Mubaadalahnews.com,- Prinsip-prinsip Islam menolak segala ekspresi yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian (hate speech) karena sifatnya yang destruktif. Di antara prinsip yang dengan jelas menolak ujaran kebencian adalah ajaran tauhid dan prinsip saling menghormati antar sesama manusia.
Saya marah, marah sekali. Saya benar-benar marah sekali mendengar kabar buruk yang datang dari parlemen. Parlemen yang isinya anggota dewan perwakilan rakyat tidak terhormat. Kabar buruk yang datang ini rasanya sangat mencabik-cabik hati nurani dan sontak membuat benak kian bertanya-tanya, kok bisa?
Kabar buruk itu adalah penarikan yang diusulkan oleh Komisi VIII DPR RI akan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Prolegnas 2020. Alasannya, karena pembahasan RUU PKS cukup sulit dengan waktu yang terbatas. Padahal kita semua sama-sama tahu, usulan RUU PKS telah didesak oleh masyarakat dari beberapa tahun yang lalu.
Awal tahun ini, kita dibuat panik dengan usulan rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang pasalnya banyak mendapat kritik dari masyarakat Indonesia. Rancangan undang-undang tersebut dinilai tak memiliki urgensi yang jelas, mendomestifikasi peran perempuan, dan sarat akan diskriminasi gender.
Kemudian, pertengahan tahun ini kita dibuat marah akan penarikan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Komisi VIII DPR RI dari Prolegnas 2020 dan akan diganti dengan rancangan undang-undang yang baru yaitu RUU Kesejahteraan Lanjut Usia.
Di tengah kasus kekerasan seksual yang makin meningkat, kabar ini menjadi tamparan keras bagi mereka yang berjuang untuk menghapuskan kekerasan seksual dan tentunya korban kekerasan seksual yang kasusnya belum ditangani secara baik, karena belum ada payung hukum yang jelas untuk mengakomodir kasus mereka.
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2020 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, disampaikan bahwa setiap tahunnya kasus kekerasan seksual konsisten mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu 12 tahun (2008-2019), kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat sebanyak 729%, yang artinya meningkat hingga 8 kali lipat.
Tercatat, terdapat 14,719 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dari data terakhir pada tahun 2019, yang mana ada sebanyak 11,105 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan atau sebesar 75% terjadi pada ranah personal (perkawinan, rumah tangga, hubungan personal/hubungan pribadi/pacaran).
Dari kasus yang ada, disampaikan bahwa sebanyak 4,124 kasus dilaporkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), yang merupakan lembaga dibawah lembaga kepolisian. Namun, jika dilihat dari kasus yang ada pada Pengadilan Negeri (PN) yang hanya terdapat 940 kasus, hal ini menjelaskan adanya persoalan, seperti terhambatnya proses penyelesaian kasus secara hukum yang dialami perempuan.
Payung hukum yang jelas sangat diperlukan dalam penanganan kasus kekerasan seksual seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, agar proses hukum dalam kasus kekerasan seksual dapat berjalan dengan semestinya.
Meskipun, hambatan dalam proses hukum kasus kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan tak hanya disebabkan oleh payung hukum yang belum ada untuk mengakomodasi kasus-kasus kekerasan seksual, akan tetapi masih banyak faktor penyebab lainnya.
Belum lama ini, terdapat kasus kekerasan seksual yang dialami oleh seorang anak perempuan, ia diperkosa oleh sepupunya hingga hamil. Tak hanya itu, setelahnya, ia diperkosa oleh mertuanya. Kasus lainnya, seorang remaja perempuan diperkosa oleh tujuh laki-laki, hingga remaja perempuan tersebut mengalami trauma dan meninggal. Tentu, masih banyak kasus-kasus lain yang terjadi, yang tak semuanya terekspos oleh media.
Disampaikan dalam Catatan Akhir Tahun 2020 Komnas Perempuan, kekerasan terhadap anak mengalami pelonjakan pada tahun 2019 yaitu sebanyak 2,341 kasus dari 1,417 kasus pada tahun sebelumnya. Pelonjakan tersebut naik sebanyak 65%.
Kita dapat melihat, kasus kekerasan seksual makin menjadi-jadi di Indonesia. Makin sadis, tak kenal ruang dan waktu. Apabila payung hukum yang dapat melindungi korban kekerasan seksual dan dapat menghukum dengan adil para pelaku kekerasan seksual tak kunjung disahkan, bahkan akan ditarik dari Prolegnas 2020.
Maka hal tersebut memberi napas segar kepada para pelaku kekerasan seksual yang sampai sekarang masih melalang-buana, dan gerakannya makin tak terbatasi, karena dengan apa yang mereka perbuat tak ada ganjaran yang mereka rasakan.
Ironis. Korban makin bertambah, pelaku makin tak tergugah. Apakah dengan alasan pembahasan yang sulit karena waktu yang terbatas akan menjadi babak akhir yang diharapkan dari perjuangan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia? Semoga tidak. []