• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Jangan Berpoligami, karena Cemburu Itu Luka

Zahra Amin Zahra Amin
20/12/2022
in Kolom
0
Jangan Berpoligami, karena Cemburu Itu Luka

Ilustrasi: pixabay[dot]com

157
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.Id– Polemik tentang poligami bukan hal yang baru lagi. Ketika salah satu parpol mengusung isu poligami sebagai salah satu strategi kampanye, jauh sebelum itu berkali-kali poligami menjadi perdebatan. Ada yang tetap memuja, tetapi lebih banyak yang menganggap itu luka. Berikut larangan jangan poligami, sebab mudaratnya besar.

Saya teringat kisah seorang sahabat, sebut saja Diana, yang menceritakan bagaimana poligami yang hampir ditempuh orangtuanya, meninggalkan pesan mendalam dan ingin ia bagi untuk kita semua. Karena secara tegas dia menolak poligami.

Kesadaran itu bagi Diana bukan tanpa alasan. Karena berpuluh tahun yang lalu, ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 2, lamat-lamat dalam ingatan Diana, Ibunya pergi meninggalkan rumah hingga beberapa hari lamanya.

Tanpa kehadiran Ibu, rumah tak terurus. Diana, Ayahnya serta adik-adiknya tak ada yang merawat. Tak ada makanan di atas meja, yang biasanya selalu hangat dan sedap dengan aroma menggoda cuping hidung. Tak ada uang saku  yang bisa dibawa ke sekolah, sehingga dalam beberapa hari dia terpaksa puasa jajan.

Karena tak tahan, akhirnya Diana memberanikan diri bertanya pada Ayah. Ke mana Ibu? Lalu Ayahnya mengatakan jika Ibu ada di rumah Nenek Buyut yang hanya beberapa langkah dari rumah Diana. Setelah mendapat jawaban itu, dia berlari ke rumah Nenek Buyut.

Baca Juga:

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Sesampai di sana, Diana mendapati Ibu yang mengurung diri di kamar dengan mata sembap. Kerinduan berhari-hari tanpa kehadiran Ibu dia tahan sedemikian rupa, sehingga hanya sanggup memandang Ibu dari kejauhan. Ibu seperti tak tersentuh, dan tak terjangkau oleh pikiran anak-anak seusia Diana waktu itu.

Tanpa diminta, Nenek Buyut mengajak Diana bicara. Bahwa Ibunya sedang bersedih, karena Ayah Diana telah meminta ijin untuk menikah lagi. Kepergian Ibu dari rumah, menurut Nenek Buyut sebagai bentuk protes atas pilihan Ayahnya itu. Jika ibu ingin kembali ke rumah sampaikan pada Ayah, jangan menikah lagi. Karena akan membuat hati ibunya akan terluka.

Kalimat Nenek Buyut masih tertancap kuat dalam ingatan Diana hingga kini. Sebagaimana yang dituturkan Diana pada saya tempo hari. Meski entah siapa yang mengatakan pada Ayah pesan Nenek Buyut itu, Ayah Diana membatalkan keinginan untuk menikah lagi. Karena Diana yang masih anak-anak itu, tidak berani mengatakan pesan Nenek Buyut langsung pada Ayah. Tetapi Diana mengaku menyambut gembira kembalinya Ibu ke rumah.

Kehidupan keluarga Diana akhirnya berjalan normal kembali. Rona bahagia terus terpancar dari raut wajah Ayah dan Ibunya hingga akhir hayat. Bahkan di usia senja, setiap bepergian kemanapun Ayah Diana minta ditemani Ibu. Selalu bergandengan tangan ketika berjalan, dan saling bersandar ketika duduk berduaan.

Suatu kali kata Diana, Ibunya pernah berbisik, entah berapa tahun lagi kebersamaan ini akan ada. Karena waktu akan terus bertambah, sementara usia justru semakin berkurang. Tetapi cinta Ayah dan Ibu akan terus bertahan. Mungkin menurut Diana, saking cintanya Ibu pada Ayah, hanya terpaut tiga tahun, Ibu menyusul Ayah menghadap ke haribaanNya.

Baru bertahun kemudian, Diana akhirnya memahami tentang perasaan seorang Ibu. Rasa perempuan yang tak bisa didustai, jika diduakan, dan disekiankan oleh belahan jiwa itu akan terasa menyakitkan. Karena cemburu itu adalah luka. Beruntung Ayah Diana menyadari kekhilafannya dan kembali memilih cinta Ibunya.

Saya sependapat dengan Diana, apapun alasannya poligami hanya akan meninggalkan jejak luka dan kesedihan mendalam. Bukan karena tak rela cintanya akan terbagi. Tetapi ada hal-hal lain selain cinta yang juga harus dipertimbangkan dengan matang. Tentang nilai-nilai keluarga, dan investasi masa depan dunia akhirat. Yakni perhatian, pengasuhan dan pendidikan anak-anak.

Bagaimana akan mampu menghadapi masa senja, dan segala resiko tentang fisik yang tak lagi muda,  finansial yang tak selamanya stabil, kesehatan yang menurun dengan biaya perawatan serta pengobatan yang tak murah.

Maka tentu dengan poligami akan semakin banyak yang harus dipikirkan dan dipersiapkan. Sementara dengan monogami, kenangan kebersamaan dalam keluarga akan terasa lebih hangat, tanpa harus berebut tempat siapa istri yang paling dekat.[]

Tags: anakayahIbuistrikebahagiaankeluargaMonogamipoligamirumah tanggaasuami
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID