Mubadalah.id – Dalam Islam relasi suami istri adalah kesalingan dan kerjasama. Artinya, satu sama lain saling memenuhi kebutuhan pasangannya sesuai kemampuan dan kesepakatan.
Maka, jika ada teks keagamaan ada yang merendahkan perempuan, maka sama sekali tidak bisa menjadi landasan bahwa suami boleh memaksa hubungan seks terhadap istrinya, dalam kondisi apa pun.
Karena hal ini bertentangan dengan visi besar Islam yang rahmah li al-‘Alamin, dan tidak selaras dengan misi akhlak mulia.
Prinsip dan pilar yang meniscayakan pernikahan sebagai kemitraan, kesalingan, dan kerja sama antara suami dan istri. Keduanya dituntut agar sama-sama sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Lebih dari itu, hubungan seks di dalam al-Qur’an (QS. al-Baqarah (2): 187) digambarkan sebagai pakaian, yang harus dilakukan secara hangat dan menyenangkan oleh suami kepada istrinya, dan oleh istri kepada suaminya. Pemaksaan, tentu saja, melanggar semua prinsip dan pilar ini.
Semangat al-Qur’an (QS. al-Rum (30): 21) menegaskan bahwa seorang perempuan memasuki jenjang pernikahan untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan (sakinah). Serta perlakuan cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah) dari suaminya.
Semangat al-Qur’an ini menegasikan seluruh narasi yang bias dan tidak mubadalah. Narasi yang hanya membebani perempuan dengan berbagai tanggung jawab ketaatan untuk melayani dan membahagiakan suaminya.
Sementara melepaskan laki-laki dari tanggung jawab dan ketaatan yang sama untuk melayani dan membahagiakan istrinya.
Islam menganjurkan suami dan istri untuk saling melayani, menolong, dan menguatkan untuk kebaikan dan kebahagiaan bersama. []