Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi Lc, M.A menjelaskan bahwa dari sisi pemahaman keagamaan, perubahan cara memahami ayat dan hadis yang dijadikan dalil kawin anak perlu dilakukan secara masif.
Menurut Nyai Badriyah ayat yang menjadi dasar pada umumnya adalah al-Qur’an surat ath-Thalaaq ayat 4, khususnya kalimat wa al-laa’i lam yahidhna yang artinya “dan mereka (yang cerai) belum haid”.
Penggalan ayat ini, kata Nyai Badriyah, kemudian menjadi dalil bolehnya kawin dan cerai dengan anak kecil yang belum haid.
Sedangkan hadisnya adalah peristiwa pernikahan Nabi dengan Aisyah Ra yang berusia sembilan tahun.
Tafsir kontekstual atas dalil-dalil itu, Nyai Badriyah mengungkapkan sesungguhnya sudah ada, tapi belum populer.
Terhadap ayat 4 surat ath-Thalaq ada penafsiran bahwa “mereka yang belum haid” tidak tepat menjadi dalil bolehnya kawin cerai dengan anak karena yang belum haid bisa jadi perempuan dewasa juga.
Ayat ini memberikan pemahaman sebagai ketentuan atas batas iddah untuk beragam keadaan perempuan, ada yang sudah haid
Kemudian, ada juga yang tidak/belum haid, ada pula yang sudah menopause, maka itu semua bukan dalil kawin anak.
Pemahaman demikian tertulis juga dalam tafsir ayat 6 surat an-Nisaa’ yang menyebut, “sudah sampai usia baligh menikah”.
Imam Abu Hanifah dan An-Nakha’i sebagaimana mengutip pendapat Abu Hayyan bahwa batasan usia baligh untuk menikah adalah 25 tahun. Sedangkan ahli tafsir A-Alusi membatasinya 18 tahun. (Rul)