Mubadalah.id – Kemarin sore selepas memenuhi tugas piket di kantor Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu, aku ke tempat pencucian mobil. Jarum jam masih menunjukkan pukul 15.20 wib, masih ada waktu sekitar dua jam sebelum senja tiba. Setelah menyerahkan kunci mobil, aku duduk di tempat yang telah disediakan pengelola. Berapa menit kemudian, mobil Toyota Yaris masuk. Seorang perempuan muda berjilbab keluar mobil, dan menyerahkan kunci pada pegawai.
Dari jauh aku memperhatikan perempuan berkerudung itu. Ia membawa dua tas, dan bergegas menuju kafe di samping tempat pencucian mobil. Selepas kepergian perempuan berjilbab, masuk lagi mobil Honda Civic. Kali ini seorang perempuan muda tanpa penutup kepala, dan seorang anak perempuan keluar dari mobil. Dia juga sama hendak mencuci mobilnya. Aku membatin. Menjadi perempuan mandiri itu, keren sekali!
Tak hanya itu, sambil duduk merenung menunggu giliran mobilku dicuci, aku lantas membuka-buka kembali catatan dari Buya Husein Muhammad tentang perempuan mandiri. Di mana melalui kata-kata Buya inilah yang terus menebalkan semangatku untuk menyebarkan semangat kemandirian pada perempuan lain agar berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri.
“Perempuan harus sehat secara reproduksi, pintar secara intelektual, mandiri dalam berpikir dan secara finansial. Jangan bergantung nasibnya pada laki-laki/suami. Orang yang tergantung itu, bagai orang yang tidak merdeka. Saat orang tempatnya bergantung tidak ada, dia akan kehilangan segalanya. Ketergantungan bisa mengakibatkan keterbelakangan.”
Perempuan Punya Posisi Tawar
Mungkin pengalaman setiap perempuan berbeda. Tetapi berdasarkan pengalamanku sendiri, ketika aku belum bisa apa-apa, tidak punya apa-apa, atau sesuatu yang bisa aku banggakan, aku harus patuh pada sistem yang secara nurani bertentangan dengan apa yang aku yakini. Aku tidak, atau belum punya kekuatan untuk melawannya. Seakan hidupku hanya tergantung pada sistem itu.
Pertama, soal pengetahuan dan keterampilan. Aku tahu ada sesuatu yang salah, tetapi tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Mungkin hal yang sama juga dialami oleh para perempuan yang menjadi korban ketidakadilan. Mengetahui bahwa sesuatu itu salah, tetapi tidak tahu bagaimana caranya keluar dari jeratan itu.
Kedua, soal akses. Setelah mengerti sesuatu itu salah, kita bisa mencari jalan keluarnya. Dan mengetahui apa yang harus kita lakukan, dan siapa saja orang atau lembaga yang bisa kita mintai bantuan agar mampu keluar dari jerat ketidakadilan.
Jika pengetahuan dan keterampilan bisa kita dapatkan melalui proses belajar, yakni dengan menyerap informasi dari manapun, maka akses ini baru bisa kita peroleh ketika aktif membangun relasi. Baik itu di komunitas ataupun organisasi.
Dengan menerapkan dua hal di atas, perempuan punya posisi tawar, dan bisa menegosiasikan apa yang menjadi keinginan serta kebutuhannya. Hal yang demikian bisa pula berlaku di keluarga, bagaimana seorang istri bisa membuat kesepakatan bersama dengan suami.
Aku pernah, bahkan seringkali mempraktikkannya. Terutama ketika merencanakan liburan keluarga. Dari mulai perencanaan, hingga hari H tiba. Kami banyak membuat kesepakatan bersama tentang siapa membayar apa, jam berapa akan berangkat dan pulang nanti. Bahkan sampai pada di mana saja destinasi wisata yang akan kami kunjungi, serta kapan waktunya bergantian menyetir mobil.
Perempuan sebagai Sumber Peradaban
Mengapa menjadi perempuan mandiri itu penting?
Kemandirian perempuan membantu mengatasi stereotip gender yang merugikan. Dalam banyak budaya, perempuan sering dianggap lemah atau tidak mampu melakukan hal-hal tertentu. Dengan menjadi mandiri, perempuan membuktikan bahwa mereka mampu mencapai apa pun yang mereka inginkan, dan melawan prasangka yang tidak adil.
Perempuan mandiri merupakan contoh inspiratif bagi perempuan lainnya, karena mereka menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi dan kemampuan yang sama seperti laki-laki untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup mereka. Kemandirian perempuan penting untuk memperkuat peran perempuan dalam masyarakat, dan menyetarakan kesempatan yang adil dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun, penting juga untuk kita catat bahwa kemandirian bukan berarti bahwa perempuan harus melakukannya sendiri tanpa dukungan dari orang lain. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk memilih dan memiliki kontrol atas hidupnya sendiri, tetapi tetap bisa membangun hubungan yang sehat dan saling mendukung dengan orang lain.
Karena sebagaimana yang Buya Husein ungkapkan, bahwa perempuan itu adalah sumber dan fondasi peradaban, “umm al Hadharah”. Nabawiyah Musa, kata Buya Husein, yang merupakan seorang aktivis dan pelopor pendidikan perempuan di Mesir, mengatakan :
تَقَدُّمُ الْمَرْأَةِ هُوَ سِرُّ تَقَدُّمِ الْأُمَمِ
“Kemajuan perempuan adalah faktor di balik kemajuan bangsa-bangsa.”
Dengan kata lain, di balik kemajuan bangsa ada tangan-tangan perempuan yang sehat, cerdas dan aktif di ruang publik. Dan tentu saya sependapat, dan sangat mendukung pernyataan itu. []