Mubadalah.id – Manusia di samping makhluk berakal, ia juga makhluk seksual. Seks adalah naluri yang ada di dalam dirinya.
Dalam Islam, semua naluri kemanusiaan mendapatkan tempat berharga dan terhormat. Naluri seksual harus disalurkan dan tidak boleh dikekang. Pengekangan naluri akan menimbulkan dampak-dampak negatif, bukan hanya terhadap tubuh, tetapi juga akal dan jiwa.
Nikah atau kawin pada dasarnya adalah hubungan seksual (persetubuhan). Dalam terminologi sosial, nikah dirumuskan secara berbeda-beda sesuai dengan perspektif dan kecenderungan masing-masing orang. Sebagian orang menyebut nikah sebagai penyatuan laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang sah secara hukum.
Dalam fikih, mayoritas ulama mendefinisikan nikah sebagai hak laki-laki atas tubuh perempuan untuk tujuan penikmatan seksual.
Meskipun dengan bahasa yang berbeda, mayoritas ulama mazhab empat sepakat mendefinisikan nikah sebagai akad yang memberikan kepemilikian kepada laki-laki untuk memperoleh kesenangan dari tubuh perempuan. Dan karenanya, mereka sepakat bahwa pemilik kesenangan seksual adalah laki-laki.
Islam hadir untuk menyelamatkan dan membebaskan perempuan dari kehidupan yang menyiksa. Al-Qur’an memberikan kepada perempuan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Selain itu, perempuan juga memiliki hak atas laki-laki dengan baik.
Bertolak dari pandangan ini nikah bisa kita rumuskan sebagai suatu perjanjian hukum yang memberikan hak seksual kepada laki-laki dan perempuan untuk tujuan-tujuan yang mereka kehendaki bersama.
Berdasarkan asas keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan, persoalan hubungan seksual sesungguhnya dapat berlaku terhadap suami ketika dia menolak melayani keinginan seks istrinya.
Ibnu Abbas pernah mengatakan, “Aku suka berdandan untuk istriku seperti aku suka dia berdandan untukku.”
Ucapan ini mengandung arti bahwa suami dan istri perlu saling memberi dan menerima dalam suasana hati yang menggairahkan.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.