Minggu 5 Juli 2020, KOWANI, Maju Perempuan Indonesia (MPI), JALA PRT, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, menyelenggarakan Konferensi Pers menyatakan sikap bersama guna mengapresiasi langkah maju DPR RI melalui Baleg DPR RI dan Tim Panja RUU PPRT untuk membawa Draft RUU PPRT ke Rapat Paripurna DPR RI.
Hadir dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum KOWANI Giwo Rubianto, Koordinator Maju Perempuan Indonesia Lena Maryana Mukti, Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka, Koordinator JALA PRT Lita Anggraini dan Perwakilan Aliansi Stop Kekerasan di Dunia Kerja. Sementara, Founder Konde.co Luviana bertindak sebagai moderator.
Diakui bersama, RUU PRT merupakan penantian panjang PRT Indonesia, mengingat bahwa draft RUU ini sudah diajukan ke DPR sejak 2004. RUU PPRT sudah berkali-kali menjadi bagian Prolegnas 4 kali periode DPR dan Pemerintah Indonesia. Bahkan menjadi prioritas prolegnas 2010-2014. Artinya sudah 16 tahun perjalanannya.
UU Perlindungan PRT ini, merupakan bentuk kehadiran negara dalam perlindungan situasi kerja warga negara yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Indonesia yang berjumlah lebih dari 5 juta, dengan prosentase 84% adalah perempuan.
(Data Survei ILO dan Universitas Indonesia tahun 2015 jumlah PRT di Indonesia 4,2 juta). Suatu angka besar yang menunjukkan bahwa Pekerja Rumah Tangga sangat dibutuhkan keberadaannya. PRT juga bagian dari soko guru perekonomian lokal, nasional dan global. Tanpa kita sadari, PRT adalah invisible hand yang selama ini membuat aktivitas publik di semua sektor berjalan.
Namun selama ini, faktanya PRT bekerja dalam situasi kerja – tinggal yang tidak layak: jam kerja panjang, beban kerja tidak terbatas, tidak ada kejelasan istirahat, libur mingguan, cuti, tidak ada jaminan sosial, ada larangan atau pembatasan bersosialisasi, dan berorganisasi.
Situasi hidup dan kerja PRT yang digambarkan tersebut, sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Pembangunan di negara ini. Artinya, PRT masih belum diakui sebagai pekerja dan hak-haknya sebagai manusia telah dilanggar. Sebagai warga Negara, PRT telah terdiskriminasi dalam sistem perbudakan modern dan rentan mengalami kekerasan.
Tercatat dalam kurun 3 tahun terakhir dari Januari 2018 sampai dengan April 2020 terdapat 1458 kasus kekerasan PRT yang dilaporkan dengan berbagai bentuk kekerasan, dari psikis, fisik, ekonomi dan seksual serta pelecehan terhadap status – profesinya.
Kasus kekerasan tersebut termasuk pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayarkan. Junmah kasus tersebut adalah data yang telah dihimpun berdasar pengaduan dari pendampingan di lapangan. Sementara PRT yang bekerja di dalam rumah tangga, tidak ada kontrol dan akses untuk melaporkan pengaduan.
Di samping itu, dari survei Jaminan Sosial JALA PRT tahun 2019 terhadap 4296 PRT yang diorganisir di 6 kota. Sejumlah 89% (3823) PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan atau menjadi peserta JKN KIS. Mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri apabila sakit termasuk dengan cara berhutang kepada majikan yang kemudian dipotong dari gaji PRT tersebut.
Meskipun ada Program Penerima Bantuan Iuran (KIS) namun PRT mengalami kesulitan untuk bisa mengakses program terkait, karena tergantung dari aparat lokal untuk dinyatakan sebagai warga miskin. Demikian pula untuk PRT yang bekerja di DKI Jakarta dengan KTP wilayah asal juga kesulitan untuk mengakses Jaminan Kesehatan baik dari akses Jaminan ataupun layanan.
Sebagaimana yang terjadi di masa Pandemi Covid19 ini, PRT sebagai Pekerja tidak terdaftar. Sementara, dalam kategori warga miskin, dan urban PRT tidak terdaftar pula. Sedangkan keberadaan dan peran ekonomi PRT sangat besar dan dibutuhkan sekali.
Sehingga dalam masa pandemi, bagi PRT tidak ada pilihan lain, karena PRT tidak tergolong sebagai pekerja yang bisa Work from Home (WFH), kecuali PRT harus bekerja dengan berbagai resiko tertular atau menjadi carier. Apabila tidak bekerja, dan tidak pula mendapatkan bantuan dari pemerintah, maka PRT akan mengalami krisis pangan, sandang dan papan.
Dengan Kondisi yang sudah kian mendesak tersebut, atas insiatif DPR mendorong Draft RUU Perlindungan DPR RI dalam prolegnas 2020. Sejumlah pointer dalam draft RUU PRT menjawab kebutuhan pengakuan dan perlindungan dengan karakteristik PRT sebagai Pekerja Rumah Tangga dan perlindungan Pemberi Kerja.
RUU PPRT mengatur hal-hal pokok sebagai berikut: Jenis Pekerjaan dan Lingkup Pekerjaan PRT; Hubungan Kerja melalui kesepakatan – perjanjian kerja antara PRT dengan Pemberi Kerja; Hak dan Kewajiban PRT dan Pemberi Kerja, Pendidikan dan Pelatihan melalui Balai Latihan Kerja oleh Pemerintah dengan biaya APBN/APBD.
Sedangkan dalam pembahasan hak PRT disebutkan antara lain: menjalankan ibadah, jam kerja-istirahat, cuti, upah, THR, dan jaminan sosial. Kemudian, salah satu hal penting dalam hak tersebut adalah Jaminan Sosial PRT yang meliputi Jaminan Sosial Kesehatan sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (JKN KIS PBI) yang ditanggung oleh Pemerintah.
Artinya apabila RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR RI dan dibahas bersama Pemerintah hingga terwujud menjadi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, maka akan menjadi kunci perubahan untuk pengakuan dan perlindungan PRT sebagai pekerja dan keadilan sosial bagi PRT sebagai bagian dari perwujudan sila ke-5 Pancasila dan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Sehingga dengan adanya UU Perlindungan PRT adalah bentuk hadirnya Negara untuk: Pertama, adanya pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT sebagai Pekerja; Kedua, Penghapusan diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan perendahan terhadap pekerjaan PRT dan PRT;
Lalu point ketiga, Mengatur hubungan kerja PRT dan Pemberi Kerja dengan Hak dan Kewajiban PRT dan Pemberi Kerja; dan terakhir Keempat, Memperkuat perlindungan bagi PRT Migran di negara tujuan, sebagaimana menunjukkan konsistensi Pemerintah Indonesia ketika menuntut perlindungan terhadap PRT Migran Indonesia.
Untuk itu, ditegaskan dalam pernyataan sikap bersama, Pekerja Rumah Tangga dan masyarakat sipil yang membutuhkan lahirnya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, menyatakan sebagai berikut: Satu, Meminta DPR RI dalam Rapat Paripurna Akhir Masa Sidang pada pertengahan Juli 2020 untuk menetapkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai RUU Inisiatif DPR RI dan disampaikan kepada Pemerintah untuk pembahasan bersama.
Dua, Meminta kepada Presiden untuk menyambut baik RUU Perlindungan PRT sebagai RUU Inisiatif DPR dan segera mengeluarkan Surat Presiden untuk melakukan pembahasan bersama DPR hingga terwujudnya UU Perlindungan PRT. Tiga, meminta dukungan publik untuk keberlangsungan pembahasan RUU Perlindungan PRT dan terwujudnya UU Perlindungan PRT. Empat, lahirnya UU Perlindungan PRT akan menjadi sejarah baru di Indonesia dalam penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap PRT, sejarah kemanusiaan, keadilan sosial, dan kesejahteraan warga negara Indonesia. (Press Release)