Jika surga berada di bawah telapak kaki Ibu, lantas bagaimana denganku yang tidak punya Ibu?
Jika surga berada di bawah telapak kaki Ibu, lantas bagaimana nasibku yang dibuang orangtuaku?
Jika surga berada di bawah telapak kaki Ibu, lantas bagaimana dengan kelahiranku yang tak diinginkan?
Mubadalah.id – Orang lain menikmati masa-masa indah dipeluk, dicium, dicintai, disayangi, oleh sosok ayah-ibu. Sementara aku harus berjuang keras mengusahakannya sendiri. Mengimajinasikan pelukan hangat sesekali, namun tetap saja aku tak mampu. Aku tak punya pengalaman semacam itu. Hanya pelukan dari hujan, awan hitam, halilintar dan dinding dingin di pojokan gorong-gorong jembatan tempatku menghabiskan masa kecilku hingga remaja.
Pelukan Imajiner
Selama hidup, wajah suram adalah wajah yang paling bisa kutunjukkan pada dunia. Hanya wajah itu yang kumiliki. Seolah senyum adalah kemewahan. Aku hidup dalam lorong kecemasan dan ketakutan, namun sekuat badan aku mesti menahannya. Aku hanya bisa marah sesekali, dan memprotes pada semesta dengan wajah galakku. Namun demikian, masyarakat, kerumunan itu, menuntut banyak sekali hal. Saat aku bersikap kejam dan keras, orang-orang berkata bahwa aku adalah anak kurangajar yang kurang didikan orangtua.
Kau tahu betapa irinya aku memandang mereka yang setiap ada masalah langsung pulang ke rumah dan memeluk ibunya, ayahnya? Mereka punya tempat bersandar, tempat pelarian, tempat rebahkan segala gundah dan kecemasan. Setiap ada masalah, aku hanya akan meringkuk di balik selimutku yang lusuh, memeluk diri sendiri dengan luka yang tak pernah luruh.
Pernah aku berlari pada kekasihku, namun toh akhirnya dia mengkhianatiku. Pernah kuberlari pada temanku, toh akhirnya merekapun meninggalkanku. Semua orang yang kutuju menjauh dariku karena tak tahan denganku sebab kata mereka, aku adalah manusia setengah penuh. Setengahku manusia, namun setengahnya hanya berisi hasrat-hasrat setan, sebagai akibat dari takdir yang mengantarkanku menjadi anak yang tak jelas asal-muasal.
Cinta seorang ibu yang (katanya) abadi itu tak pernah aku miliki. Cinta yang tak perduli betapa buruk dan menyebalkannya aku. Betapa jelek dan rusaknya diriku. Menurutmu, seberapa besar kekuatan yang aku butuhkan untuk bertahan di tengah dunia tak adil ini?
Garis Darah yang Tak Jelas
Saat aku melakukan kesalahan, orang-orang menyudutkanku, menuduhku sebagai anak tak tahu didikan. Benar, aku memang tak tahu didikan. Begitu lahir aku dilepas ke alam bebas memasuki rimba raya. Hukum yang kupelajari adalah hukum saling memangsa, seleksi alam, yang kuat yang menang. Orang-orang yang punya ibu tak akan mengerti pahit dan perihnya berdiri seorang diri, tak tahu lahir dari rahim siapa, darah yang mengalir di tubuh ini darah siapa, saat bercermin aku entah mirip siapa?
Dalam hal ini tak ada solusi untukku. Setiap kali orang menasehatiku, aku tahu mereka hanya memberi rasa simpati sedikit agar aku tak merasa tertekan. Tapi mereka tak benar-benar tahu apa yang kurasakan. Setiap hari aku berkubang dalam pertanyaan mengenai eksistensiku. Siapa aku? Dari mana asal daging dan darah ini? Aku tak tahu asal usulku. Seolah aku lahir dari dunia antah berantah.
Aku tidak minta dilahirkan. Tapi kenapa aku lahir? Aku salah apa? Hingga aku dilempar ke dunia semacam ini. Dunia yang penuh ancaman dan luka. Dunia penuh dominasi di mana orang-orang saling unjuk kehebatan memiliki sesuatu bernama “keluarga”. Celakanya aku lahir tanpa keluarga, tanpa ayah-ibu. Kau tahu betapa kelam dan abu-abunya hidupku?
Tentang Ibu
Suatu hari teman-teman perempuanku membicarakan tentang Ibu, mereka belajar masak bersama, menanam bunga bersama. Teman yang laki-laki disembuhkan, diobati, ditiupi luka di dengkulnya oleh ibu mereka. Ditanyai sudah makan, sudah minum, sudah mandi? Dan dimarahi karena hujan-hujanan sampai sore hari. Ah, perih sekali dada ini. Setiap ada materi di sekolah tentang berbakti pada orang tua, aku hanya mampu meraba-raba, tak jelas hubungan hebat antara anak dan orang tua itu bagaimana?
Kini saat aku dewasa, aku sering mendengar pembicaraan tentang quality time bersama keluarga, liburan bareng, posting foto bareng, perayaan ulang tahun, deep talk. Tentu aku merasa remuk dan koyak. Seandainya aku menjadi sebatang kara karena ditinggal mati orang tuaku, setidaknya ada batu nisan tempatku berkunjung dan menumpahkan airmata. Batu nisanpun ternyata aku tak punya.
Katanya, ibu adalah penentu surga bagi anak. Anak menjadi baik, mencapai surga dunia terbaik dan berada di jalan yang lurus-mulus, semua karena ibunya yang mempersiapkan dan menyediakan segala sesuatunya untuk anaknya. Lantas bagaimana denganku? Teori itu terdengar jahat dan berdengung di telingaku. Tak ada yang menyisir rambutku, menepuk pundakku, menyuguhkan sarapan untukku. Apalagi memilihkan mana jalan yang benar dan yang tidak. Tak ada yang menyiapkan surga untukku.
Bolehkah Aku Menutup Telingaku?
Kadang aku sedih saat mendengar, melihat, dan membaca segudang kisah tentang kebaikan dan keagungan seorang Ibu. Sahabatku sering memposting foto dan story betapa ibunya sangat hebat, baik, pengertian, menyiraminya dengan kasih sayang.
Sementara ayahnya menghujaninya dengan ilmu dan materi yang berkecukupan. Aku bahagia, aku senang mendengarnya, tapi bisakah kau kecualikan aku dari storymu? Bisakah kau bicarakan tema “Ibu” dengan mereka saja yang punya ibu? Bolehkah aku berlari? Bolehkah aku menutup telingaku? Aku ingin sekali menyepi. Aku hanya mampu berteriak dalam hati.
Hatiku luka, sakit, seolah tertusuk pedang tajam. Karena aku tak punya ibu. Tak ada yang menjadi malaikat baik hati yang menyediakan semuanya untukku seperti di dalam kisah-kisah itu. Tentu aku ingin punya ibu. Aku ingin dihujani cinta dan kehangatan semacam itu. Namun kenyataannya, aku harus menjadi ibu dan ayah bagi diriku sendiri. Aku harus merangkul dan menafkahi diri sendiri. Aku bersandar dan merebahkan semua luka pada diri sendiri. Menjadi sebatang kara dan terlunta-lunta di belantara kehidupan ini.
Aku adalah Debu Asing
Kepada siapa aku minta tolong, mengadu, dan menghiba. Buku-buku menyajikan banyak teori tentang bagaimana cara menjadi Ibu yang baik. Namun jarang ada buku yang merangkul dan memberi tutorial pada minoritas tersingkir sepertiku, mengajari caranya menjadi individu sempurna tanpa ibu. Mungkinkah aku bisa sempurna? Aku hanyalah manusia setengah penuh.
Jika aku tumbuh dan besar menjadi monster, orang-orang tak akan perduli, tak akan ada yang memaklumi dan menghukumi wajar, memberikan permakluman bahwa semua terjadi karena aku tak punya orang tua. Mereka hanya akan memberiku seluruh hujatan.
Tak ada yang mau melihat sisi manusiaku, sisi lemahku, kebingungan identitas, bahwa aku tak punya legitimasi genetik di atas muka bumi ini. Aku hanya sosok manusia yang lahir dari debu asing tak bernilai. Lahir dari kesalahan, ketidaksiapan, dan pelarian tanggung-jawab. Dibuang, ditinggal, tak berharga.
Karena aku sendirian, orang-orang merasa bebas menyepelekan dan menghina keberadaanku. Sebab mereka merasa aman, tak akan ada ibu yang marah dan memberi pelajaran pada ibu lain karenaku. Tak akan ada ayah yang “berkelahi” dengan ayah lain demi membelaku.
Aku harus lebih kuat dalam menahan amarah, lebih tabah dalam menghadapi ujian, harus lebih digdaya dalam segala hal. Tak berhenti di sana, akupun harus belajar moral, agama, sopan-santun, hingga ilmu kasih sayang seorang diri. Juga belajar psikologi, untuk mengobati dan membalut luka jiwaku yang begitu lestari. Menjalani hidup sambil mencari obat luka, sambil berjuang mencari uang, mencari kasih sayang, mencari rumah tempat pulang, mencari sandaran, mencari dukungan. Ah tugas hidupku banyak sekali.
Penerimaan
Dan pada akhirnya, mau tak mau, aku harus menerima kenyataan dan keadaan bahwa beginilah adanya diriku. Sejarah hidupku selama 25 tahun sudah tertulis dan tak bisa terhapus. Waktu tak bisa aku putar ulang, masa lalu tidak bisa kita ubah. Mau mengumpat bagaimanapun umpatan itu tak akan bisa menghadirkan sosok ayah dan ibu. Aku hanya mencoba menghayati masa kiniku dan berusaha menjalani kehidupan sebaik-baiknya.
Katanya hidup memang tentang penerimaan. Namun mengaplikasikan konsep nrimo ing pandum sangat susah. Menerima bahwa jatahku di muka bumi ini adalah tidak punya ibu, tidak punya ayah, tidak punya garis darah yang jelas, tidak mudah. Tak ada warisan yang ditinggalkan, bahkan sekedar pertanda, sekedar surat, sekedar jepit rambut atau apa. Aku terbuang, tanpa sehelai benangpun. Satu-satunya pelipur adalah kesadaran bahwa aku tidak ditenggelamkan ke sungai saja itu sudah cukup. Tak apa. Aku masih diberi kesempatan hidup.
Anak Semesta dan Jalan Menuju Surga
Entahlah. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku hanya akan menjalani hidupku dan berusaha sebaik-baiknya. Luka yang melekat akan tetap bersarang. Hanya berharap aku tidak akan terseret dan tersesat lebih jauh ke lorong gelap kehidupan. Terjebak dalam ketidakjelasan dan keputusasaan. Berharap orang mau memahamiku, dan aku berusaha baik kepada mereka. Berharap ada tangan tulus yang mengulur padaku, menggenggam dan menyemangatiku.
Aku anak semesta. Semesta melahirkanku. Di hadapannya aku membentuk keluarga baru. Keluarga yang berisi aku, diriku, dan diriku. Aku menjadi ayah dan ibu bagi diriku sendiri. Sampai barangkali suatu hari aku bisa bertemu manusia baik yang mau membentuk keluarga bersamaku, menciptakan kondisi ideal yang bukan berisi aku dan aku. Melainkan minimal berisi kau dan aku. Semoga.
Terimakasih sudah mau mendengarku. Cerita piluku. Maafkan jika kisahku ini terdengar sinis, pesimis dan dipenuhi gejolak umpatan. Nada-nada egois, serta keinginan muluk yang campur-aduk dengan sedikit daya untuk tetap tabah dan rela. Aku hanyalah manusia setengah penuh, yang berusaha untuk tetap baik-baik saja.
Dan jika surgaku tak berada di bawah telapak kaki Ibu, maka biarkan aku mencipta jalan menuju surgaku sendiri. []