Mubadalah.id – Perbedaan itu sunnatullah, baik perbedaan antar manusia, maupun antara manusia dengan makhluk lainnya. Bagaimana menyikapi perbedaan? Bahkan perbedaan itu ada di setiap manusia pada masa yang berbeda. Dulu semua manusia dewasa adalah bayi dan kelak semua bayi yang umurnya panjang juga akan jadi manusia dewasa.
Tentu, mengingat persamaan di antara yang berbeda itu penting. Misalnya berbeda tapi sama-sama Muslim, sama-sama bangsa Indonesia, dan sama-sama manusia. Bahkan sama-sama makhluk Allah. Mengingat persamaan ini membantu kita untuk bersaudara karena agama, negara, atau karena kedirian yang sama.
Namun, menyikapi perbedaan juga penting. Allah bahkan meminta manusia untuk saling mengenali (taaruf) persamaan sekaligus perbedaan yang dimiliki oleh sesama manusia. Misalnya perbedaan jenis kelamin (adz-dzakaru wal-untsa), bangsa (syu’ub), dan suku (qabail). Jadi, kita juga diminta untuk mengenali perbedaan. Mengapa? Barangkali ini jawabnya: “Tak kenal, maka tak sayang.” Tak sayang tentu bisa berkembang menjadi benci dan benci bisa melahirkan pertikaian.
Setidaknya ada dua cara yang kerap diambil dalam menyikapi perbedaan:
Pertama, perbedaan dipandang secara negatif dan dikhotomis. Perbedaan dipandang sebagai sumber konflik sehingga sebisa mungkin dilupakan. Kita diajak fokus pada persamaan. Sikap ini lama-lama berkembang menjadi penyeragaman. Kelompok sosial terkuat menjadi standar. Kelompok sosial lainnya mesti menyesuaikan diri alias penyeragaman. Tidak jarang proses penyeragaman ini sampai tahap pemaksaan. Lahirlah ketidakadilan, perlawanan, dan konflik pun pecah. Jadi bukan perbedaan tapi pembedaan atau cara menyikapi perbedaanlah sesungguhnya yang menjadi sumber konflik.
Kedua, perbedaan dipandang secara positif dan sinergis. Perbedaan dipandang sebagai modal sosial untuk maju bersama. Perintah Allah untuk taaruf antar manusia dapat diterapkan dengan ikhtiyar mengenali persamaan sekaligus perbedaan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ikhtiyar mengenali perbedaan ini dilakukan bukan dalam semangat mendiskriminasi, melainkan semangat untuk saling menguatkan.
Karena perbedaan sosial dipandang sebagai modal sosial untuk maju bersama, maka setiap kelompok sosial sama-sama didorong untuk aktif mewujudkan kemaslahatan bersama melalui modal sosial masing-masing. Sebaliknya, mereka dilarang untuk menggunakan modal sosial masing-masing yang berakibat mafsadat bagi lainnya, meskipun maslahat bagi kelompoknya.
Selanjutnya, Allah mengingatkan manusia untuk beralih pada ikatan paling primordial yang dimiliki oleh manusia, yaitu:
1. Semua manusia adalah hanya hamba Allah. Karenanya, ia tidak boleh menjadi hamba siapa dan apapun selain-Nya termasuk bukan hamba dirinya sendiri. Sebaliknya, ia juga tidak akan memperlakukan siapa dan apapun selain-Nya sebagai hambanya, termasuk dirinya sendiri sehingga manusia juga tidak boleh mengeksploitasi dirinya sendiri.
2. Semua manusia adalah Khalifah fil Ardl yang mengemban amanah mewujudkan kemaslahatan seluasnya di muka bumi. Karenanya, manusia mesti bekerjasama untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk-Nya. Karenanya pula, musuh bersama manusia adalah segala tindakan tidak manusiawi pada manusia, dan tindakan eksploitatif pada makhluk-Nya.
Semua kelompok sosial sama-sama punya kewajiban untuk merumuskan dan mewujudkan kemaslahatan. Sebaliknya, mereka juga berhak untuk menikmati kemaslahatan dalam sistem kehidupan bersama.
Dalam masyarakat plural, politik identitas (tidak hanya berbasis agama tapi juga ras dan lainnya) perlu diwaspadai karena politik jenis ini mengajak kita untuk fokus pada perbedaan, bukan dalam semangat positif dan sinergis melainkan dengan semangat negatif dan dikhotomis.
Semoga bisa terus berlatih agar mampu menjadikan titik persamaan sebagai perekat dan titik perbedaan sebagai penguat, baik dalam keluarga, masyarakat, Negara, dan dunia. Aamiin yra. Wallahu A’lam bish-Shawab![]