Mubadalah.id – “Kasihan ya si Nurjamilah, masih muda sudah jadi janda. Apalagi anaknya ada tiga, masih kecil-kecil pula” Ucapan bu RT mengawali obrolan mereka tentangku.
“Iya, padahal ya Nurjamilah itu cantik, eh sekarang harus banting tulang biayai anak-anaknya. Lihat penampilannya saja lusuh begitu.” Timpal salah satu ibu-ibu yang aku sendiri kurang akrab, mendengar ucapan beliau aku lantas menunduk melihat pakaian yang ku kenakan, daster batik yang sudah usang dengan bergo instan yang sudah agak melar.
Mereka mungkin tidak sadar, bahwa yang sedang mereka bicarakan ada di belakang antrian. Ya, saat ini aku sedang mengantre tepat dibelakang para ibu-ibu yang kelihatannya baru pulang rapat dari desa, di sebuah toko kelontongan untuk membeli kebutuhan rumah tangga.
“Iya, awas saja kalau dia coba goda-goda suami saya. Ma-” sebelum ucapannya selesai aku segera berdehem dan meminta izin untuk membayar belanjaan lebih dulu. “Kalau masih mau ngobrol, ibu bisa biarkan saya bayar lebih dulu ya bu, permisi”
Mata mereka terbelakak, merasa kaget mungkin. Karena objek pembicaraannya ada di belakang mereka.
***
Namaku Nurjamilah, usiaku baru 25 tahun. Dan aku sudah menyandang status janda. Suami ku–mas Umar meninggal tiga bulan yang lalu karena sakit. Ia meninggalkanku dengan ketiga anak perempuan yang masih kecil, anak pertama kami berumur enam tahun, anak kedua tiga tahun, dan yang bungsu baru berusia enam belas bulan.
Tidak ada warisan yang bisa kami gunakan untuk bertahan hidup, semua harta yang kami punya dijual untuk biaya selama beliau sakit. Karena itu tidak salah apa yang ibu tadi katakan, bahwa aku harus banting tulang untuk menghidupi anak-anak.
Aku menikah di usia yang masih belia, delapan belas tahun dan baru lulus SMA, aku harus rela menuruti keinginan orang tua untuk menerima pinangan Mas Umar, lelaki yang saat itu sudah berusia dua puluh enam tahun yang berprofesi sebagai salah satu staff desa tempat kami tinggal.
Sopan, mapan dan dewasa adalah pertimbangan orang tua ku saat meminta supaya aku mau menikah dengannya. Katanya, mau cari yang bagaimana lagi? Lagipula aku tidak ada biaya untuk lanjut kuliah, jadi lebih baik menikah saja.
Sebagai seorang anak, aku tidak bisa berbuat banyak saat itu. Apalagi aku selalu diperingati untuk selalu nurut kepada perintah orang tua, lalu setelah menjadi istri akupun diminta untuk nurut kepada suami.
Menikah di usia delapan belas, kemudian tak lama langsung hamil anak pertama karena aku dilarang menggunakan KB oleh orang tua Mas Umar, katanya bisa bikin susah punya anak nantinya. Toh mas Umar sudah dewasa dan aku pun tidak punya kegiatan apa-apa. Aku tidak berani menolak, lalu lahirlah anak pertama berjenis kelamin perempuan yang Bernama Anaya. Dua tahun kemudian lahir anak kedua kami, yang lagi-lagi perempuan. Diberi nama Betari.
Ternyata memiliki dua anak perempuan belum cukup bagi mereka, mertuaku menginginkan cucu laki-laki. Lalu dua tahun kemudian lahirlah anak ketiga, yang lagi-lagi adalah seorang bayi perempuan. Hal itu membuat mertuaku kecewa. Mereka kecewa karena dari tiga anak yang kami punya semuanya perempuan.
Lalu aku sebagai ibunya bisa apa? Tidak mungkin aku kecewa karena anakku perempuan semua, kuberi dia nama Cinta, supaya dia ingat bahwa aku akan mencintainya sama seperti kakak-kakaknya.
Anaya, Betari dan Cinta sudah cukup bagiku. Biarlah jika tak ada anak laki-laki.
***
Selama tujuh tahun menikah, aku selalu dirumah. Terbiasa dicukupi oleh suami. Aku tidak punya waktu untuk mengembangkan diri, aku kehilangan kesempatan bertemu dengan teman-teman, aku bergantung sepenuhnya kepada Mas Umar. Hingga saat beliau sakit, mau tidak mau kami harus menjual aset-aset warisan yang ia dapat dari orangtuanya, untuk biaya hidup dan biaya berobat. Semua habis tak tersisa, rumah pun harus kami gadaikan, yang untungnya sudah ditebus oleh orang tuaku beberapa minggu setelah mas Umar wafat.
Sebelum wafat, beliau sempat berkata seperti ini, “Dik, mas minta maaf. Mohon maaf jika secara tidak langsung mas membuat kamu menanggung beban seberat ini. Mas minta maaf jika tidak bisa menemanimu merawat anak-anak. Mas minta maaf jika kedepannya mungkin jalan yang kamu hadapi lebih berat lagi. Maafkan mas yang sudah merenggut masa mudamu.”
Permintaan maaf yang hanya bisa di respon dengan tangisan olehku. Aku memang menikah bukan karena ingin, aku juga merasa kecewa karena banyak mimpi yang harus ku kubur setelah menikah, tapi aku juga tidak bisa menafikan bahwa mas Umar adalah suami yang baik.
Kini, orang mengenalku Nurjamilah. Janda anak tiga yang ketiganya perempuan semua. Bekerja sebagai pedagang ikan keliling. Karena hanya itu yang bisa ku kerjakan.
***
“Bu, nanti ada rapat orang tua.” Informasi Ayana, putri sulungku yang sudah kelas dua.
“Iya nanti ibu hadir.” Jawabku, disela-sela kerepotan memakaikan baju Betari, anak kedua yang seharusnya sudah masuk TK tapi terkendala biaya.
“Ibu jangan jualan ikan ya, nanti bau.” Pinta Ayana, bukan sekali dua kali ia mengeluhkan pekerjaanku sebagai pedagang ikan laut keliling. Yang membuat tanganku hingga seluruh badan terkadang bau amis. Ya namanya jualan ikan, mana mungkin wangi parfum.
“Nanti ibu mandi dan cuci tangan dulu terus ganti baju sebelum berangkat ke sekolah kakak.” jelasku. Aku berusah memberi solusi supaya badanku tidak bau amis ketika menghadiri rapat nanti.
“Tapi bu, Ayana lho diledekin mulu sama teman-teman. Katanya Ayana bau ikan.” Adunya,
Deg!
Anak kelas dua sudah menjadi korban bullying.
Sebagai ibu aku paham, mungkin jalan ketiga anakku tidak akan semudah ketika ada ayahnya. Aku juga sadar bahwa perjuanganku akan lebih berat dengan status janda dan stigma yang melekat. Tapi, mengetahui anakku diledek bau ikan karena ibunya penjual ikan membuatku merasa gagal.
Andai dulu aku tidak menikah muda. Andai ada keahlian yang bisa kukerjakan selain berjualan ikan. Andai aku bisa kuliah seperti teman-teman dan andai saja. Lamunanku terhenti karena tangisan Cinta. Ia pasti bingung karena bangun tidur tidak menemukanku didekatnya.
***
Rapat sekolah ternyata membahas mengenai iuran siswa untuk membuat bangunan kelas yang baru, aku menarik nafas berat. Karena pusing memikirkan kondisi keuangan.
“Dik Nur kenapa?” Tiba-tiba bapak kepala sekolah mendekat kepadaku, yang sontak saja menjadi pusat perhatian para orang tua murid yang belum pulang.
“Ee tidak apa-apa pak,” jawabku seadanya. Aku sedikit risih dengan tatapannya dan senyum genitnya barusan.
“Kalau dik Nur merasa berat dengan biayanya. Adik bisa lapor nanti ke rumah saya. Kebetulan istri saya sedang mengunjungi anak pertama saya di kota. Nant–”
Plak! Dengan berani aku menampar kepala sekolah tersebut
Aku merasa terhina, aku memang janda. Tapi setidaknya jangan menganggapku sebagai perempuan yang akan menggadaikan harga diriku sebagai perempuan. Tamparanku barusan sukses membuat beberapa pasang mata melotot, mereka mungkin kaget dengan apa yang kulakukan barusan. Biarlah, orang berkata apa.
“Bapak jangan macam-macam, saya bukan perempuan seperti itu.”
“Halahh, kamu ini sok-sok an nolak. Memang kamu mampu bayar satu juta dalam jangka waktu satu minggu? Janda anak tiga saja belagu. Mau kamu saya laporkan ke polisi karena nampar saya barusan, ha?!” Hilang sudah wajah ramah yang tadi beliau umbar. Ternyata memang benar, sekolah tinggi serta jabatan tinggi tidak menjamin kualitas seseorang.
“Saya memang janda, saya juga mungkin tidak mampu membayar iuran tersebut. Tapi bukan berarti bapak bisa melecehkan saya seperti barusan?!” Aku berusaha menahan tangis yang siap keluar, aku harus bisa mempertahankan harga diriku didepan bapak ini. Jangan kira karena aku janda aku bisa diperlakukan seenaknya.
“Halahhh, kamu barang bekas aja sok-sok mau ngelawan. Makanya–” sebelum ucapannya selesai, aku segera beranjak sambil menghapus air mata. Aku tidak peduli jika setelah ini menjadi bahan perbincangan, toh memang setelah menjanda aku biasa dibicarakan.
Tidak selamanya yang bergelar pendidik memiliki prilaku yang terdidik. Bebanku sebagai orang tua tunggal sudah cukup banyak karena harus banting tulang bekerja seadanya untuk menghidupi ketiga anakku. Belum lagi stigma janda yang melekat di masyarakat membuatku harus berkeras hati supaya tidak mudah baper karena celotehan miring mereka.
Aku berjanji pada diriku sendiri, untuk bisa memberikan pendidikan dan kebebasan kepada ketiga anakku kelak. Jangan sampai mereka mengalami hal yang ku alami saat ini. Akan kubiarkan mereka menghabiskan masa muda mereka dengan perjuangan meraih mimpi dan cita-cita mereka sendiri nantinya. []