip dengan “kulit ujung penis” itu, yang mengumpulkan kotoran sehingga perlu dibuang, atau menghambat rangsangan sehingga perlu dibuka.
Malah sebaliknya, daerah anggota tubuh dari perempuan, yang biasanya dikhitan di berbagai budaya, justru tempat saraf-saraf yang salah satunya berfungsi merasakan rangsangan seksual. Bahkan, banyak sekali praktik khitan yang justru berdampak besar pada kerusakan saraf alat kelamin perempuan, sehingga menimbulkan kesakitan, keburukan, dan tidak sedikit yang berakibat kematian.
Kesehatan dan Kenyamanan Tubuh Perempuan
Dengan melihat makna ini, maka yang kita mubadalahkan adalah bukan hukum khitan, di mana ada tindakan khitan terhadap perempuan sebagaimana laki-laki juga demikian. Tidak demikian. Yang dimubadalahkan adalah justru bagaimana memberikan kesehatan dan kenyamanan tubuh pada perempuan, melalui tidak dikhitan, sebagaimana memberikannya kepada laki-laki melalaui khitan.
Pesan utama hadits-hadits khitan dan seksualitas adalah memastikan perempuan tetap memiliki saraf untuk mampu menikmati rangsangan seksual, ketika tidak dikhitan, sebagaimana laki-laki menikmatinya, ketika sudah dikhitan. Demikianlah kerja metode mubadalah dalam isu dan hadits-hadits tentang khitan. Tentu saja, dalam Islam, menikmati relasi seks antara laki-laki dan perempuan ini hanya diperbolehkan dalam lembaga pernikahan. Bukan secara bebas di luar pernikahan. Wallahu a’lam. []