Mubadalah.id – Ada masa ketika tubuhku mengajarkan ulang apa itu menjadi perempuan yakni saat hamil kemudian menyusui. Pengalaman biologis yang penuh makna.
Sebelum itu, mungkin aku menganggap progres kesetaraan terutama soal akses perempuan harus hadir di ruang publik, di panggung, di meja rapat. Tetapi hamil membuatku sadar bahwa tubuh memiliki ritme dan logika sendiri yang tak bisa kita negosiasikan.
Trimester pertama mengubah caraku bekerja. Rasa lelah yang tidak masuk akal, bukan sekadar mengantuk, tetapi kelelahan yang membuat tubuh seperti sedang memindahkan gunung, ternyata sepenuhnya masuk akal secara medis.
Dalam proses kehamilan, volume darah meningkat lebih dari 40 persen. Hormon progesteron melonjak, dan metabolisme naik untuk mendukung pertumbuhan embrio. Banyak penelitian kebidanan menjelaskan bahwa mual, kelelahan ekstrem, dan perlambatan konsentrasi bukan kelemahan personal, melainkan kerja biologis yang masif.
Kerja dalam dunia yang tak terlihat
Pengalaman itu membuatku paham bahwa tubuh perempuan tidak pernah diam. Menstruasi pun menghadirkan ritme yang sering dianggap remeh.
WHO menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen perempuan mengalami dysmenorrhea yang mengganggu aktivitas sehari-hari, dengan sebagian signifikan mengalami penurunan produktivitas atau absensi kerja. Namun banyak kantor masih menganggap siklus ini sebagai urusan pribadi yang tak perlu kita terjemahkan ke dalam kebijakan.
Jika pengalaman ini masih kita ragukan, menyusui menegaskan semuanya. Produksi ASI, yang terpicu oleh prolaktin dan oksitosin menuntut energi yang sangat besar. Rekomendasi kesehatan internasional menyebutkan bahwa ibu menyusui membutuhkan tambahan 330–500 kalori per hari.
Aku merasakannya, di mana rasa lapar yang hadir terus-menerus. Lalu keringat dingin saat ASI let-down, malam-malam panjang saat bayi menyusu tiap dua jam atau bahkan sejam. Di banyak tempat kerja, seluruh proses ini masih mereka anggap gangguan sementara, seakan tubuh perempuan bisa diatur seperti jadwal rapat.
Padahal, inilah alasan kebijakan ramah perempuan (cuti melahirkan yang cukup, ruang laktasi, jam kerja fleksibel, dan dukungan kesehatan reproduksi). Ini bukan sekadar fasilitas tambahan, melainkan kebutuhan biologis. Laporan World Bank 2024 menegaskan bahwa hambatan terbesar partisipasi perempuan di dunia kerja bukan kemampuan. Tetapi sistem yang tidak selaras dengan realitas tubuh dan beban perawatan.
Akhirnya aku memahami bahwa kesetaraan tidak akan tercapai jika tubuh perempuan kita perlakukan sebagai variabel yang bisa kita netralkan. Tubuh punya cerita, ritme, dan kebutuhan. Mengabaikannya justru membuat perempuan harus bekerja dua kali. Melawan struktur, dan melawan biologinya sendiri.
Seperti kata Chimamanda Ngozi Adichie dalam bukunya We Should All Be Feminists, “Culture does not make people. People make culture.” Dan budaya yang kita buat sekarang seharusnya berhenti menganggap tubuh perempuan sebagai gangguan terhadap produktivitas.
Mengakui Pengalaman Biologis Tanpa Memaksa Perempuan Menjadi Laki-Laki
Terkadang ada salah paham besar dalam diskusi kesetaraan, di mana untuk setara, perempuan harus dapat melakukan semua yang laki-laki lakukan dengan cara yang sama. Seakan kesetaraan hanya berarti menyamakan. Padahal menyamakan sering kali justru menghapus pengalaman unik perempuan.
Feminisme yang matang tidak menolak perbedaan biologis. Ia hanya menolak perbedaan itu kita jadikan dasar ketidakadilan. Perspektif mubadalah yang menekankan relasi saling melindungi dan saling memanusiakan. Mengajarkan bahwa pengalaman perempuan harus terakui, bukan kita singkirkan agar dianggap setara. Dalam logika mubadalah, tubuh perempuan bukan beban, tetapi pengetahuan.
Beberapa teman perempuan pekerja bilang sering ngerasa bersalah kalau harus meninggalkan rapat untuk memompa ASI. Ada tekanan tak kasatmata yang membuatnya merasa kurang profesional, kurang kuat, atau kurang setara.
Baru belakangan aku menyadari bahwa rasa bersalah itu muncul karena standar kerja terancang dari tubuh laki-laki. Tubuh yang tidak menstruasi, tidak hamil, tidak menyusui, dan tidak pernah diminta berhenti bekerja karena makhluk kecil bergantung sepenuhnya padanya.
Namun mengakui hal ini bukan berarti perempuan “kembali ke rumah” atau terbatasi. Justru sebaliknya, pengakuan atas realitas biologis membuat kita dapat merumuskan kesetaraan yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih realistis. Kesetaraan yang tidak mengharuskan perempuan mengorbankan tubuhnya demi diterima.
Feminisme Bukan Kompetisi, tapi Rekonstruksi
UN Women menunjukkan bahwa perempuan di seluruh dunia menghabiskan tiga kali lebih banyak waktu untuk kerja perawatan tak berbayar dibanding laki-laki. Ini bukan fakta biologis semata, melainkan konstruksi sosial yang bertumpang tindih dengan kondisi biologis. Mengakui pengalaman biologis membantu kita melihat titik-titik di mana ketidakadilan muncul dan mengapa kebijakan harus dirancang dengan perspektif gender yang utuh.
Dalam hal ini, feminisme bukan soal meniru laki-laki, ia soal membongkar standar yang selama ini hanya menguntungkan sebagian tubuh. Feminisme bukan kompetisi, melainkan rekonstruksi.
Pada akhirnya, pengalaman hamil dan menyusui tidak membuatku merasa lebih lemah, ia menjadikanku lebih memahami bahwa tubuh adalah bagian dari politik. Bahwa kelelahan, nyeri, hormon, dan perubahan fisik bukan sesuatu yang perlu kita sembunyikan agar perempuan bisa diterima di ruang publik.
Kesetaraan yang manusiawi membutuhkan keberanian untuk melihat tubuh perempuan apa adanya bukan sebagai kekurangan, tetapi sebagai realitas yang harus kita hormati. []










































