Mubadalah.id – Tuhan menciptakan setiap manusia berbeda-beda, secara lahiriah dan batiniah, struktur tubuh boleh sama tapi bentuk dan identiknya pasti berbeda. Bahkan dua saudara kembar pasti memiliki titik perbedaan. Apalagi yang berkaitan dengan isi kepala, tentu berbeda karena perbedaan latar belakang pendidikan, bacaan, sosial dan mental. Sehingga dalam relasi perkawinan kita perlu manajemen konflik keluarga.
Mengapa penting? Karena dalam sebuah keluarga yang beranggotakan minimal 2 orang (suami istri), seringkali mengalami perbedaan pendapat dan keputusan. Dalam surat Al-Hujurat ayat 13 Allah menegaskan keberagaman itu;
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah ornag yang paling takwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal”
Perbedaan adalah hal lumrah, selama tidak ada yang merugi, nilai toleransi menjadi penting karena manusia memang senantiasa dituntut untuk kreatif mencari problem solving. Sekiranya ini alasan mengapa disyariatkan kafāah (kesepadanan) sebagai hak setiap individu untuk memilih pasangan.
Konsep Kafaah
Ada konsep kafāah bukan untuk mendikotomi klan, keturunan, status sosial dan profesi tertentu. Sekali-kali bukan, kafāah ada untuk meminimalisir perbedaan yang riskan melahirkan konflik.
Dalam buku Fondasi Keluarga Sakinah yang diampu oleh Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah, ada 3 respon terhadap perbedaan; 1) Membutuhkan Pemahaman, 2) Membutuhkan dialog untuk lebih mendalami dan mengerti, dan 3) Membutuhkan perubahan sikap.
Perbedaan yang membutuhkan pemahaman misalnya adalah perbedaan hobi, makanan, pakaian, selera film dan musik. Perbedaan ini butuh kesabaran untuk bisa memahami satu sama lain, kadang istri terbiasa sarapan nasi jam 7 pagi sementara suami kopi saja, atau misal suami maniak bola sementara istri biasa saja. Dalam hal ini seharusnya suami istri saling memahami. Alih-alih mengubah kebiasaan, perbedaan ini tetap bisa masing-masing individu jalani tanpa menganggu yang lain.
رضى باشيئ رضا بما يتولد منه “Rela kepada sesuatu maka harus rela terhadap apa yang ditimbulkan” kerelaan itu berbatas pada perbedaan yang ditolerir. Bisa perbedaan yang membutuhkan dialog seperti perbedaan budaya. Perlu kita dialogkan agar pasangan mengerti makna yang kita inginkan dari budaya yang dianut. Tentu perbedaan ini memiliki batas teritorial yakni garis syariat Islam. Maka dari itu, budaya yang tidak melanggar aturan hukum Islam dapat kita ikuti dan lestarikan.
Kaidah Fikih
Sesuai kaidah fikih العادة محكمة “Adat/kebiasaan bisa dijadikan pijakan hukum” seperti perbedaan adat pernikahan Jawa dengan Aceh, atau pakaian adat. Berbeda dengan kebiasaan yang melanggar norma syariat seperti kebiasaan seseorang tidak menghubungi atau berkomunikasi dengan partnernya, sehingga terbawa setelah pernikahan suami tidak memberi kabar pada istri dan anak-anaknya. Maka hal ini tidak boleh karena pernikahan tanpa komunikasi adalah sia-sia, tidak akan sampai pada level sakinah (sejahtera).
Termasuk dalam perbedaan ini adalah perbedaan cara mengungkapkan bahasa cinta. Sangat mungkin ada seorang istri merasa dicintai dengan bahasa verbal, diungkapkan dengan kata sementara cara suami mengungkapkan rasa cintanya dengan sentuhan fisik sederhana (bukan hubungan intim) misalnya. Bahasa cinta yang berbeda membutuhkan kesadaran pasangan suami istri untuk saling mengenali dan memenuhi sesuai kebutuhan masing-masing.
Ketiga, perbedaan yang memerlukan perubahan sikap, yakni perbedaan yang kita nilai tidak sesuai dengan norma sosial dan agama, berakibat buruk pada diri sendiri atau orang lain. Seperti contoh di paragraph sebelumnya, maka harus ada komunikasi untuk mengadakan perubahan dengan dukungan seluruh anggota keluarga.
Setiap keburukan wajib hukumnya kita hilangkan, الضرر يزال “Setiap bahaya (harus) dihilangkan” baik secara bertahap, sedikit demi sedikit atau secara keseluruhan tanpa mendatangkan keburukan yang lainnya الضرر لايزال بمثله.
Akhir kata, tidak ada rumah tangga yang aman dari konflik, setiap kita akan menerima ujian dengan konflik sesuai dengan kondisi keluarga, bermacam-macam, dan berbeda level sesuai kematangan mental keluarga. Tapi itu tidak menjadi masalah berarti jika setiap keluarga terutama suami dan istri memiliki manajemen konflik keluarga yang mantab.
Kuncinya adalah pola komunikasi yang terbuka dann asertif. Menyelesaikan masalah dengan pikiran jernih (tanpa emosi). Jika perlu beri jeda untuk diri berpikir, kemudian berusaha memahami masalah dan jalan keluarnya. Tentu dengan prinsip mu’āsyarah bi al-ma’rūf, memperlakukan pasangan dengan sopan (QS. An-Nisa: 19). Wallahu a’lam. []