3 tahun yang lalu, tepatnya 25-27 April 2017, Pondok Kebon Jambu menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang pertama. Saya masih ingat betul, demi menjamu 1000 orang lebih tamu dari seluruh Indonesia dan mancanegara, para santri diungsikan sementara ke pesantren-pesantren lain, setelah sebelumnya melakukan roan besar-besaran. Karena asrama dan kamar-kamar akan digunakan untuk penginapan tamu. Meski KUPI hanya diadakan selama 3 hari, namun kami melakukan persiapan selama berbulan-bulan
KUPI tentu memberikan hikmah yang banyak bagi pesantren kami. Di antaranya nama pesantren kami akan selalu dikenang oleh siapapun yang mengikuti dan menyaksikan acara tersebut. Selain KUPI juga telah memperkenalkan perspektif baru di pesantren kami. Hari ini kami tidak lagi asing dengan istilah ulama perempuan tentunya juga karena ada dua sosok ulama perempuan yang menjadi orang tua kami di pesantren, yaitu Ibunda Nyai Hj. Masriyah Amva dan Ibunda Nyai Hj. Awanillah Amva.
Jika berbicara tentang ulama perempuan, beliau berdua adalah kiblat dan panutan kami. Dengan melihat gerakan dan gebrakan yang dilakukan oleh beliau berdua, kami tidak hanya belajar teori tentang keulamaan perempuan, namun juga suri tauladan yang sehari-hari dapat langsung kami saksikan.
Perspektif keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan yang dibawa oleh KUPI juga dapat kami rasakan sehari-hari. Saya dapat merasakan betul bagaimana pesantren kami berevolusi menjadi pesantren yang sangat egaliter. Hal tersebut saya rasakan ketika berkali-kali saya diberi tugas oleh dosen atau iseng sendiri memikirkan bagian mana dari pesantren kami yang masih mengandung unsur patriarkhi, sulit sekali rasanya untuk ditemukan.
Semakin hari kami semakin sadar bahwa sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki peran, tugas dan fungsi sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, dimana semua itu harus dihargai dan dihormati. Saya terus berharap agar kelak pesantren kami dapat menjadi contoh bagi pesantren yang lain dalam sisi kesetaraan tanpa harus mengikis tradisi dan budaya yang lazim dimiliki oleh sebuah pesantren.
Perspektif tersebut semakin diperkuat dengan menimba ilmu di Ma’had Aly Kebon Jambu, Ma’had Aly yang dimandatkan oleh Bapak Menteri Agama Drs. H. Lukman Saifuddin pada sambutannya dalam penutupan KUPI 3 tahun silam.
Di sini kami betul-betul diberikan ilmu pengetahuan tentang bagaimana harusnya seorang muslim bersikap adil kepada sesama manusia dan memandang bahwa semuanya setara agar tercipta kebaikan dan kehidupan yang lebih maslahat. Di sini juga kami banyak mempelajari berbagai pendapat dan bagaimana cara menyikapinya dengan bijak.
Selain itu, pengalaman-pengalaman yang kami dapatkan dari sini menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman kami tentang kehidupan di luar sana yang tidak sama seperti kehidupan kami di pesantren.
Ma’had Aly Kebon Jambu mudah-mudahan layak jika saya sebut sebagai anak ideologis KUPI. Sebagai salah satu mahasantri di sana, saya merasakan betul, bagaimana semangat para ulama perempuan untuk terus belajar, bergerak dan bertindak demi kemaslahatan umat manusia, sehingga saya berharap semangat itu tersalurkan kepada kami. Wallahu A’lam. []