Mubadalah.id – Ada sebuah hadis masyhur di kalangan umat Muslim yang selalu menjadi pedoman saat seseorang telah memasuki fase pencarian jodoh. Seperti tips mencari jodoh ala Nabi. Hadis tersebut bahkan tertulis hampir di setiap bab nikah dalam kitab-kitab Hadis maupun Fikih.
Hadits itu berbunyi, “Perempuan (dan juga laki-laki) dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, garis keturunannya, keelokan rupanya, dan agamanya. Maka pilihlah perempuan/laki-laki yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.” (HR. Bukhori no. 5090).
Empat perkara tersebut memang menjadi indikator tips mencari jodoh ala Nabi, dan harapan hampir setiap manusia, jika ia memiliki pasangan nikah kelak. Siapa yang tidak menginginkan menikah dengan seseorang yang memiliki harta berkecukupan, lahir dari trah yang baik serta terhormat, berparas menawan, serta paham ajaran agama dengan baik? Siapapun pasti menginginkan takdir untuk mendapatkan paket lengkap tersebut.
Akan tetapi, jika merujuk pada kriteria-kriteria tersebut, tentu akan sulit menemukan sosok yang sempurna untuk dijadikan pendamping. Oleh karena itu, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. kembali menegaskan perihal hal ini:
“Jangan menikahi perempuan/laki-laki karena keelokan rupanya, karena bisa jadi parasnya yang menawan itu akan memburukkannya; dan jangan menikahi perempuan/laki-laki karena hartanya, bisa jadi hartanya membuatnya melampui batas. Tetapi, nikahilah perempuan/laki-laki atas perkara agamanya. Sungguh hamba sahaya perempuan/laki-laki yang sebagian hidungnya terpotong lagi berkulit hitam tapi taat beragama adalah lebih baik.” (HR. Ibnu Majah No. 1859).
Kriteria Jodoh Ala Nabi
Ya, di antara semua tips mencari jodoh ala Nabi itu, beliau sangat memprioritaskan “taat beragama,” sebagai syarat mutlak dalam mencari jodoh yang akan kita nikahi. Namun harus kita ketahui bersama pula, taat beragama di sini harus secara menyuluruh. Tidak cukup dengan menjalankan lima rukun Islam dengan baik sebagai bentuk ketaatan yang bersifat vertikal, namun juga ketaatan sosial yang bersifat horizontal.
Banyak orang tua yang terjebak, dengan melihat seorang pemudi/pemuda yang hafal Alquran, hafal banyak nadzam kitab kuning, khatam banyak kitab klasik, langsung serta merta mencap sosok tersebut sebagai sosok yang sangat paham akan ajaran agama, sehingga memaksa putra maupun putrinya untuk setuju atas calon yang orang tua ajukan. Akan tetapi saat telah menjalani biduk pernikahan, sang anak justru merasa terpenjara dan tersiksa atas perlakukan dan sikap pasangan yang orang tuanya pilihkan ini.
Tidak bermaksud mendeskreditkan siapapun, tetapi yang ingin saya tekankan, siapapun itu jangan mudah tergoda dengan title keagamaan yang dimiliki seseorang, karena itu bukan menjadi jaminan bagaimana seseorang itu akan bersikap pada sesama, khususnya pasangan kawinnya.
Sebagaimana yang Kanjeng Nabi sampaikan tadi “Sungguh hamba sahaya perempuan/laki-laki yang sebagian hidungnya terpotong lagi berkulit hitam tapi taat beragama adalah lebih baik,” dengan artian penghayatan seseorang atas ajaran agama yang tampak dalam sikap/akhlaknya itu adalah poin utamanya.
Metode Ta’wil Buya Husein
Lantas, untuk dapat memiliki satu kriteria saja tampaknya sulit, apalagi semuanya. Apakah mungkin untuk pemuda/pemudi Muslim yang saat ini belum menikah mendapatkan calon dengan kriteria-kriteria yang disampaikan Nabi tersebut?
Mengingat jumlah kaum hartawan tidak sebanding dengan jumlah kaum ekonomi kebanyakan, jumlah trah ningrat maupun tokoh berpengaruh yang sulit kita jangkau, standar kecantikan maupun ketampanan yang terlalu tinggi, juga sosok-sosok yang mempelajari agama namun diragukan.
Jawabannya tentu saja mungkin, karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau kata Prof. Suwito, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, “mungkin segalanya mungkin.” Tugas kita masing-masing untuk mengubah yang mungkin tersebut menjadi satu kepastian.
Salah satu jalan alternatif untuk meraih kepastian itu adalah melihat makna lain yang terkandung dalam hadis tersebut. Buya KH Hussein Muhammad sangat menyukai metode ta’wil dalam menggali makna teks, dan melalui metode ini, teks akan bersifat dinamis sepanjang masa.
Harta
Kalau selama ini mal atau harta identik dengan materi yang berkecukupan, bagaimana nasib para jomlo dengan pendapatan UMR, yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja terkadang pas-pasan. Sungguh mustahil bagi kebanyakan untuk dapat berani memutuskan menikah pada akhirnya.
Padahal banyak ulama nusantara yang memberikan nasihat, salah satunya seperti maqalah KH. Kafabihi Mahrus pada NU.Online, “kalau santri berani menikah tanpa didahului kerja itu kerna santri husnudzon soal rezeki sudah ada yang mengatur.”
Nah, nasihat ini tentu memiliki dasar, seperti bunyi HR. Ibnu Hibban yang menyatakan bahwa rizki itu akan mengejar seseorang walaupun seseorang itu menjauh darinya. Bagaimana agar teks-teks tersebut saling berkaitan? Jangan definisikan harta sebagai sesuatu yang bersifat materi fisik, melainkan jadikan sebagai salah satu kemampuan yang harus setiap jomlo Muslim miliki atas harta, sebesar apapun itu.
Jika setiap diri memiliki penguasaan terhadap harta yang dimiliki dengan baik dan bijak, di situlah rizki tersebut akan cukup dan berkah. Sering kita temui, keluarga-keluarga dengan ekonomi di bawah rata-rata dan mereka tetap dapat menikmati hidup dengan bahagia. Itu karena mereka dapat merasa cukup atas rizki yang Tuhan berikan.
Banyak sedikitnya harta yang kita miliki tidak menjadi jaminan kebahagiaan seseorang. Banyak orang kaya yang tidak bahagia, banyak juga orang miskin yang tidak bahagia. Bukan karena jumlah harta, tapi karena hilangnya rasa syukur dalam dada. Oleh karena itu, menikahlah dengan seseorang yang memiliki kemampuan mengolah harta dengan baik (termasuk diri kita sendiri). Sehingga dengan demikian, pernikahan kita akan berkecukupan dan membahagiakan secara ekonomi.
Garis Keturunan
Mustahil bagi rakyat kebanyakan menikah dengan seorang putri/pangeran, bangsawan, anak tokoh dan pemuka agama, maupun masyarakat elit atas yang terkadang kita tidak memiliki akses di circle tersebut. Namun hal tersebut tidak menjadi hambatan untuk kita menikah dengan seseorang seperti yang Nabi sampaikan. Lihasabiha, dengan makna bagaimana seseorang tersebut menjalin hubungan dengan orang-orang terdekatnya.
Ya, saat kita hendak menikahi seseorang, kita harus melihat nasabnya. Artinya kita harus melihat bagaimana dia bersikap kepada kedua orang tuanya, saudara-saudaranya, kakek-neneknya, dan keluarga besarnya. Jika ia memiliki perilaku baik dan dapat mengelola konflik keluarga dengan baik, maka ia masuk dalam kriteria ini.
Apabila dalam relasi keluarga yang ia miliki saja dia mampu bersikap dengan baik dan bijak, maka saat membina rumah tangga denganmu ia juga akan berusaha untuk menjadi pribadi yang sama, asalkan kamu juga melakukan hal yang serupa.
Sebagaimana kita tahu, garis keturunan tidak menjamin kebahagiaan hidup seseorang. Berapa banyak ratu, raja, pangeran dan serupanya yang memiliki keistimewaan tersebut. Akan tetapi tidak mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan pernikahannya. Oleh karena itu, lihasabiha dalam teks tersebut dapat kita maknai sebagai kecakapan seseorang dalam berperilaku dan mengelola konflik yang ada dalam relasi keluarga yang dia miliki.
Keelokan Rupa
Karena tiap orang memiliki mata masing-masing, maka sesungguhnya standar kecantikan pada umumnya tidaklah berlaku. Sehingga saat ingin memutuskan menikah dengan seseorang, bukan pada paras fisiknya yang menjadi poin utama. Melainkan sesuatu yang melekat pada diri dia yang menjadikannya istimewa menurut pandanganmu.
Entah karena kesabarannya, sikap mengalahnya, santunnya, lembutnya, tegasnya, kecerdasannya, kerja kerasnya, apapun itu yang menurutmu menjadi nilai plus yang ada dalam diri dia. Keelokan seperti ini tidak akan luruh termakan masa, karena ia melekat pada diri. Walaupun sudah keriput, saat kau melihat kesabarannya, santunnya, di saat itu pula kamu akan melihat keelokan rupa yang mendamaikan hatimu.
Keelokan yang selalu membuatmu bertahan dalam beragam dinamika kehidupan pernikahan, karena bagaimanapun keistimewaan itu hanya pasanganmu yang punya. So, temukan apa yang istimewa pada sosok seseorang yang akan kamu nikahi. Itulah hakikat keelokan rupa yang ‘mungkin’ dimaksudkan Kanjeng Nabi.
Agamanya
Seperti yang telah saya paparkan sebelumnya. Faktor agama adalah bagaimana seseorang menghayati ajaran agamanya dalam praktik kehidupan sebagai hamba dan makhluk sosial yang baik. Jika telah memenuhi semua faktor tersebut, maka tidak mustahil bagi siapapun untuk menikah dengan pasangan yang ia damba. Kemudian lolos berdasarkan kriteria yang diberikan oleh Kanjeng Nabi. Sehingga, kehidupan pernikahan yang sakinah mawaddah rahmah wa mubadalah pun akan tercipta. Wallahu A’lam Bishshawwaab. []