Mubadalah.id – Kemarin di sebuah Ngaji KGI tetiba aku tercekat saat ada pertanyaan tentang bidadari surga dari peserta. Bukan karena pertanyaannya yang sudah sering kuterima di kesempatan lain, tapi karena baru menyadari makna pertanyaan tersebut bagi perempuan.
Ini dia pertanyaannya: Bu, kalau masuk surga orang dapat bidadari dalam jumlah banyak. Lalu bagaimana perempuan: Jika masuk surga apakah perempuan juga dapatnya bidadari? Atau perempuan jadi bidadari surga? Lalu di mana istri dari suami yang dapat bidadari?
Waktu kecil aku dapat gambaran surga sangat berbeda. Surga adalah tempat semua keinginan akan terpenuhi. Sepertinya ini gambaran surga khas sobat misqueen. Surga menghibur orangtua dan anaknya saat tak mampu beli sepeda, TV, dll. Masih ada harapan untuk bisa memilikinya kelak di surga. Anak termotivasi untuk menjadi anak baik karena itu menjadi syarat masuk surga.
Surga adalah tempat yang sangat menyenangkan!
Lalu ingat cerita mas Mukhotib tentang anak TK yang nangis sesunggukan sepulang sekolah. Ternyata ia baru dapat cerita tentang surga dari gurunya. Ya tentang bidadari itu. Kenapa dia menangis? Karena dia sedih membayangkan ayahnya bersama banyak perempuan lain di surga. Bukan dengan ibunya! Surga adalah tempat yang menyedihkan!
Lalu aku ingat seorang teman yang mengeluh: “Surga adalah tempat yang indah. Kenapa ya perempuan yang di dunia sudah lelah hayati menjadi pelayan, kalau masuk surga pun masih jadi pelayan juga? Kapan istirahatnya?”. Di sini aku menemukan konteks ucapan seorang mbak senior: “Sudah lama saya tidak ingin masuk surga.” Hm….tentu ia juga tak bermaksud ingin masuk neraka.
Setelah berkelana menulis disertasi tentang bahasa al-Qur’an, muncul kesadaran lebih kuat bahwa setiap bahasa manusia bersifat simbolik. Termasuk bahasa manusia yang digunakan oleh al-Qur’an sebagaimana fokus disertasi berjudul “Kur’an’a Butuncul Bir Yaklasim (Din Dilinin Ilahi Ve Insani Boyutlarinin Bulusmasi)”: Pendekatan Integral pada al-Qur’an (Titik Temu antara Dimensi Ilahi dan Manusia Bahasa Agama).
Makna dalam simbol itu bisa berlapis sebab satu simbol bisa menghubungkan banyak hal. Bahasa sendiri simbolik. Nah, bayangkan kalau bahasa tersebut digunakan untuk metafora.
Kembali pada soal surga. Substansi dari surga adalah puncak kebahagiaan yang hanya bisa dialami oleh orang yang beriman. Amina Wadud punya penjelasan yang cukup memuaskan. Menurutnya, al-Qur’an memulai gambaran surga dengan hal-hal yang bersifat materiil. Misalnya taman, sungai, makanan dan minuman lezat, juga bidadari.
Namun, gambaran surga tidak berhenti di sini. Ujung penjelasan tentang surga justru bersifat spiritual. Wajah orang yang beriman pada hari itu berseri-seri. Mereka akan berjumpa dengan Tuhan. Jadi, orang yang beriman bahagia masuk surga bukan lagi karena kemewahan tempatnya. Bukan juga karena bidadari!
Kebahagiaan Spiritual
Mungkin ini dua contoh kebahagiaan spiritual. Pertama, pilih mana makan di warteg, bayar sendiri, tapi ada si dia yang sedang kita cintai sepenuh hati, atau di restauran mewah, gratis, tapi si dia tidak ada? Jika memilih warteg, mungkin bagi kita tidak penting lagi mewahnya tempat dan lezatnya makanan. Yang penting ada si dia. Jika memilih restauran, ya mungkim cinta kita pada si dia memang biasa saja. Bahkan jangan-jangan belum ada?
Sampai sini jadi ingat ungkapan Rabiah Adawiyah: “Ya Allah, jangan masukkan aku ke dalam surga-Mu jika Engkau tidak di sana. Masukkan aku ke neraka-Mu jika hanya di sana aku bisa bertemu dengan-Mu.”
Byuh, langsung merasa bagai remukan rengginang yang alot di kaleng bekas biskuit KH. Bagaimana aku bisa mengaku cinta pada Allah, sedangkan aku masih takut mati yang memungkinkan perjumpaan hakiki dengan-Nya?
Contoh kebahagiaan spiritual kedua. Kita mungkin bangga jika bertemu dengan pejabat tinggi Negara, apalagi pemimpin dunia yang dikenal luas oleh publik. Meskipun pertemuannya tidak sengaja. Jika bertemu tokoh penting Negara dan dunia saja kita bangga padahal mereka hanya berkuasa di waktu dan tempat tertentu, maka adakah kebanggaan yang melampaui pertemuan dengan Allah Dzat yang menguasai tanpa batas waktu, memiliki, bahkan menciptakan alam semesta raya seisinya?
Tentu kebanggaan seperti ini hanya untuk orang yang percaya bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam! Hiks! Semoga termasuk!
Al-Qur’an juga menegaskan kok bahwa gambaran surga yang bersifat materiil itu hanyalah perumpamaan. Pertanyaannya adalah kenapa tidak sejak awal Allah menjelaskan bahwa surga adalah kebahagiaan spiritual? Jawabannya sederhana: sebab sedang bicara dengan masyarakat yang belum mempunyai kesadaran spiritual memadai, bahkan mungkin belum punya sama sekali.
Bagaimana mungkin bicara tentang surga sebagai puncak kebahagiaan karena akan bertemu dengan Allah, sedangkan mereka pada adanya Allah saja belum percaya???
Jadi bidadari surga itu menyimbolkan puncak kebahagiaan siapa?
Sekali lagi saya tegaskan bahwa al-Qur’an itu dari Allah, Dzat Yang Maha Adil pada perempuan, maka mustahil memaksudkan firmannya untuk ketidakadilan bagi mereka. Namun, al-Qur’an selalu disampaikan melalui pemahaman manusia yang tidak satu pun maha adil. Bahkan sering tidak adil pada perempuan.
Mari ikhtiar untuk adil pada perempuan bersama al-Qur’an, sejak dalam pikiran! Kalau surga sebagai tempat yang paling membahagiakan saja dinarasikan tidak utuh sehingga berdampak sebaliknya, lalu kemana harus menuju sedangkan neraka juga menyeramkan? []