• Login
  • Register
Selasa, 24 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Ketika Kuasa Rahimku Telah Tiada

Aku bukanlah perempuan yang sempurna sebab, rahimku tak berfungsi lagi. Apakah ketika rahimku tak bisa memproduksi, mereka bisa mengatur dan merusak kehidupanku?

Miri Pariyas Miri Pariyas
24/12/2021
in Personal
0
Novel Hilda

Novel Hilda

461
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Sudahlah, kau ceraikan istrimu itu. Ia sudah tak lagi bisa memberimu anak.”

Mubadalah.id – Tegas ibu mertua sambil memarahi anaknya. Aku tak sengaja mendengar dari balik pintu. Hal ini membuatku tak kuasa menahan sakit yang begitu mendalam. Air mata mengalir tanpa sadar. Tak mungkin aku mengakhir kisah ku dengannya selama tiga belas tahun ini.

Dregggggg, pintu terbuka. Tentu dia adalah suamiku. “Ayoo, aku harus mengantarkanmu ke sekolah” perintahnya. “Tak usah mas saya mengojek saja untuk mengajar” tanggapanku. “Iya, sudah kalau begitu”.

Tidak ada kata setiap perjalanan yang ku tempuh hanya mengingat kejadian tadi. Sambil menghapus air mata yang setiap detiknya mengalir. Ibuku pernah berujar “nak, kamu harus bersyukur menjadi perempuan karena telah memiliki rahim. Dari rahimmulah kamu akan melahirkan penerus bangsa”. T

Tapi, tidak untuk hari ini dan seterusnya aku diagnosa mandul oleh dokter kandungan. Bersamaan dengan itu, aku akan kehilangan banyak hal pertama, suami akan berpotensi itu menikah lagi. Kedua, tidak akan memiliki keluarga kecil yang di dalamnya terdapat suara tawa bahkan tangisan, dan terakhir bagaimana tanggapan masyarakat yang ku tinggali ?

Aku Bukan Perempuan Sempurna

Di kamar yang begitu indah dengan tumpukkan buku kesukaanku. Aku berdiam disana sambil membaca dan menyiapkan materi tuk esok. Tentu, peristiwa yang tak inginku rasakan bahkan alami. Sudahlah tanpa ragu mas menyatakan talak pertama untuk ku “As, aku sudah memikirkan sesuatu hal bersama keluargaku tentang…….”. Lekas, ku memotong pembicaraannya “Maksudmu tentang aku yang tak bisa memiliki anak lalu kau ingin menceraikanku” . Aku geram seakan tercabik-cabik hatiku, mood ku yang awalnya baik menjadi buruk. Seperti suasan di luar sana yang mendung namun tak hujan. “Iya, betul” katanya.

Baca Juga:

Menyoal Tubuh Perempuan sebagai Fitnah dalam Pemikiran Fikih

Nyai Awanillah Amva: Jika Ingin Istri Seperti Khadijah, Muhammad-kan Dulu Dirimu

Urgensi Ijtihad Fikih yang Berpihak Kepada Perempuan

Membangun Rumah Tangga yang Berdimensi Akhlak Mulia

Remuk rasanya aku mendengarkan. “Ternyata, cinta itu ilusi bahkan kata sakral yang diucapkan ketika menikah tak bermakna lagi. Aku memang bukan perempuan sempurna, tidak bisa melahirkan, menyusui, ataupun merawat anak. Seperti, perempuan di sana. Lalu, apakah aku dinikahi hanya sekedar untuk memproduksi anak saja? Ketika tak bisa aku dibuang bak bagaikan sampah?” Gerutu dalam hatiku.

“As, dengarkanlah dulu aku masih mencintaimu tapi, keluargaku butuh cucu untuk mempertahankan warisan keluargaku ini. Sedangkan aku adalah anak satu-satunya. Jika, aku kau tak mau tuk diceraikan. Apakah kau ingin di poligami ?” belanya. Aku hanya melihatnya dengan tatapan sinis “Apa poligami ? Maksudnya apa ? Dia tak menghargai ku sebagai perempuan ? Aku sangat paham Islam membolehkan poligami tapi, bukan untuk ku. Maaf bukan untuk ku” imbuhku dalam hati.

“Kalau itu maumu silahkan tapi, aku tak mau di poligami”.  Hari ini aku mengerti bahwa aku hanya disediakan menyiapkan generasi mereka saja tanpa memperdulikanku sebagai perempuan sesungguhnya.

Aku bukanlah perempuan yang sempurna sebab, rahimku tak berfungsi lagi. Apakah ketika rahimku tak bisa memproduksi, mereka bisa mengatur dan merusak kehidupanku? Perempuan itu memang kodratnya melahirkan, iya melahirkan. Maka, ia disebut ibu peradaban dari rahim mereka tumbuh orang yang sukses seperti tokoh besar yang hari ini ada. Lalu, kalau aku tak bisa melahirkan apakah tak bisa disebut ibu peradaban yang kalian inginkan?

Budaya itu Menyakitkan

Tepat 27 Desember 2010, pengadilan agama mengetuk palu yang artinya aku sah bercerai dengan suamiku. Terpaksa aku harus kembali ke kampung halamanku. Berhenti dari pekerjaan dan kehilangan suami itu yang ku rasakan.

Sesampainya, di kampung bukan mendapat kenyamanan dan ketentraman. Aku dikejar pertanyaan yang begitu sensitif baik dari kalangan keluarga maupun tetangga. “Begitulah orang-orang kampung nak, kamu harus tebal telinga” Pesan ibu.

Nilai dalam sebuah budaya di tempat tinggalku. Kalau perempuan tak bisa memiliki anak maka ia ditakdirkan menjadi perempuan yang hina. Bahkan tetangga memberi labil “Janda yang tak laku”. Aku sadari betul siapa yang mengatakan itu padaku, sudah janda, mandul pula.

C’est La Vie (Inilah hidup) kata Mia Bustam. Kuasa ku telah tiada maka aku tak punya kuasa lagi. Jika pun punya esoknya kuasaku tak bernilai apa-apa. Sedangkan, budaya tak bisa aku ubah. Menyudutkan satu pihak, utamanya perempuan.

Perempuan memang akan menjadi ratu ketika dia mengandung dan melahirkan. Tapi, sesudahnya memiliki beban yang begitu berat harus merawatnya. Kadang kala semuanya dibebankan untuknya. Itu juga ajaran budaya membagi tugas antara lelaki dan perempuan. Di rumah bagi perempuan sebaliknya untuk lelaki di luar rumah. Sebab, budaya juga tidak selama mendatangkan kepada sesama jenis kelamin tersebut.

Tapi, karena aku salah satu perempuan yang pernah merasakan pendidikan strata satu terkait tentang budaya seperti di kampungku. Tak menjadi masalah sebenarnya walaupun menyakitkan bukan? Walaupun di daerahku beragama Islam. Notabennya memiliki sejarah terkait keberpihakan kepada perempuan. Tetapi seringkali ia dilupakan, hilang, tanpa jejak, nama dan suara. []

Tags: istriperempuanperkawinanRahimsuami
Miri Pariyas

Miri Pariyas

Penyuka bunga mawar

Terkait Posts

Bias Kultural

Bias Kultural dalam Duka: Laki-Laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

24 Juni 2025
Mau Menikah

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

24 Juni 2025
Spiritual Awakening

Spiritual Awakening : Kisah Maia dan Maya untuk Bangkit dari Keterpurukan

23 Juni 2025
Teman Disabilitas

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

21 Juni 2025
Jangan Bermindset Korban

Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

21 Juni 2025
Lelaki Patriarki

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

19 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hakikat Berkeluarga

    Membedah Hakikat Berkeluarga Ala Kyai Mahsun

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Korban KBGO Butuh Dipulihkan Bukan Diintimidasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengkaji Ulang Fitnah Perempuan dalam Pandangan Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berbagi dan Selfie: Mengkaji Etika Berbagi di Tengah Dunia Digital
  • Kasus Francisca Christy: Ancaman Kekerasan di Era Digital itu Nyata !!!
  • Bias Kultural dalam Duka: Laki-Laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi
  • Membongkar Dalil Lemah di Balik Khitan Perempuan
  • Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID