Mubadalah.id – Dalam lanskap kebudayaan desa zaman dahulu yang penuh mistik dan ritus, tubuh perempuan tidak jarang menjadi altar pengorbanan. Ahmad Tohari dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan realitas ini dengan sangat getir melalui sosok Srintil, anak perempuan miskin yang masyarakat puja sebagai titisan seni, tapi sekaligus mereka korbankan demi tradisi.
Di balik gemulainya tari ronggeng, tersimpan luka kolektif perempuan yang kita posisikan bukan sebagai subjek, melainkan sebagai simbol, lambang kesuburan, dan objek hiburan. Dalam masyarakat seperti Dukuh Paruk ini, tubuh perempuan seperti bukan miliknya sendiri. Melainkan milik adat, milik desa, bahkan milik negara.
Perempuan dalam Cengkeraman Tradisi
Ahmad Tohari dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan kisah Srintil, seorang perempuan yang menjadi ronggeng yang paling terkenal di Dukuh Paruk. Desa ini terletak di wilayah terpencil. Warganya bekerja sebagai petani, hidup dalam kemiskinan, dan tidak mengenyam pendidikan formal. Mereka memegang kuat kepercayaan leluhur yang sudah turun-temurun untuk menjalani kehidupan mereka.
Di tengah kemiskinan itu, masyarakat Dukuh Paruk merasa bangga karena memiliki tradisi ronggeng. Bagi mereka, ronggeng bukan sekadar hiburan. Ronggeng menjadi simbol kehormatan desa dan lambang identitas kolektif. Laki-laki yang bisa berhubungan dengan ronggeng akan merasa lebih merasa berharga. Bahkan, banyak keluarga menganggap hal itu sebagai prestise tersendiri.
Tradisi ronggeng di Dukuh Paruk tidak hanya menampilkan tari dan musik, tetapi juga mengandung ritus bukak klambu yakni proses di mana Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki pembayar tertinggi sebagai simbol pelantikan pertama menjadi ronggeng. Dalam budaya ini, tubuh Srintil telah sah menjadi milik publik. Kehormatan, kebebasan, dan harga diri miliknya dinegosiasikan atas nama tradisi dan “kebesaran desa”.
Karena itu, banyak laki-laki mengidam-idamkan Srintil. Mereka berebut perhatian, sebab kedekatan dengan ronggeng berarti gengsi sosial. Namun, Srintil tidak bisa hidup bebas. Ia harus menggantungkan hidupnya pada laki-laki yang sanggup membayar dan Ia tidak dapat bebas dalam mengejar cintanya sendiri
Dalam banyak tempat, orang mungkin menyebut praktik itu sebagai prostitusi. Tapi di Dukuh Paruk, masyarakat justru menganggapnya sebagai bagian dari adat yang terhormat. Tradisi ini melekat begitu kuat dalam kehidupan warga dan tidak pernah mereka pertanyakan.
Yang lebih menyakitkan, perampasan atas tubuh Srintil tidak berhenti di level adat. Ketika kelompok terlarang (PKI) menjadikan ronggeng sebagai alat politik, lagi-lagi tubuh Srintil kembali menjadi korban. Ia dijebloskan ke penjara bersama perempuan-perempuan lain yang mereka cap sebagai simpatisan. Dalam narasi besar negara, tubuh perempuan bukan hanya menjadi nomor dua, tapi juga menjadi simbol dosa yang harus dibuang.
Politik Tubuh Perempuan
Problem budaya yang kerap kali tidak kita sadari bahwa atas nama adat, seseorang sering kehilangan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Hal ini dapat kita namakan dengan politik tubuh, yakni cara kekuasaan baik negara, adat, agama, maupun budaya mengontrol tubuh seseorang, khususnya seksualitas dan reproduksinya.
Kekuasaan ini bekerja secara halus melalui normalisasi, ritual, kebijakan, hingga label moral. Tubuh perempuan tidak bukanlah milik pribadi, tetapi menjadi wilayah yang bisa publik atur demi kepentingan sosial atau politik (Susilo & Kodir, 2016).
Susilo dan Kodir menunjukkan bahwa tubuh perempuan sering menjadi komoditas dan simbol ideologi. Perempuan yang menolak kontrol atas tubuhnya dapat anggapan bukan perempuan baik-baik. Mereka juga mengaitkan ini dengan teori biopower dari Foucault, yaitu kekuasaan yang mengatur tubuh melalui pengawasan dan norma, bukan dengan kekerasan.
Hal ini dapat terlihat Ahmad Tohari secara halus terlihat menyuguhkan kritik terhadap struktur sosial yang menormalisasi perampasan tubuh dan kehendak perempuan. Ironisnya, perampasan yang terjadi tidak jarang terbungkus dalam narasi estetika seperti pujaan pada ronggeng, namun tak pernah dianggap manusia utuh. Mereka hanya “milik desa”, “milik adat”, atau bahkan “milik negara”.
Relasi Perempuan dan Budaya
Dalam perspektif Mubadalah, relasi antara perempuan dan budaya terbangun atas dasar kesalingan, bukan dominasi. Hal ini berarti tubuh perempuan bukan ruang kosong yang bisa terisi oleh tradisi, tafsir, atau kepentingan politik. Tubuh perempuan adalah ruang sakral yang untuk mengaksesnya hanya dengan kesadaran dan kerelaan penuh dari pemiliknya.
Allah berfirman:
“…..Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.” (QS. An-Nur: 33)
Ayat ini memberi pesan yang tegas bahwa siapa pun tidak boleh merampas kendali perempuan atas tubuh dan kehormatannya. Meskipun perempuan tersebut adalah budak yang merupakan kasta terendah.
Islam tidak pernah mengajarkan bahwa budaya itu boleh menginjak martabat manusia, apalagi jika itu berarti mereduksi perempuan menjadi simbol atau alat. Jika budaya terus merayakan estetika sambil menindas agensinya, maka itu bukanlah budaya yang bisa kita terima. []