Mubadalah.id – Belum usai 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan diperingati, publik kembali gempar dengan peristiwa nahas yang amat menyayat hati. Warga net ramai-ramai membincang peristiwa bunuh diri NW, menghakimi perbuatan Randi, sang pacar yang sama sekali tidak bisa disebut sebagai pacar karena ia laki-laki yang tidak mendengar sabda Nabi Saw. agar berbuat baik kepada perempuan.
Perintah untuk berbuat baik kepada perempuan direkam oleh at-Turmudzi sebagai perawi hadis ini, kurang lebih isinya adalah “Ingatlah Aku berpesan: agar kalian berbuat baik terhadap perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian. Padahal sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka. Kecuali untuk kebaikan itu.”
Berabad-abad yang lalu Nabi Saw. sudah mewanti-wanti agar terus berbuat baik kepada perempuan. Seorang pamungkas kenabian, rasul akhir zaman memprediksikan bahwa entah sampai kapan perempuan akan terus menjadi sasaran, korban pelecehan dan kekerasan. Dan, hadis ini masih relevan dengan kondisi sekarang setelah berabad-abad hadis tersebut disampaikan.
Randi, cinta macam apa yang kamu tawarkan kepada mendiang NW? cintamu jelas-jelas kedok kekerasan berlapis hanya nafsu!
Memang, media-media melaporkan bahwa Randi sudah mendapatkan hukuman dan ditetapkan sebagai tersangka, tapi apakah hukumannya setimpal dengan apa yang telah dilakukannya kepada NW? dan apakah NW dapat kembali hadir ke dunia ini untuk menata kehidupan yang lebih baik? Tidak! Nyawa yang telah hilang tidak bisa kembali lagi, tetapi keadilan harus tetap diperjuangkan.
Peristiwa Kekerasan terhadap perempuan (KtP) sebetulnya seperti gunungan es di tengah lautan, nampak kecil dari permukaan, tetapi jika menyelaminya lebih dalam, kita semua akan mendapati bongkahan-bongkahan es yang lebih besar di bawah permukaan air tersebut.
Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan sejak tahun 2001 merekam kekerasan berbasis gender yang terjadi di Indonesia. Catahu ini rutin disampaikan ke publik sebagai salah satu representatif dari banyaknya kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang terus terjadi.
Ada kasus yang sudah dilaporkan tetapi tidak menemukan keadilan, dan banyak sekali kasus-kasus yang sama sekali tidak dilaporkan. Kasus-kasus yang tidak dilaporkan ini yang diibaratkan gunung es di tengah lautan.
Catahu merupakan hasil kompilasi data kasus riil berdasarkan 3 sumber, yaitu data Peradilan Agama (Badilag), data Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan baik yang dikelola oleh Negara maupun atas inisiatif masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah lembaga penegak hukum, dan data Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), satu unit yang dibentuk oleh Komnas Perempuan, untuk menerima pengaduan langsung korban.
Mengutip website komnasperempuan.go.id mengenai Catahu 2020 hasil temuannya mencatat jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, terdiri dari kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus. Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus. Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.
Bisa tergambar bagaimana kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) terus terjadi setiap tahunnya dengan jumlah yang tidak sedikit. Dan sekali lagi, Catatan Tahunan ini merupakan kasus-kasus yang berhasil dilaporkan kepada lembaga-lembaga yang fokus menangani kasus KtP dan yang sedang atau sudah ditangani. Artinya, masih banyak sekali KtP yang tidak dilaporkan dan ditangani dengan berbagai alasan di luar sana.
Dan sayangnya kasus NW yang sudah dilaporkan kepada Propam wilayah setempat tidak diproses, dilirik saja mungkin tidak, apalagi ditangani. Dear NW… ini langkah yang baik dan tepat, kamu berani bersuara demi keadilanmu sendiri, tetapi instansi (yang katanya) penegak hukum tidak merespon dengan cepat.
Ketika perempuan mendapat kekerasan, memang akan sulit dan berat rasanya untuk bersuara, tapi NW melaporkan apa yang sudah dialaminya demi keadilan. Memang, stigma buruk terhadap perempuan masih melekat kuat ketika mendapatkan kekerasan. Perempuan akan dilabeli la-la-la-la berbeda halnya dengan pelaku yang biasanya hanya akan mendapat respon “oh, wajar kalau laki-laki nakal, namanya juga laki-laki.”
Mengapa norma sosial selalu berpihak kepada pelaku kekerasan dengan label “wajar” dan mirisnya masih banyak terduga pelaku KtP yang masih bebas berkeliaran sementara korban berjuang terus mencari keadilan.
Dalam kasus Randi, seperti keterangan yang ditulis banyak media, tanpa rasa bersalah orang tua Randi menyampaikan belum bisa menikahi NW dalam waktu dekat, hal ini karena demi karir sang anak di Kepolisian yang baru saja memulai karir. Lagi-lagi “demi kehormatan satu pihak.”
Apakah sebuah kasus harus menunggu diviralkan oleh warga net dan baru akan diusut? Atau harus ada nyawa melayang terlebih dahulu baru akan diusut?
Jika demikian jalan keadilan di negeri yang katanya “memposisikan Tuhan sebagai prinsip bernegara yang utama” hanya omong kosong belaka. Karena manusia bertuhan pasti mendapatkan doktrin untuk saling berbuat baik, khususnya kepada perempuan yang selalu menjadi sasaran pelecehan dan kekerasan sesuai dengan hadis Nabi Saw. di atas.
Untuk Randi, dan laki-laki yang lain di manapun berada, ingat dengan baik seruan Nabi. Saw. untuk berbuat baik kepada perempuan. Jangan sampai hanya menjadikan perempuan sebagai alat untuk mencapai kenikmatan belaka.
Seperti apa yang pernah dituliskan Qasim Amin (1865-1908) dalam bukunya mengenai perempuan.
“Suatu bangsa tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan perempuan. Karena “istri selama ini dianggap dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai kenikmatan, kaum laki-laki dapat bermain dengannya selama yang dia inginkan, lalu dapat membuangnya ke jalan kalau sudah memutuskan begitu.”
Habis manis, sepah dibuang. Begitu kira-kira yang dilakukan Randi terhadap mendiang NW dan sangat persis seperti apa yang disampaikan oleh Qasim Amin pada abad 20 yang lalu.
Untuk para perempuan pejuang keadilan, kalian tidak sendiri. Norma sosial bisa kita dekonstruksi menjadi norma yang lebih berpihak kepada perempuan. Bukan hanya Nabi Saw. yang menyerukan berbuat baik kepada perempuan, melainkan banyak sekali legitimasi dari para intelektual Islam yang berpihak kepada perempuan. Qasim Amin hanya salah satunya. Tetapi yang terpenting adalah mari berani bersuara bersama dan mendekonstruksi norma sosial menjadi norma yang lebih berpihak pada perempuan. []