Mubadalah.id – Dalam setiap kesempatan natal, aku selalu memikirkan bagaimana seorang Maria menanggung beban yang amat berat. Bertahun-tahun lamanya, pikiranku berputar pada peristiwa Maria yang mengandung dan melahirkan Yesus. Maksudku, bukankah itu sebuah hal yang amat sangat berat dalam kondisi yang serba terbatas?
Mungkin, cara pandangku selama ini masih memiliki pengaruh oleh kisah Maryam dan kelahiran putranya yang aku kenal sejak kecil. Sebagai seorang muslim, aku tumbuh bersama narasi Maryam yang melahirkan dekat dengan sungai dan di bawah pohon kurma dalam kesendirian. berbeda dengan kisah natal pada kultur Kristen.
Walaupun Maria dan Maryam merujuk pada figur yang sama dalam tradisi Abrahamik, setiap komunitas iman memiliki penekanan kisah yang berbeda. Perbedaan tersebut patut dihormati sebagai kekayaan cara memahami pengalaman perempuan suci dalam kepercayaan masing-masing khususnya dalam tradisi Abrahamik.
Rasanya kurang adil jika aku memaknai Natal dengan kacamata tradisi yang tidak sedang aku baca. Oleh karena itu, aku memberi kesempatan bagi diriku sendiri untuk mengenal Maria melalui Al-Kitab. Pengalaman membaca ini memberikanku perspektif yang baru dalam cara pandangku. Rasanya, aku menemukan sesuatu yang terasa progresif dan layak dibahas secara lebih serius.
Pengkisahan Maria dalam Kitab Lukas
Kisah Maria dalam Al-Kitab mulanya diceritakan dalam Kitab Lukas. Kitab Lukas adalah salah satu dari empat Injil dalam Perjanjian Baru Alkitab, ditulis oleh Lukas (seorang tabib dan pengikut Rasul Paulus), yang memberikan catatan lengkap dan terperinci tentang kehidupan, pelayanan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus. Dengan penekanan pada kasih Yesus bagi semua orang, termasuk perempuan, orang miskin, dan orang bukan Yahudi. Kita tersebut dikenal sebagai kitab terpanjang dalam Perjanjian Baru, kaya akan kisah terkenal seperti narasi Natal.
Dalam Kitab Lukas, Pada bulan keenam, Allah mengutus malaikat Gabriel ke sebuah kota di Galilea yang bernama Nazaret. Malaikat itu datang kepada seorang gadis yang telah bertunangan dengan seorang laki-laki bernama Yusuf, keturunan Daud. Nama gadis itu ialah Maria. Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Lukas, Ayat 29-35)
Berkali-kali aku baca pertanyaan Maria pada Malaikat Gabriel. Semakin aku baca dan resapi pertanyaannya, semakin aku merasa sisi “feminis” yang Maria miliki. Maria bertanya, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Aku mengamati bahwa seorang Maria “sadar” akan otoritas tubuhnya sendiri.
Feminis Maria dan Otoritas Ketubuhan
Ketika aku mencoba memposisikan diri sebagai Maria pada masa itu, aku menyadari bahwa ia hidup dalam masyarakat yang sangat patriarkal. Perempuan memiliki ruang gerak yang terbatas, terutama dalam urusan tubuh, seksualitas, dan juga reproduksi.
Padahal, sudah sangat jelas Malaikat Gabriel berkata bahwa apa yang akan terjadi pada dirinya (Maria) adalah sebuah “kehendak” Tuhan. Bagiku, Malaikat Gabriel juga menjelaskan dengan kalimat yang sangat jelas untuk dipahami oleh Maria.
Tapi, Maria mengajukan sebuah pertanyaan. Bukankah, jika itu kehendak Tuhan bisa saja Maria tidak perlu bertanya dan justru bersuka cita karena Tuhan telah “memilih” ia menjadi perempuan yang istimewa? Bukankah begitu? Tapi aku melihat bahwa sisi feminis Maria terhadap tubuhnya bagai sedang berdiplomasi. Padahal, yang ia hadapi saat ini adalah seorang malaikat, bukan manusia biasa.
Tampaknya, aku juga menyadari bahwa pertanyaan Maria juga bukan sebagai bentuk pembangkangan atau penolakan. Aku melihatnya dalam perspektif lain, justru pertanyaan yang ia ajukan kepada malaikat Gabriel sebagai bentuk Maria berpikir dan menyadari apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Maksudku dengan Ia bertanya, Maria sesungguhnya sedang menempatkan dirinya sebagai subyek yang sadar atas tubuh dan kehidupannya sendiri. Suatu peristiwa yang mungkin pada waktu itu, tidak semua perempuan dapat melakukannya!
Sebagai perempuan yang belum bersuami, ia berhadapan dengan potensi stigma dan hukuman sosial. Karena itu, pengalaman mengandung dan melahirkan juga menjadi persoalan sosial yang menyentuh relasi dengan keluarga dan masyarakat. Tubuh perempuan selalu berada dalam pengawasan sosial, dan Maria mengalami hal itu secara langsung.
Uniknya, kitab Lukas ayat 36 mengisahkan Maria dalam kelanjutan dialog tersebut bahwa Maria berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu,”.
Dalam perspektif umum misalnya, apa yang Maria katakan bisa jadi sebagai bentuk Maria melakukan kepasrahan total atas apa yang terjadi pada tubuhnya. Namun, aku menmukan pemaknaan yang lebih unik. jika kita baca dengan lebih jernih, pernyataan ini muncul setelah dialog dan penjelasan. Artinya, Maria memberikan persetujuan dengan sadar penuh tanpa ada pemaksaan.
Feminis Maria memberiku pengajaran bahwa perempuan berhak menyuarakan dan memperjuangkan otoritas atas tubuh serta pengalaman reproduksinya. Untuk ukuran zamannya, sikap ini menurutku sangat maju dan berani. Bukankah ini suatu hal yang progresif?
Yusuf yang Adil Gender
Yusuf, seorang tunangan Maria tertulis dalam kitab Matius. Matius adalah kitab Injil pertama dalam Perjanjian Baru Alkitab Kristen berdasarkan kesaksian rasul Matius (seorang pemungut cukai yang menjadi murid Yesus) dan berfokus pada kehidupan, ajaran, kematian, dan kebangkitan Yesus.
Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” (Matius Ayat 19-21)
Aku melihat Yusuf sebagai seseorang yang adil gender. Yusuf menyadari bahwa Maria sedang berada pada posisi yang sangat rentan. Alih-alih menggunakan kuasanya sebagai laki-laki untuk menghakimi atau mempermalukan Maria, Yusuf justru memilih jalan yang paling aman bagi Maria. Yusuf bisa saja menyerahkan Maria pada para hakim untuk dikenakan hukuman, tetapi ia lebih memilih untuk melindungi Maria. Yusuf sedang berpihak pada keselamatan perempuan!
Relasi Mubadalah Maria-Yusuf
Menjelang kelahiran anak Maria, Kaisar Agustus mengeluarkan perintah agar seluruh penduduk mendaftarkan diri. Perintah kaisar memaksa banyak orang untuk meninggalkan tempat tinggal mereka, termasuk Yusuf. Sebagai keturunan Daud, Yusuf harus pergi dari Nazaret di Galilea menuju Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem. Aku melihat jika perrjalanan tersebut tentulah bukan perjalanan yang mudah, terlebih Maria sedang mengandung besar.
Dalam situasi yang berat itu, Yusuf tidak meninggalkan Maria. Ia justru membawa Maria bersamanya, memastikan tunangannya tetap berada dalam perlindungan dan pendampingan penuh. Perjalanan panjang menuju Betlehem penuh dengan kehati-hatian. Yusuf menempatkan keselamatan Maria dan bayi yang Maria kandung sebagai prioritas utama. Yusuf sangat menyadari bahwa kondisi Maria sangat rentan dan membutuhkan perhatian ekstra.
Setibanya di Betlehem, waktu persalinan Maria pun tiba. Namun, kota telah penuh oleh para pendatang yang datang untuk mendaftarkan diri. Keduanya tidak mendapatkan tempat di penginapan. Dalam keterbatasan, Yusuf berusaha mencari ruang paling aman yang tersedia. Akhirnya, mereka berlindung di sebuah tempat sederhana, tempat hewan-hewan biasa beristirahat (kemungkinan di sebuah kandang ternak atau dekat Menara Kawanan Domba (Migdal Eder)). Di tempat tersebut Maria melahirkan anaknya.
Yesus lahir dalam keadaan yang sangat sederhana. Maria membungkus bayi tersebut dengan lampin dan membaringkannya di dalam palungan. Sekali lagi, Yusuf selalu berada di sisi Maria. Ia selalu memastikan bahwa Maria dapat melahirkan dengan aman.
Ketika aku membaca kisah Maria hingga ia melahirkan, aku merasakan bahwa relasi Maria dan Yusuf sangatlah Mubadalah. Dalam kondisi yang rentan, Yusuf selalu berada di sisi Maria untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan Maria menjadi partner yang saleh bagi Yusuf dalam melaksanakan perintah Tuhannya. Sungguh, nilai-nilai tersebut memberikanku pengajaran tentang bagaimana natal juga menyimpan nilai-nilai relasi yang sarat akan nilai kesalingan atau Mubadalah.
Refleksi
Sebagai seorang muslim, aku sangat menghormati perayaan Natal, terutama bagi teman-teman kristiani yang merayakannya. Refleksi Natal yang kutuliskan tahun ini menjadi sebuah refleksi yang sangat berharga. Karena aku belajar tentang Natal menyimpan pesan mendalam tentang bagaimana pengalaman reproduksi perempuan, ketubuhan, serta relasi laki-laki dan perempuan dalam bingkai kesalingan.
Pengalaman Maria sejujurnya menampakkan kalau tubuh perempuan bukanlah obyek yang pasif. Maria justru tampil sebagai subjek yang berpikir, bertanya, dan memberikan persetujuan secara sadar atas apa yang akan terjadi pada tubuh dan hidupnya.
Pada sisi yang lain, Yusuf menghadirkan figur laki-laki yang adil gender terutama kepada Maria. Maria tidak sendirian menanggung beban reproduksi, dan Yusuf tidak berdiri sebagai figur dominan. Keduanya berbagi peran, risiko, dan tanggung jawab sesuai dengan kondisi masing-masing. Inilah relasi setara yang berangkat dari empati bersama.
Refleksi Natal kali ini mengajak kita untuk meninjau ulang cara pandang terhadap tubuh perempuan dan pengalaman reproduksi. Masih banyak perempuan yang mendapatkan pemaksaan menanggung pengalaman bilogis seperti kehamilan, persalinan, dan pengasuhan secara sendirian.
Kisah Maria dan Yusuf seharusnya kita pahami bahwa beban reproduksi tidak seharusnya terpikul secara individual oleh perempuan saja. Melainkan menjadi tanggung jawab bersama yang melibatkan pasangan, keluarga, dan juga masyarakat.
Selamat Hari Raya Natal 2025! []










































