Layla, kamu pernah mendengar kisah Qais yang mengutarakan cintanya di dinding?
Layla, aku melewati dinding itu, aku cium temboknya, bukan rumah itu yang telah mengambil hatiku tapi dia yang berdiam di dalamnya.
Mubadalah.id – Puisi mashur yang diutarakan Qais pada Layla saat dia dikurung di istananya sendiri karena tidak boleh bertemu dengan kekasihnya, Qais. Keduanya dipisah oleh tembok kokoh membuat Qais mengutarakan deru rindunya pada tembok itu yang sesungguhnya ditujukan pada Layla di dalamnya.
Puisi itu dikutip oleh Samir dalam Film Layla Majnun saat mengungkapkan perasaannya yang tak bisa lagi dibendung, setelah kurang lebih dua minggu bertemu dalam satu lokasi perkuliahan di Azerbaijan. Layla sebagai dosen tamu dan Samir mahasiswanya.
Reza Rahardian sebagai Samir berperan begitu apik, logat seorang Azerbaijan yang lancar berbahasa Indonesia dan gaya mahasiswanya yang totalitas membuat kaum sufi (suka film) benar-benar merasakan suasana pelajar Persia yang sedang jatuh cinta. Sedangkan Acha Septriasa sebagai Layla adalah perempuan mandiri, teguh dan sangat menentang diskriminasi atas perempuan namun pada akhirnya ia sendiri yang diuji dengan kondisi keluarga yang terdesak.
Sejak kecil Layla hidup dengan ibu dan pamannya, bapaknya meninggal sejak ia masih kecil. Kekerasan demi kekerasan dilakukan oleh paman yang seharusnya menjadi pengganti bapak sebagai tulang punggung keluarga. Namun dia malah memalak ibunya dan menjodohkan Layla dengan calon bupati di kota itu sebagai imbalan hutang yang tak kunjung dilunasi.
Masalahnya semakin kompleks saat ia menerima lamaran calon bupati yang “tidak bener” itu dan berangkat ke Azerbaijan sebagai dosen tamu. Di sana Layla bertemu dengan Samir yang mencintainya sejak pertama kali buku pertamanya launching, dia yang mempromosikan buku Layla dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa Azerbaijan dan kemudian membuat Layla lolos menjadi dosen tamu di jurusan keindonesiaan di Azerbaijan. Ya, Samir mencintai Layla jauh sebelum Layla mengenal Samir.
Singkat cerita Samir menjadi majnun (gila) sebab Layla harus pulang ke Indonesia untuk menikah dengan lelaki lain. Namun belum sempat pernikahan itu terjadi Samir bangkit dari kegilaannya mengejar Layla ke Indonesia, bersatulah mereka dan hidup bahagia.
Spirit kisahnya sama dengan Layla-Qais yang ditulis oleh Nezami Ganjavi namun bedanya adalah usaha penyadaran diri yang dilakukan Layla dan Samir. Jika tidak, Layla akan tetap menjadi istri bupati dan Samir terus menggila. Berkat penyadaran itu kisah keduanya berakhir bahagia.
Selain itu, ada banyak pesan penyadaran yang lain dari para perempuan dalam film ini. Seorang Tina yang bercita-cita kawin muda dan bulan madu di tanah suci nyatanya setelah ditanya setelah itu mau ngapain dia malah diam. Begitulah, iming-iming nikah muda itu sekedar euforia belaka, toples Khong guan isi rengginang alias hanya indah di muka namun belakangnya belum tahu seperti apa.
Syukur kalau sudah siap mental menghadapi getar-getir kehidupan, mulai ekonomi, cibiran tetangga, mendidik anak yang tidak sederhana dan mertua yang (katanya) kadang tidak sependapat. Itu semua butuh ketangguhan diri dari jiwa yang sudah dewasa dan matang zahir batin.
Sebab pernikahan itu bukan sekedar hubungan biologis suami istri namun juga hubungan sosial dan spiritual. Karenanya dalam Islam pernikahan memiliki spesifikasi sangat ketat, selain mempelai harus ada wali perempuan dan dua saksi yang adil. Maka keliru jika pernikahan disamakan dengan perdagangan karena dalam akad jual-beli seorang saksi bukanlah syarat keabsahan akad.
Dari ibu Layla yang senantiasa mendukung anaknya untuk bangkit dari keterpurukan, berjuang sampai ia sukses mencapai cita-cita dan cintanya. Dukungan ibu yang selalu menolongnya dalam kodisi terdesak, dukungan ibu yang membangunkan semangatnya dan ibunya juga yang menyelamatkan cintanya saat berada di ambang maut.
Dari Layla yang bertekad menjadi diri yang bebas, dari sinilah bersumber kebaikan-kebaikan lain. Keluarganya keluar dari kekangan oligarki, menyadarkan muridnya bahwa pernikahan adalah ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang harus dipertimbangkan dengan benar, pertimbangannya tentang pasangan bukan lagi layak atau tidak layak tapi cinta atau tidak cinta. Mungkin sering kita mendengar bahwa cinta tak cukup jadi bekal pernikahan, itu benar bagi cinta birahi, tapi cinta hakiki akan menumbuhkan tekad untuk saling bahagia membahagiakan.
Lihatlah Samir yang sudah sampai pada cinta hakiki itu, ia tak membutuhkan cinta celengan sebagai perantara;
Mereka bilang apa kamu mencintai Layla?
jawabku tidak. Kenapa?
Cinta adalah tali penghubung, Layla adalah aku, aku adalah Layla, tidak perlu ada tali penghubung di antara kami berdua. Layla membuka jendela sebagai tanda ia membuka hatinya untuk Samir dan tak pernah menutupnya lagi.
Sebagaimana kukatakan di awal, film ini berbeda dengan Laila-Majnunnya Nezami yang berakhir dengan kematian, Layla-Majnun dalam film ini menyadarkan kita tentang kepemilikan manusia yang utuh atas diri kita masing-masing, karena setelah Tuhan tubuh kita adalah milik kita sendiri. []