• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Merasionalisasi Kalimat “Jarak Lamaran dan Menikah tuh Jangan Jauh-jauh”

Jarak yang jauh antara lamaran dan menikah sering dipersoalkan karena kekhawatiran terhadap ketidakmampuan kedua belah pihak menjaga

Khoniq Nur Afiah Khoniq Nur Afiah
28/11/2024
in Personal
0
Jarak Lamaran dan Menikah

Jarak Lamaran dan Menikah

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Mbok yo jangan lama-lama jarak lamaran dan menikah. Ujiannya tuh MasyaAllah. Bisa-bisa gak jadi nikah lho.”

Mubadalah.id – Kalimat ini sering mendarat di telinga teman-teman? Kalaupun tidak sering, namun pernah ya mendengar kalimat tersebut.

Terkadang kita hanya perlu mengalami, lalu bercerita. Kehidupan perempuan dengan kompleksitas kondisi yang dihadapinya, menuntut perempuan memiliki kemampuan untuk merasionalisasi sesuatu. Yakni membuka pandangan lebih luas dan memperluas wawasan.

Perenungan ini menurut penulis menjadi penting untuk terbagikan pada teman-teman semua, khususnya yang ingin menikah sudah punya calon pasangan. Namun pada waktu yang sama waktu belum bisa menentukan “kapan pernikahan tersebut bisa terlaksana.”

Jarak yang jauh antara lamaran dan menikah sering dipersoalkan karena kekhawatiran terhadap ketidakmampuan kedua belah pihak menjaga, sehingga mengakibatkan cacatnya sebuah lamaran yang telah dilakukan.

Masyarakat sering sekali mempermasalahkan tentang jarak lamaran yang terlalu lama dengan akad nikah. Seringkali jarak yang lama yang sudah dibayangkan sebelumnya memberikan pengaruh terhadap gagalnya prosesi lamaran tersebut. Padahal, jauh dan dekat jarak lamaran dengan akad nikah adalah sesuatu yang relative hukumnya.

Semua terjadi dan terlaksana sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing pasangan. Kondisi satu pasangan dengan pasangan lainnya tidak bisa kita pukul rata, alias kita samakan. Semua pasangan memiliki kompleksitas keadaan yang yang bermacam-macam.

Baca Juga:

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Film Azzamine: Ketika Bentuk Proteksi Orang Tua Kepada Anak Perempuan Disalahartikan

Menimbang Jarak Waktu Lamaran dengan Menikah

Problematika tersebut yang selanjutnya perlu kita pahami secara lebih lanjut dan ingin saya ulas lebih panjang dalam tulisan ini. Sebab kiranya menjadi penting untuk memahami beberapa hal yang berkaitan dengan “jarak waktu lamaran dengan menikah” sehingga dapat menghadapi masa itu dengan baik dan bijak. Kiranya penulis akan menyampaikan beberapa hal yang penting untuk disadari oleh siapapun yang akan memasuki masa ini.

Pertama, persoalan jarak dan waktu yang menikah dan lamaran sebaiknya tidak menjadi sesuatu yang kita persoalkan secara serius. Jika memang memungkinkan untuk mempersingkat waktu, lakukan itu. Namun, jika kondisi mendukung untuk memperpanjang waktu dari lamaran hingga akad nikah, maka jalani hal tersebut dengan baik.

Pahami bahwa setiap keputusan sangat berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan diri sendiri. Bukan dengan orang lain atau budaya yang terkadang justru memperkeruh kehidupan yang sedang kita hadapi.

Sikap lain yang perlu kita hadirkan, yakin merasa bijak atas pilihan yang telah ditetapkan. Mengurangi rasa was-was dan meningkatkan percaya diri. Bahwa guna menuju proses perlu bentuk keseriusan. Barangkali perlunya waktu yang panjang antara lamaran dan akad adalah bentuk keseriusan atas hubungan yang sedang kalian jalani.

Sakralitas Lamaran

Kedua, bangun kesadaran secara penuh oleh kedua pasangan, termasuk perempuan bahwa lamaran adalah sesuatu yang sama sakralnya dengan akad nikah dan perlu kita jaga. Kesadaran yang penuh untuk menjaga ikatan lamaran tersebut menjadi wasilah yang mengendalikan ego atau berbagai masalah yang menghampiri kedua belah pihak.

Kesadaran penuh yang kita jalankan secara serius dan baik akan melahirkan hubungan yang harmonis. Adapun rintangan yang kita hadapi akan menjadi sebuah pembelajaran yang dijalani bersama. Bukan kita pahami sebagai konflik yang memberikan kecatatan atau retaknya hubungan.

Ketiga, pahami bahwa setiap manusia akan mengalami berapa segmen kehidupan. Setiap manusia memasuki segmen baru dalam kehidupan kita memerlukan melakukan adaptasi. Termasuk segmen kehidupan lamaran ini. Pasti seseorang memerlukan adaptasi untuk menyandang status baru sebagai “perempuan yang sudah dilamar”.

Bangun kesadaran secara penuh sebagai subjek yang telah menempati posisi tersebut. Sekali lagi, adaptasi menjadi sesuatu yang perlukan dalam setiap segmen kehidupan saat seorang individu baru memasukinya.

Hormati Setiap Keputusan

Logikanya, setiap segmen dalam kehidupan sebagai sesuatu yang membutuhkan adaptasi pasti menemukan rintangan. Jangan pula mudah untuk memaknai bahwa rintangan yang hadir adalah sesuatu akibat dari jarak lamaran dan menikah terlalu jauh.

Namun, maknai bahwa setiap rintangan membawa kita pada meningkatnya skill untuk membangun problem solving. Wajar dalam adaptasi kita menemukan rintangan, sebab itu adalah dunia baru yang sebelumnya kita belum pernah mengalami. Selain itu, stay positive dan keep calm juga perlu hidup dalam setiap proses ini.

Intinya, jarak dekat dan lama dari lamaran hingga menikah tidak perlu kita pandang sebagai problematika yang tidak memiliki jalan keluar. Semua bisa kita lewati dan kita selesaikan sesuai dengan porsi masing-masing. Tidak ada yang benar-benar salah atau tidak tepat, tidak ada pula yang benar-benar benar seutuhnya.

Semua memiliki porsi dan kadar yang sesuai dengan kondisi yang dimiliki. Setiap pasangan memiliki idealitas masing-masing dan tidak perlu menggunakan idealitas pribadi untuk mengukur kondisi orang lain. Sebab itu hanya akan melahirkan kemadharatan.

Menghormati setiap keputusan orang lain yang berbeda dengan adab yang baik adalah bentuk penghormatan untuk menjaga hubungan sesama manusia yang selaras dengan konsep mubadalah. Sekian. []

Tags: akad nikahBudayaJarak Lamaran dan MenikahJodohLamaranmenikahTradisi
Khoniq Nur Afiah

Khoniq Nur Afiah

Santri di Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek R2. Tertarik dengan isu-isu perempuan dan milenial.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID