Mubadalah.id – Ini adalah catatan kisah perjalanan haji saya yang kedua, setelah sebelumnya “Kisah Perjalanan Haji: Teringat Ayah” bisa kalian baca juga di sini. Saya lanjutkan kisah perjalanan haji di bagian kedua ini. Kemarin ibu sempat sakit, maka saya pun mencari dokter untuk mengecek kondisi kesehatan ibu.
Ketika bertemu dokter, ibu dicek tensi, gula darah, saturasi dan dipinjamkan jam khusus yang terkoneksi dengan aplikasi kesehatan khusus untuk jamaah haji Indonesia. Dokter juga mengagendakan untuk mengajari kami suntik insulin di malam hari.
Karena hasil gula darah ibu diatas 200, ibu sempat tidak dianjurkan untuk ikut city tour. Namun dengan berbagai pertimbangan dan kesepakatan akhirnya ibu ikut city tour tetapi tidak ikut turun bis. Hanya menikmati pemandangan selama bis berjalan.
Dalam kisah perjalanan haji, destinasi pertama kami adalah masjid Quba. Saat turun dari bis, sudah ada banyak pedagang yang menunggu pembeli. Ketika melihat pacar, Bu Adriana meminta saya untuk menanyakan. Lalu saya tanya dengan bahasa Arab, “Kam (berapa)?”
“5 riyal” jawab si pedagang.
Karena harganya lebih murah jika dibandingkan dengan yang ada di sekitar Masjid Nabawi, maka Bu Adriana pun membelinya tanpa menawar kembali. Lalu kami shalat sunnah mutlak dan kembali ke bis kemudian melanjutkan ke destinasi berikutnya yaitu Kebun Kurma.
Tak Lupa Belanja saat Mengikuti City Tour Kisah Perjalanan Haji
Di sana ada toko seperti toko oleh-oleh yang menawarkan aneka coklat, cemilan, dan kurma serta olahan kurma. Kata ibu, beli saja buat nyobain tapi jangan lebih dari 100 riyal. Akhirnya setelah melihat-lihat dan berkomunikasi dengan ibu melalui hp, saya membeli kurma almond dan aneka cokelat yang jika ditotal belanjaan saya saat itu mencapai 88 riyal namun saya diperbolehkan membayar 85 riyal.
Rombongan kami pun lalu melanjutkan perjalanan ke Bukit Uhud. Namun karena panas yang menyengat, kami hanya foto-foto dan kembali ke bis. Begitu pula ketika di Masjid Khandaq, rombongan kami hanya melaluinya karena banyak yang tidak ingin turun. Destinasi terakhir pun tidak jadi dituju karena tidak sediķit rombongan yang khawatir tidak bisa melakukan arba’in, atau shalat berjama’ah di masjid Nabawi.
Kami pun pulang ke hotel dan mengumpulkan tip untuk supir sebanyak 2 riyal melalui karom atau ketua rombongan. Alhamdulillah, ketika waktu dzuhur kami bisa melakukan shalat di masjid Nabawi, kecuali ibu. Seusai shalat, Bu Adriana meminta saya menemaninya berbelanja kembali.
Setiap ada yang beliau ingin tanyakan harganya, maka saya tanyakan kepada penjual. Karena saya berbicara dengan bahasa Arab selama proses jual beli, maka penjual bertanya kepada saya dengan bahasa Arab,
“Kamu bisa berbahasa arab?”
“Ya, sedikit-sedikit”
“Di mana kamu belajar?”
“Di madrasah Aliyah”
“Masya Allah”
Kami pun terus mencari oleh-oleh dalam kisah perjalanan haji ini, dan akhirnya saya pun ikut berbelanja. Kami cukup beruntung karena mendapatkan potongan harga. Selain itu, jama’ah Indonesia lainnya yang saat itu ada bersama kami juga kecipratan berkahnya alias mendapatkan harga sama seperti yang kami beli.
Seusai kami pulang berbelanja, kami pun makan siang dan tidur siang walau sebentar. Karena saya sedang flu, maka saya tidur agak lama sampai tidak sadar kalau Bu Adriana sudah tidak ada. Artinya sudah pergi ke Masjid Nabawi.
Mengejar Shalat Arbai’n di Masjid Nabawi
Kami keluar hotel ketika adzan berkumandang. Waktu itu saya bilang ke ibu, “Bu, kita jalan pelan saja ya yang penting shalat di sana.”
“Iya” jawab ibu.
Karena waktu terlalu mepet, lift antri, saya sampai lupa membawa botol spray agar tidak terkena sengatan sinar matahari. Saya mendorong kursi roda lebih cepat dari biasanya agar tidak merasakan panas. Namun ternyata setelah panasnya terik matahari, ketika mendorong ibu menaiki pintu masuk masjid Nabawi khusus kursi roda pun saya kewalahan, kaki saya seperti menahan berat yang amat sangat.
Namun ternyata biidznillah, meski kami sangat mepet masuk masjid, tetapi kami masih bisa shalat di dalam. Mungkin karena aktivitas berat sebelum shalat tadi, akhirnya saya merasa meriang dan suara saya parau karena batuk.
Sambil menunggu maghrib, saya mengkhatamkan shalawat Dalailul Khairat. Ketika waktu adzan hampir tiba, petugas masjid menggelar plastik putih yang ternyata untuk membagikan ta’jil. Tidak semua jama’ah mendapatkan. Alhamdulillah saya dan ibu dapat satu plastik ta’jil berisi roti gandum, air zam-zam, dan yogurt.
Setelah shalat maghrib saya meminta ibu untuk segera ke hotel karena saya merasa semakin meriang, sekaligus hendak belajar praktik suntik insulin ibu. Akhirnya setelah bertemu dokter saya mendapatkan obat batuk lagi dan juga obat pilek, kami juga sudah tahu cara memasang jarum suntik insulin.
Namun makan malam tak kunjung datang. Saya menunggu makan malam sambil tidur dan menarik selimut karena merasa demam. Namun ternyata saya terlelap hingga hari berikutnya pun tiba. Masjid Nabawi, 17 Juni 2022. (bersambung)