Mubadalah.id – Leda adalah seorang anak perempuan dengan kaki besi. Ia tinggal di sebuah desa yang dulu hijau, penuh pepohonan, penuh suara burung, dan tanah yang ramah bagi anak-anak untuk berlarian. Kini desa itu berubah wajah. Hamparan pohon sawit berdiri seragam.
Tidak ada lagi ruang bermain, tidak ada lagi pohon untuk berteduh, dan tidak ada lagi cerita tentang buah liar yang jatuh saat musim panen. Dari semua pohon yang pernah hidup di sana, hanya satu yang tersisa. Pohon itulah yang kemudian anak-anak kenali sebagai pohon terakhir.
Leda sering duduk di bawah pohon terakhir. Suatu hari, ia mendengar kabar bahwa pohon itu juga akan ditebang. Alasannya terdengar biasa saja: perluasan kebun sawit, kebutuhan ekonomi, izin yang sudah turun. Semua terdengar sah, legal, dan rasional. Namun bagi Leda, kabar itu terdengar seperti kehilangan terakhir.
Di buku cerita anak Pohon Terakhir Leda yang diterbitkan oleh Penerbit Semut Api pada tahun 2025, kisah ini tidak berhenti pada kesedihan. Cerita justru bergerak pada pertanyaan yang jarang kita ajukan kepada anak-anak. Apa yang bisa seorang anak perempuan disabilitas lakukan ketika berhadapan dengan kekerasan ekologis?
Tidak ada tokoh dewasa penyelamat, tidak ada keajaiban instan. Yang ada adalah keberanian Leda yang tumbuh dari kebutuhan bertahan hidup dan lingkungan yang layak yang mengantarkannya untuk menyematkan pohon terakhir.
Di sinilah buku ini menjadi penting. Anak-anak tidak hanya kita ajak membaca cerita, tetapi kita ajak berdiskusi. Mereka kita ajak memahami bahwa disabilitas bukan penghalang untuk berpikir, bersuara, dan bertindak. Anak-anak kita ajak menyadari bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar urusan orang dewasa, melainkan urusan masa depan mereka sendiri.
Anak Perempuan, Disabilitas, dan Kerentanan dalam Kekerasan Ekologis
Dalam banyak percakapan publik, disabilitas sering kita letakkan dalam bingkai belas kasihan. Anak disabilitas kita anggap lemah, bergantung, dan selalu membutuhkan pertolongan. Anak perempuan pun kerap terlabeli rapuh, emosional, dan tidak rasional. Ketika dua identitas ini bertemu, lahirlah stereotip ganda yang semakin menyingkirkan. Anak perempuan disabilitas dianggap tidak mampu, tidak relevan, dan tidak perlu terlibat dalam pengambilan keputusan.
Padahal, kerentanan bukanlah sifat bawaan. Kerentanan adalah kondisi yang tercipta oleh sistem. Anak perempuan disabilitas menjadi rentan bukan karena tubuhnya berbeda, melainkan karena lingkungannya tidak ramah, kebijakannya tidak inklusif, dan suaranya tidak dianggap penting. Ketika kekerasan ekologis terjadi, kelompok ini justru sering menjadi yang paling terdampak.
Kekerasan ekologis bukan hanya tentang pohon yang ditebang atau sungai yang tercemar. Ia adalah tentang hilangnya akses hidup yang aman. Ketika air bersih semakin jauh, anak perempuan sering menjadi pihak yang harus berjalan lebih lama. Lalu ketika tanah tidak lagi subur, keluarga miskin semakin terdesak. Ketika ruang publik menyempit, anak disabilitas kehilangan tempat untuk berinteraksi dan bermain.
Leda mewakili realitas ini. Keadaan disabilitas membuatnya lebih peka terhadap perubahan lingkungan. Jalan tanah yang rusak lebih menyulitkannya. Panas tanpa pohon lebih melelahkannya. Hilangnya ruang hijau lebih cepat ia rasakan. Dari sini kita belajar bahwa pengalaman disabilitas justru memberi sudut pandang yang tajam tentang keadilan lingkungan.
Buku Pohon Terakhir Leda secara halus membalik cara pandang kita. Leda tidak terposisikan sebagai korban pasif. Ia adalah subjek yang berpikir, merasakan, dan bertindak. Ia tidak mengalahkan disabilitasnya, karena disabilitas bukan musuh. Yang ia lawan adalah ketidakadilan ekologis yang mengabaikan kelompok disabilitas yang direntankan.
Mengajak anak-anak berdiskusi tentang hal ini penting. Anak-anak perlu memahami bahwa semua tubuh memiliki nilai. Bahwa kepemimpinan tidak selalu datang dari suara paling keras atau tubuh paling kuat. Bahwa keberanian bisa lahir dari pengalaman hidup yang berbeda. Dengan cara ini, literasi tentang disabilitas tidak berhenti pada definisi, tetapi menyentuh empati dan keadilan sosial.
Pohon, Sawit, dan Ingatan yang Dihapus Pelan-Pelan
Sawit sering datang dengan narasi kemajuan. Sebagaimana yang terlontarkan Pak Presiden akhir-akhir ini. Sawit itu penting, sawit itu penting, sawit itu penting! Menjanjikan lapangan kerja, peningkatan ekonomi, dan pembangunan desa. Namun narasi ini jarang menyertakan cerita tentang apa yang hilang. Pohon-pohon yang ditebang bukan hanya kayu, melainkan penyangga ekosistem. Hutan bukan hanya lahan kosong, melainkan ruang hidup.
Dalam cerita Leda, sawit tergambarkan tidak sebagai monster, tetapi sebagai sistem yang rakus dan seragam. Pohon sawit berdiri rapi, tetapi tidak menyediakan keteduhan yang sama. Ia tidak menyimpan cerita, tidak menjadi tempat bermain, dan tidak mengikat relasi emosional warga dengan tanahnya. Desa menjadi asing di tanah sendiri.
Anak-anak sering menjadi saksi pertama perubahan iklim. Namun suara mereka jarang kita dengar. Buku ini memberi ruang bagi ingatan anak-anak. Pohon terakhir menjadi simbol ingatan kolektif yang hampir terhapus.
Melalui diskusi setelah membaca, anak-anak dapat kita ajak berpikir kritis. Mengapa hanya satu pohon yang tersisa? Siapa yang diuntungkan dari sawit? Siapa yang dirugikan? Apakah pembangunan selalu berarti menebang? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk menumbuhkan kesadaran ekologis sejak dini.
Pohon dalam cerita ini juga mengajarkan relasi. Leda tidak melihat pohon sebagai objek. Ia memperlakukannya sebagai teman, sebagai bagian dari dirinya. Cara pandang ini berbeda dengan logika ekstraktif yang melihat alam hanya sebagai sumber daya. Anak-anak perlu dikenalkan pada etika relasional dengan lingkungan, bahwa manusia hidup bersama alam, bukan di atasnya.
Kebijakan Pemerintah dan Siapa yang Tidak Diajak Bicara
Kisah Leda tidak bisa terlepaskan dari konteks kebijakan. Pohon terakhir ditebang bukan oleh individu jahat, melainkan oleh sistem perizinan yang mengabaikan partisipasi warga, terutama anak-anak dan kelompok rentan. Dalam banyak kasus, kebijakan lingkungan dibuat tanpa mendengar suara mereka yang paling terdampak.
Buku ini bisa menjadi pintu masuk untuk membicarakan kebijakan dengan bahasa anak. Anak-anak bisa kita ajak memahami bahwa keputusan pemerintah memengaruhi kehidupan sehari-hari. Bahwa izin penebangan bukan sekadar kertas, melainkan keputusan yang berdampak pada udara, air, dan ruang bermain.
Diskusi ini penting untuk menumbuhkan kewargaan kritis. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka berhak bersuara. Bahwa demokrasi tidak kita mulai ketika dewasa, tetapi sejak kecil. Bahwa menyampaikan pendapat tentang lingkungan adalah bagian dari hak asasi.
Merawat sebagai Iman
Dalam perspektif keagamaan, disabilitas bukanlah kutukan. Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh fisik, melainkan oleh ketakwaan dan amal. Nabi Muhammad SAW bahkan menegur sahabat yang mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat tunanetra. Kisah ini sebagai pengingat bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama.
Islam juga menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi, bukan penguasa sewenang-wenang. Merusak alam adalah pengkhianatan terhadap amanah. Menjaga pohon, air, dan tanah adalah bagian dari ibadah. Dalam konteks ini, perjuangan Leda bukan sekadar aktivisme, melainkan laku spiritual.
Anak-anak perlu kita kenalkan bahwa merawat lingkungan adalah bagian dari nilai keimanan dan kemanusiaan. Bahwa membela yang lemah, termasuk alam dan kelompok rentan, adalah tindakan mulia. Dengan cara ini, diskusi tentang disabilitas dan lingkungan tidak terjebak pada moralitas kosong, tetapi berpijak pada nilai yang hidup.
Kisah Leda mengajarkan bahwa iman bisa hadir dalam bentuk yang sederhana. Ia menunjukkan bahwa anak perempuan disabilitas adalah subjek yang menjalankan nilai-nilai keimanan. []











































