Mubadalah.id – Sekitar pukul 15:30 pada Ahad kemarin, kami meninggalkan kelas setelah melewati mata kuliah Bahtsul Masail Hukum Keluarga Islam, di mana di dalamnya kami mengkaji kembali persoalan-persoalan mengenai keluarga yang telah dibahas oleh beberapa lembaga bahtsul masail. Minggu ini kebetulan tema yang diangkat adalah siapa yang bertanggung jawab atas kerja-kerja domestik seperti memasak, mencuci dan lain-lain.
Dalam referensi hasil bahtsul masail yang kami pelajari menerangkan bahwa kera-kerja domestik seperti memasak, mencucui baju, membersihkan rumah bukanlah kewajiban istri, namun tanggung jawab suami. Oleh karena itu, suami wajib memeberi tahu istrinya tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas hal ini.
Dalam beberapa referensi bahkan disebutkan bahwa suami wajib mencarikan asisten rumah tangga apabila saat sebelum menikah istri terbiasa dilayani oleh asisten rumah tangga dan menggajinya di samping kewajiban memberi nafkah kepada istri. Hal ini merupakan bentuk dari mua’syarah bil ma’ruf suami kepada istri.
Sekilas, kewajiban suami yang sedemikian rupa memang sangat menguntungkan bagi istri. Namun agaknya saya kurang sependapat dengan ini karena saya membayangkan akan seperti apa balasan yang harus diberikan oleh istri jika sedemikian besarnya layanan yang diberikan oleh suami.
Apalagi jika membaca beberapa teks yang melarang para perempuan untuk keluar rumah tanpa seizin suami, larangan untuk tampil di ranah publik dan teks-teks yang menerangkan betapa murkanya malaikat apabila istri menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual.
Entah mengapa yang saya pikirkan ketika suami memberikan segala fasilitas dan layanan untuk istri, seolah-olah sang suami berkata, “Udah lah, kamu gak usah ngapa-ngapain. Gak usah kerja berat-berat, gak usah ke pasar, gak usah capek-capek. Cukup santai saja di rumah supaya kamu selalu ada saat saya membutuhkan.”
Meski saya yakin tidak semua laki-laki berpikiran demikian, dengan membayangkan ini, justru segala fasilitas itu menjadi hal yang menakutkan.
Di samping pikiran saya yang terlalu paranoid, juga ada beberapa pertimbangan yang sebaiknya diperhatikan.
Pertama, jika sewaktu-waktu suami tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, ada keterangan yang menyebutkan bahwa istri berhak untuk menagihnya. Termasuk jika suami tidak mencarikan asisten rumah tangga bagi istri hingga membuat sang istri mengerjakan setiap kerja-kerja domestik tersebut, maka istri boleh untuk meminta gaji kepada suami di samping tetap memperoleh nafkah.
Kalau begitu, betapa perhitungan sekali kehidupan tumah tangga itu. Apakah sikap saling tagih dalam rumah tangga akan mendatangkan sakinah?
Kedua, adanya kewajiban suami yang otomatis menjadi hak istri tersebut, dalam pandangan saya malah semakin memarjinalkan perempuan. Fasilitas dan layanan seperti ini, justru menjadikan istri semakin pasif karena tidak perlu mengerjakan apapun, cukup diam saja di rumah menikmati semua fasilitas yang telah diberikan suami, sedangkan suami menjadi semakin aktif, terlatih dan profesional dalam hal memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Ini akan berdampak negatif apabila suatu waktu suami tidak dapat memenuhi kewajibannya karena sakit atau meninggal misalnya. Karena sang istri terbiasa dimanjakan dan dilayani, ia akan kesulitan dalam melewati masa-masa sulit saat sang suami tidak dapat memenuhi kewjibannya. Berbeda halnya jika istri terbiasa melakukan kerja-kerja domestik atau bahkan publik, istri akan memiliki jiwa yang mandiri dan keterampilan sehingga tidak akan kelabakan dan memberikan beban yang terlalu berat bagi suami.
Memberikan fasilitas dan layanan seperti asisten rumah tangga sebenarnya sah-sah saja. Apalagi jika tujuannya memang untuk membantu mengerjakan kerja-kerja domestik agar lebih cepat dan efektif. Namun apabila dimaksudkan untuk terlalu memanjakan atau mencegah istri agar tidak kemana-mana, atau bahkan kemudian malah menjadi beban bagi suami, rasanya tidak fair.
Dalam Qira’ah Mubaadalah, mu’asyarah bil ma’ruf adalah sikap saling memperlakukan satu sama lain secara baik, dimana kebaikan ini harus dihadirkan dan dirasakan oleh kedua belah pihak.
Jika dalam hal ini suami memberikan layanan dan fasilitas lengkap kepada istri, harusnya berdasarkan pada hasil musyawarah, rasa saling memahami dan kesepakatan agar tidak hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain.
Adanya fasilitas dan layanan tersebut bukan berarti justru untuk membatasi ruang gerak dan kreatifitas istri, hingga bahkan suami menuntut hal lain yang lebih berat bagi istri seperti kesediaan istri untuk memenuhi hasrat seksual kapanpun suami memintanya.
Pada initinya, sikap kesalinganlah yang perlu diutamakan dalam relasi rumah tangga. Kesalingan tersebut dapat diwujudkan dengan adanya keterbukaan dan musyawarah di antara kedua pihak suami istri. Jika sudah dalam ranah rumah tangga, sebaiknya keputusan dan arah masa depan rumah tangga didasarkan pada kesepakatan dan keputusan bersama. Selain itu, kerjasama yang baik antara suami istri akan memberikan dampak yang positif untuk keluarga. Adanya kerjasama yang baik akan menjadi contoh bagi anak-anak dan anggota keluarga yang lain.
Tulisan ini hanyalah media untuk menyampaikan pikiran saya. Selebihnya, karena belum memiliki pengalaman rumah tangga, saya pun merasa belum cakap dalam mengomentari urusan rumah tangga. Namun perspektif kesalingan yang saya gunakan rasanya tepat untuk dijadikan pedoman dalam relasi rumah tangga dan relasi sosial lainnya yang melibatkan laki-laki dan perempuan.
Wallahu A’lam.[]