Mubadalah.id – Menjadi IRT atau Ibu Rumah Tangga atau berkarier, mana yang lebih mulia? Dalam tulisan ini, aku akan mengawali dengan mengutip salah satu status Facebook saudaraku dalam media sosial, kira-kira begini. “Penyebab utama pengangguran di negeri ini bukanlah karena sedikitnya lapangan kerja, tetapi penyebab utamanya adalah keluarnya para perempuan dari rumah-rumahnya. Sehingga ikut berkompetisi dengan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan, yang sebenarnya itu merupakan bidang laki-laki”.
Kemudian di akhir tulisannya, ia menyampaikan “Pulanglah wahai perempuan-perempuan, jadilah ratu di rumahmu, jadilah permaisuri yang terhomat di kerajaan kecilmu, dan dalam hal ini Allah telah mengatakan bahwa menetaplah dirumah-rumahmu”.
Di sini aku tidak akan membahas soal pengangguran. Tapi melihat dari pernyataan saudaraku tersebut seolah-olah setiap perempuan memang sudah hakikatnya bekerja menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT), mengurus segala sesuatu yang hanya berhubungan dengan ranah domestik. Dengan argumentasi bahwa Allah telah memerintahkannya.
Selain itu, seringkali masyarakat umum memandang perempuan yang bekerja di luar rumah berpotensi menjadi istri durhaka. Mengapa begitu?. Iya, selain mencari nafkah adalah kewajiban suami, mereka pun takut istri-istri yang bekerja di luar akan sibuk dengan dunianya sendiri sehingga lupa mengurus anak, suami, dan urusan rumah yang lainnya.
Sedangkan dalam konsep yang kita ketahui bersama (budaya patriarkhi), yang disebut dengan istri salihah ialah perempuan yang mampu berbakti kepada suami, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya dan cermat dalam menyelesaikan tugas-tugas domestik.
Dr. Faqihuddin Abdul Kadir dalam bukunya “Nabipun Memihak Perempuan”. Dikatakan domestifikasi peran perempuan telah terjadi cukup lama dalam budaya Jawa. Seperti dalam Serat Wulangreh Putri karya Sultan Pakubuwana 1V, perempuan tugasnya hanya dikaitkan dengan urusan-urusan rumah, dan melayani suami.
Ketika perempuan tidak mampu menyelesaikan pekerjaan domestik dengan baik. Sebesar apapun manfaat yang ia berikan terhadap masyarakat sekitar, itu tidak dapat diperhitungkan.
Berangkat dari pendidikan tersebut, tidak heran jika memang masih banyak yang menganggap bahwa perempuan lebih baik mengurus rumah saja dari pada ikut berkompetisi mendapatkan pekerjaan dengan laki-laki di luar rumah. Tapi bukankah hidup itu pilihan. Perempuan ataupun laki-laki berhak menentukan pilihan hidupnya masing-masing termasuk dalam soal pekerjaan.
Menurut hematku, bekerja menjadi IRT itu termasuk pilihan yang baik. Karena pelayanan rumah tangga merupakan jihad, yang dengan begitu dapat mendatangkan pahala bagi yang melakukannya, baik istri ataupun suami dan bekerja di luar rumah juga pilihan yang baik.
Jadi tidak perlu ada pembagian istri terhormat dan durhaka hanya karena berbeda pilihan dalam pekerjaan. Karena semua pekerjaan yang mendatangkan kebaikan itu termasuk salah satu perilaku yang mulia.
Mengutip salah satu hadis disebutkan bahwa Nabi SAW memperbolehkan perempuan untuk ikut berperan di ruang publik. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. “Dari Mu’adz bin Sa’d ra, ia bercerita bahwa seorang perempuan keluarga Ka’ab bin Malik bekerja mengembala kambing di pegunungan Sala’. Ketika terjadi salah satu insiden pada salah satu kambingnya, ia bergegas menyembelihnya. Nabi Saw ditanya soal ini.” Makanlah (kambing itu)”, jawab Nabi Saw.
Jika melihat pendapatnya Syekh Abu Shuqqa, hadis ini menegaskan bahwa Islam tidak melarang perempuan untuk memiliki aktivitas ekonomi yang akan mendatangkan kemanfaatan baik bagi dirinya maupun keluarganya.
Sebab, bekerja adalah hak dasar setiap manusia termasuk perempuan. Jadi tidak bisa dihalangi walaupun ketika sudah memiliki suami yang akan menafkahinya. Dan terkadang karena banyaknya kebutuhan seringkali pendapatan laki-laki tidak bisa mencukupi kebutuhan tersebut.
Dengan begitu justru bukankah lebih baik jika istri dan suami saling bekerja sama dalam memenuhi keperluan dalam kehidupan rumah tangganya. Terlepas dari itu semua, yang paling penting ialah komunikasi yang baik, berbagi peran yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Sehingga kehidupan rumah tangga yang sakinah bisa diwujudkan dan dirasakan oleh keduanya.[]