Mubadalah.id – Alimat bersama KUPI, KemenPPPA, dan UNFPA menggelar Dialog Publik Nasional dan Peluncuran Buku “Menghentikan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia: Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti” di Jakarta, Rabu, 19 November 2025.
Ketua Pengurus Alimat, Dr. Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah menyampaikan bahwa praktik Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang dulu dianggap lumrah, bahkan diberi legitimasi keagamaan, kini harus dilihat sebagai tindakan berbahaya yang tidak memiliki dasar medis maupun agama.
“Penghapusan praktik yang merugikan anak perempuan sudah masuk fase yang tak lagi bisa ditawar,” katanya.
Dr. Iklilah menyebut perubahan ini bukan terjadi dalam semalam. Ia adalah buah dari proses panjang, diskusi tanpa henti, sosialisasi berkelanjutan, dan keberanian tokoh-tokoh lokal yang menolak praktik P2GP.
“Ini hasil kerja kolektif. Ada perjumpaan, ada refleksi, ada koreksi atas pengetahuan yang mapan,” tuturnya.
Peran Penting Negara dan Kolaborasi Lintas Lembaga
Satu poin yang terus Dr. Iklilah ulang adalah pentingnya dukungan negara. Ia menyambut baik sikap tegas pemerintah dalam memprioritaskan perlindungan anak dari praktik P2GP.
Terutama, kerja sama antara Alimat, KUPI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), serta dukungan UNFPA menjadi bukti bahwa negara dan masyarakat sipil kini berjalan dalam jalur yang sama.
Sejak beberapa tahun terakhir, Alimat terlibat aktif dalam proses sosialisasi fatwa keagamaan yang menegaskan keharaman praktik sunat perempuan tanpa alasan medis.
Fatwa ini menjadi instrumen penting dalam membongkar legitimasi keagamaan yang selama ini melekat. Di banyak daerah, pendekatan keagamaan terbukti jauh lebih efektif membuka pintu perubahan.
Buku yang Menjadi Jejak Gerakan
Puncak acara hari ini, lanjut Dr. Iklilah, yaitu peluncuran buku “Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti”, sebuah kumpulan cerita, refleksi, dan pengalaman para ulama perempuan dalam menghapus praktik P2GP.
Dr. Iklilah menggambarkan buku ini sebagai dokumentasi penting dari ruang khidmah yang selama ini jarang terlihat oleh publik yaitu dialog di pesantren, diskusi di majelis taklim, perdebatan dalam keluarga, hingga pengalaman personal para ulama perempuan ketika berhadapan langsung dengan masyarakat yang masih mempraktikkan tradisi ini.
Menurutnya, buku tersebut bukan sekadar kumpulan tulisan, melainkan “rekaman sejarah gerakan ulama perempuan Indonesia pada level yang paling akar.”
Ia berharap buku ini dapat menjadi inspirasi bagi para penggerak keadilan gender di berbagai daerah. Ia pun menegaskan bahwa buku ini tidak akan berhenti menjadi satu-satunya.
Bahkan, Alimat, kata dia, berkomitmen melahirkan lebih banyak karya yang berbasis pengalaman lapangan dan analisis keagamaan progresif.
Merawat Gerakan, Memperluas Jejaring
Dr. Iklilah mengajak seluruh peserta untuk terlibat lebih jauh dalam gerakan keadilan gender. Ia membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa pun yang ingin bergabung dengan Alimat.
Organisasi ini, katanya, membutuhkan tenaga baru untuk memperkuat advokasi hukum keluarga Islam yang lebih adil dan responsif.
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada para penulis buku yang sebagian besar merupakan ulama perempuan yang selama ini mengabdikan waktu, pikiran, dan tenaga mereka untuk kerja-kerja kemanusiaan.
Dr. Iklilah mengakui, tanpa dedikasi mereka, narasi perubahan tidak akan pernah bisa terdokumentasi dengan baik.
Gerakan Anti Sunat Perempuan sebagai Gerakan Keagamaan
Di akhir sambutannya, Dr. Iklilah memberikan penekanan yang paling penting bahwa penghapusan praktik P2GP bukanlah agenda yang datang dari luar. Tetapi lahir dari pemahaman keagamaan yang memuliakan manusia.
Dalam konteks Indonesia, gerakan ini ditegaskan bukan anti agama. Melainkan justru bagian dari interpretasi keagamaan yang menghormati martabat perempuan dan anak.
“Buku ini adalah narasi kepedulian. Narasi keberpihakan. Narasi keagamaan yang membela tubuh perempuan sebagai amanah, bukan objek praktik berbahaya,” tegasnya.
Dr. Iklilah menutup sambutannya bahwa “Anak yang dinanti, jangan disakiti.” Kalimat itu bukan sekadar judul buku. Tetapi menjadi kredo moral bagi seluruh gerakan yang terus bekerja dalam ruang-ruang publik. []










































