Mubadalah.id – Jane, seperti perempuan Kenya lainnya, bekerja membantu suaminya dengan beternak dan menggembalakan domba dan kambing milik mereka. Namun hari itu menjadi hari terburuk sepanjang hidupnya. Sepulangnya dari padang ilalang, ia diserang oleh tiga pria asing yang kemudian memerkosanya secara membabi buta.
Ketika sadar, luka lebam sudah menjalar di seluruh tubuhnya. Sebagai perempuan Ia berusaha tegar, menutupi apa yang terjadi untuk menghilangkan trauma. Sayangnya, ketika suaminya tahu, bukan simpati dan dukungan yang ia dapatkan, justru ia dihujani dengan pukulan. Ia dianggap perempuan “tercemar” dan sang suami khawatir ia akan tertular penyakit seksual dari istrinya.
Belum sembuh memori luka akibat perkosaan, Jane makin terpuruk dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Tak tahan dengan perlakuan yang ia dapatkan, ia pun memutuskan kabur. Dan, desa Umoja menjadi tujuan persinggahannya.
Umoja, yang berarti persatuan dalam Bahasa Swahili adalah sebuah desa kecil yang terletak di dekat sungai Uaso Nyiro. Desa ini didirikan pada tahun 1990 di wilayah kota Archers Post, Samburu County, sekitar 380 km dari ibukota Nairobi. Pendiri desa ini adalah Rebecca Lolosoli, seorang perempuan yang juga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya.
Awalnya, ketika berkali-kali mengalami luka akibat perilaku sang suami, ia berusaha mengontak pihak berwajib untuk meminta perlindungan. Alih-alih dibantu, dan suaminya dapat diproses secara hukum, kasusnya justru diabaikan dan ia tetap mengalami hal yang sama tiap hari.
Di Samburu, suku asalnya, kekerasan terhadap perempuan adalah biasa. Seorang perempuan ketika menginjak usia remaja, juga segera dinikahkan, meski ia tak setuju. Tak hanya itu, perempuan-perempuan akan disunat terlebih dulu sebelum menikah agar hawa nafsu mereka dapat ditekan.
Muak dengan apa yang terjadi padanya dan perempuan-perempuan di sekitarnya, Rebecca pun bersuara lantang pada otoritas agar hak-hak mereka terpenuhi, ia bahkan mengusulkan terbentuknya desa khusus perempuan agar kekerasan tak kembali terjadi. Sayangnya yang ia terima justru serangan dari sekelompok pria tak dikenal yang membuatnya harus terbujur kaku di rumah sakit.
Peringatan melalui tindak kekerasan tadi agar ia tak meneruskan idenya, justru tak membuat Rebecca bergeming. Ia tetap bertahan dan mengajak 14 perempuan lainnya, yang merupakan korban perkosaan tentara kolonial Inggris, untuk segera merealisasikan usulnya tersebut.
Di awal desa Umoja berdiri, Rebecca menerima banyak cercaan dan ancaman. Mereka dianggap lemah, tak berdaya. Mereka juga dicap sebagai perempuan terbuang karena sebagian besar mereka tak diinginkan lagi oleh pasangan dan keluarga.
Namun, mereka menepis pandangan negatif komunitas, dan membuktikan bahwa mereka juga mampu membangun sebuah desa dengan tangan mereka sendiri. Memanfaatkan ladang rumput kering yang diabaikan, mereka membangun pondok-pondok sebagai tempat tinggal dan kandang ternak.
Saat akhirnya selesai membangun desa, Rebecca melarang laki-laki dewasa untuk menempati wilayah mereka. Tahun demi tahun berlalu, desa Umoja berhasil menjadi lebih berdaya dan membuktikan bahwa perempuan korban kekerasan dapat bangkit dan membesarkan anak-anak mereka dengan lebih layak.
Sayangnya, keberhasilan ini membuat iri para lelaki di sana. Tak terhitung berapa kali mereka mencemooh apa yang terlah diperbuat oleh Rebecca dan sekelompok perempuan Umoja. Tak jarang, mereka mengancam untuk menghancurkan Umoja karena dianggap telah mencederai budaya lokal dan kuasa patriarki.
Bahkan pada tahun 2009 lalu, mantan suami Rebecca menyerang desa tersebut dan melancarkan ujaran kebencian untuk segera menghabisi nyawanya. Kondisi demikian tak membuat Rebecca gentar. Demi keselamatan bersama, mereka sempat meninggalkan desa sementara waktu hingga kondisi desa aman.
Kini, dengan kondisi yang jauh lebih stabil, Rebecca dan kawanan perempuan lain kembali membuka desa untuk para wisatawan yang ingin berkunjung. Mereka juga menjual kerajinan tangan serta beternak agar terus dapat menyambung hidup. Dengan kehidupan para perempuan Umoja yang semakin baik, Rebecca berharap tradisi negatif Samburu yang memarjinalkan kaum hawa dapat secara bertahap berubah agar apa yang ia rasakan tidak terjadi kepada generasi penerusnya.
Seraya menunjukkan kacang kering yang akan dimasaknya kepada beberapa turis, Mary, salah satu perempuan penyintas KDRT mengungkapkan bahwa Umoja telah berhasil memberikannya harapan baru, “saya sekarang memang tak memiliki banyak harta, namun tinggal di Umoha membuat saya memiliki apa yang saya butuhkan.” []