Mubadalah.id – Dewasa ini, menyandang status jomblo, tak jarang menjadi bahan olok-olokan. Padahal, sebab seseorang menjomblo itu beragam. Ada yang karena memang pilihan, belum menemukan pasangan yang tepat dan sesuai, masih trauma akibat patah hati, sibuk menuntut ilmu, sibuk berkarir, atau bahkan memilih untuk tidak menikah, dan lain-lain. Bukankah menyandang atau bahkan memilih menjomblo pun bukan kejahatan?
Bagi sebagian orang, entah laki-laki atau perempuan, tak jarang yang mengalami kecemasan di usia yang secara standar masyarakat dianggap sudah matang untuk membangun rumah tangga, tapi belum juga menemukan pasangan hidup/masih jomblo. Terlebih perempuan, kecemasan dan tekanan yang dialami bisa lebih besar dari laki-laki. Sebab apa?
Ya, istilah perawan tua sering kali disematkan pada perempuan di usia 25 tahun ke atas yang masih menjomblo. Menjadi perempuan jomblo di usia 20 tahun ke atas saja, bukan suatu hal yang mudah. Apalagi jika sering diberondong dengan pertanyaan serupa, “kapan menikah? kenapa masih jomblo aja?” dan lain sebagainya.
Nahasnya lagi, acap kali bermunculan ceramah-ceramah yang bilang “Nikah adalah sunnah nabi. Barang siapa yang tidak mengikuti sunnah, maka ia bukanlah bagian dari umat nabi”. Entah sanadnya dari mana, saya juga kurang tahu. Dalam hal sahih atau tidaknya pernyataan yang kerap diatasnamakan dari Nabi ini pun, itu juga bukan maqom saya.
Namun, dari buku K.H. Husein Muhammad yang berjudul, “Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Menjomblo”, beliau menuliskan yang pada intinya mempertanyakan sunnah yang dimaksud itu yang seperti apa. Apakah berarti perilaku atau tradisi nabi, atau berarti perbuatan yang jika dilakukan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan tidak berdosa, sebagaimana yang didefinisikan oleh para ahli fiqh? Ataukah malah sunnah kebalikan dari bid’ah?
Tulisnya lagi, maka bid’ah yang menunjuk pada makna perbuatan atau praktik hidup yang tak pernah ada pada masa nabi atau dilakukan oleh beliau. Yang mana kata tersebut sering diartikan sebagai kata sesat atau kesesatan. Jadi apa iya, jika sunnah dimaknai sebagai lawan bidah, maka orang yang tidak menikah adalah bid’ah, dan jika bid’ah dimaknai sebagai kesesatan, maka ia (jomblo/yang memilih tidak menikah/belum juga menikah) adalah orang sesat
Kok mengerikan sekali, ya. Lalu, Kyai Husein pun mempertanyakan ulang, apa pula arti dari kata “bukan bagian dari aku?” Apakah ia berarti bukan pengikut nabi. Maka, jika nabi tidak pernah memakai elektronik, apa orang-orang yang memakainya sesat? Dan ketika nabi makan kurma, apa yang tidak suka makan kurma itu sesat? Atau orang-orang saat ini yang menggunakan kendaraan bermesin untuk ke mana-mana, sedangkan di jaman nabi tidak ada, apa juga bid’ah lagi?
Mari kita refleksikan bersama. Bukankah hukum menikah tidak selamanya sunnah? Melainkan, hukum awalnya ialah mubah/diperbolehkan. Sedangkan menurut pandangan 4 madzab mengemukakan lima hukum nikah, yaitu wajib, haram, makruh, mustahab, dan mubah.
Pun, adanya keberagaman hukum fiqih juga terkait dengan situasi dan kondisi masing-masing individu, termasuk kondisi fisik, psikis, finansial, sosial, dan lain-lain. Selain itu, bukankah menjadi jomblo itu juga pilihan? Sebab alasan yang melatarbelakangi setiap orang pun bermacan-macam, yang itu tak bisa disamaratakan.
Selain itu, standar hidup yang ada di masyarakat pun bukan sesuatu yang bersifat alamiah/kodrati. Melainkan bentukan sosial, yang itu masih bisa dinegosiasi maupun didiskusikan sesuai dengan kondisi yang ada. Bagi Ibnu Jarir ath-Thabari seorang ulama besar, ahli tafsir, dan ahli hadis, termasuk salah satu tokoh Islam yang memutuskan tidak menikah hingga akhir hayatnya. Baginya, tidak menikah adalah pilihan.
Tentunya, pilihan untuk tidak menikah juga berlaku untuk semua orang. Siapa pun berhak atas pilihan hidupnya masing-masing, selama itu tidak merugikan orang lain. Asal dilakukan atas kesadaran diri, siap dengan segala konsekuensinya, dan tentunya tanpa intervensi dari pihak mana pun. Toh, prinsip hidup setiap orang pun berbeda-beda, dan menjadi jomblo pun halal.
Selain itu, tidak ada ayat yang secara general menyebutkan kalau menjomblo itu haram atau bahkan dilarang agama. Lalu, kata siapa kebahagiaan hanya milik mereka yang sudah berpasangan? Tentu saja, seseorang yang sudah memiliki pasangan belum tentu hidupnya bergelimangan kebahagiaan. Pun sebaliknya. Sebab, kebahagiaan maupun kesedihan adalah milik setiap insan yang bernyawa.
Seperti yang ditulis oleh Mark Manson dalam bukunya Seni Bersikap Bodo Amat, “Hidup yang baik dan bahagia bisa dirasakan jika seseorang bisa bodo amat pada hal-hal yang memang sepantasnya diabaikan”. Terakhir, dikutip dari Dr. Fahrudin Faiz, Terlahir menjadi manusia itu takdir, tetapi memanusiakan manusia itu pilihan. Wallahua’lam []