Pertengahan Juni, berita terkait prekosaan terhadap remaja di Tangerang Selatan membuat ingin melontar sumpah serapah dan cacian kepada pelaku perkosaan. Sebelum diperkosa, korban, terlebih dahulu, dicekoki pil excimer. Tak tanggung-tanggung, lima orang secara bergantian memperkosa gadis berumur 16 tahun. Satu di antaranya adalah pacar korban.
Di Sidrap, Sulawesi Selatan enam remaja diamankan polisi diduga memperkosa anak di bawah umur. Mulanya, pelaku menjemput korban, lalu ia dibawa ke rumah kosong. Pelaku berjumlah enam orang, secara bergantian melakukan pencabulan. Peristiwa itu terjadi pada 26 Juni 2020.
Tentu, berita yang bikin pilu. Perkosaan terhadap anak di bawah umur dan remaja terus saja terjadi. Berdasarkan laporan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, pada tahun 2019 jenis kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 2.341 kasus. 571 di antaranya berupa kasus kekerasan seksual.
Saya terkejut setelah mencheck-out beberapa buku di salah satu marketplace, lalu memilih jasa pengiriman barang, ternyata ekspedisi yang saya pilih menolak. Alasanya, dalam judul buku itu mengandung kata v*gina, tanpa perlu interpretasi jelas, terbaca vagina.
Sama halnya dengan edukasi seksualitas yang masih dianggap tabu oleh sebagian orang, bahkan diamini oleh institusi pendidikan. Bab reproduksi terbatas pada pengenalan organ tubuh, fungsi dan bahaya yang mengintai. Tentu, kurikulum itu dibuat bukan tanpa tujuan. Salah satunya, agar remaja tidak melakukan hubungan seksual pra-nikah yang dianggap sebagai wujud degradasi moral. Sebab tak sesuai dengan ajaran norma yang berlaku dan aturan agama.
Pendidikan seksualitas penting diajarkan sejak dini. Kita tak bisa menampik, hari ini kekerasan seksual masih banyak terjadi di remaja perempuan. Tak hanya itu, kehamilan tak direncanakan dan kasus HIV/AIDS masih jamak. Jika remaja mengetahui jenis kekerasan seksual, mereka juga akan mampu mengidentifikasi pelecehan seksual. Pasalnya ketika anak mendapat pendidikan seksual yang komprehensif, dia akan terhindar dari hubungan seks yang beresiko. Anak akan mengambil keputusan atas tubuhnya untuk bertanggung jawab.
Organisasi Pendidikan, Ilmu pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyarankan tiap negara menerapkan pendidikan seksual yang komprehensif tak terkecuali Indonesia. Rekomendasi itu berdasarkan Global Education Monitoring (GEM) Report, UNESCO.
Melansir dari cnnindonesia.com GEM Report melaporkan sebanyak 15 juta anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun. Sekitar 16 juta anak berusia 15-19 tahun, dan satu juta anak perempuan di bawah umur 15 tahun melahirkan setiap tahunnya di dunia.
Pernikahan anak tentu saja bukan soal pendidikan seksual tapi lebih kompleks dari itu. Praktik-praktik di daerah tertentu karena keterbatasan ekonomi membuat ‘mau tak mau’ anak harus segeran dinikahkan sebagai upaya ‘penyelematan’. Akses pendidikan yang tak merata juga berpengaruh, belum lagi minimnya tenaga pengajar di daerah terluar dan tertinggal.
Kembali lagi tentang pendidikan seksualitas, laporan UNESCO dan GEM Report memberikan rekomendasi untuk setiap negara tentang pendidikan seksualitas. Pertama investasi dalam pendidikan guru; kedua membuat kurikulum relevan berdasarkan bukti; ketiga megembangkan mekanisme pemantauan dan evaluasi serta implementasi; keempat bekerja dengan sektor lain untuk membawa perubahan nyata; kelima terlibat dengan komunitas dan organisasi induk untuk mengatasi perlawanan yang tidak berdasarkan fakta.
Seksualitas bila semakin tabu dibicarakan, semakin sulit dibumikan. Edukasi seksualitas yang masih malu-malu didengar, menjadi asing ketika diperkenalkan. Padahal perbincangan semacam itu perlu dibuka agar semakin banyak orang yang sadar akan tubuh, fungsi dan otoritasnya.
Seksualitas tak melulu soal seks tetapi berkaitan juga dengan kesehatan, menerima dan merasa nyaman dengan tubuh sendiri, menghargai orang lain, menghargai keberagaman, mengenal gender, hak seksual dan HAM, serta berbagai macam kekerasan.
Naomi Wolf, melalui bukunya “V*gina Kuasa dan Kesadaran” membuka dengan menyajikan pengalaman pribadinya; tak lagi menikmati hubungan seksual sebagaimamna sebelumnya. Dan bagi Wolf itu masalah. Ia kemudian memeriksakan dirinya dan berbincang dengan dokter Coady. Rasa kebas yang dirasakannya adalah akibat kompresi saraf.
Ia menjelaskan secara ilmiah di bukunya, mulai dari untaian saraf, titik-titik stimulasi, tanda-tanda perempuan mencapai orgasme, seks yang memunculkan kepercayaan diri dan kreativitas. Naomi seperti tengah berbicara pentingnya mengenali genetalia dalam tubuh sendiri, sebagai bentuk kuasa dan kesadaran secara subjektif. []