Mubadalah.id – Peristiwa Qari’ “disawer” membuat miris di pekan awal tahun baru ini. Pernyataan kecaman berbondong-bondong menyerbu pelaku tindak sawer kepada Qari’ tersebut. Para tokoh ulama’ dengan tegas menolak aksi ini. Sebagaimana yang disampaikan ketua umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf (NU Online).
Hal senada juga KH. Cholil Nafis suarakan. Beliau sebagai ketua bidang dakwah MUI, telah melakukan tabayyun kepada MUI wilayah setempat dan mendapati bahwa memberi uang ke depan Qari’ yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an merupakan sebuah tradisi di wilayah tersebut (instagram @cholilnafis).
Tradisi Sawer
Sebagaimana kita ketahui bahwa fenomena sawer Qari’ telah viral masyarakat lakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Tradisi tersebut mereka anggap sebagai penghargaan kepada Qari’. Celakanya, pada video viral baru-baru ini, tradisi sawer ternodai dengan aksi seorang pria yang menyelipkan uang pada kerudung Qari’ah. Hal ini tentu mengundang pasal tidak hanya penodaan agama namun juga pelecehan seksual.
Sawer sebagai sebuah tradisi yang berawal dari suku sunda memiliki nilai filosofis yang mendalam. Berasal dari kata “awer” yang berarti air jatuh menjiprat. Tradisi sawer yang masyarakat lakukan pada upacara pernikahan maksudnya untuk pemberian nasihat-nasihat dari orang tua. Di mana tardisi ini mereka wakilkan pada juru sawer melalui simbol benda-benda, seperti beras, bunga hingga uang logam.
Namun tradisi syarat makna tersebut tidak banyak masyarakat kenal. Tradisi itu kini seringkali bersanding dengan aksi panggung dangdut. Meski maksudnya juga sebagai bentuk apresiasi kepada penyanyi. Namun sawer pada acara dangdut seringkali penuh dengan aksi-aksi tidak senonoh yang menyebabkan tradisi ini mengalami peyorasi makna di kalangan masyarakat.
Tradisi sawer bukan tradisi buruk. Jangan sampai tradisi ini makin tercerabut dari akar filosofinya karena peristiwa ini. Pelekatan tradisi sawer dengan sebuah tindakan penghargaan memang seyogyanya lebih pas jika kita kaitkan dengan konteks lain, bukan untuk konteks kegiatan keagamaan. Namun lebih pada kegiatan budaya.
Jika ingin mempertahankan eksistensi istilah tradisi sawer untuk Qari’ maka perlu adanya hal-hal yang kita perhatikan dengan mengembalikan nilai-nilai filosofis tradisi sawer yang sesungguhnya. Upaya-upaya tersebut perlu kita imbangi dengan komitmen dari semua pihak.
Momen Pemberian Sawer
Aksi sawer Qori’ mereka samakan dengan aksi sawer dangdut. Di mana hal itu terjadi saat Qari’ melantunkan ayat Al-Qur’an. Kenyataan ini tentu mendapat kritikan tajam. Aksi sawer Qari’ seyogyanya kita kembalikan pada tradisi sawer pengantin sunda yang pelaksanannya setelah prosesi sakral ijab kabul berjalan.
Sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Insyiqaq 21, pembacaan ayat suci al-Qur’an mengharuskan semua mustami’ mendengarkan dan meresapi maknanya. Dalam konteks ini, kesakralan Al-Qur’an menjadi legitimasi untuk tidak dulu melakukan aksi sawer. Sawer bisa kita lakukan di luar durasi tersebut. Bisa kita lakukan sesaat sebelum atau sesudah Qari’ melantunkan ayat suci al-Qur’an.
Pemberi Sawer
Atas peristiwa aksi sawer Qari’ yang terjadi belum lama ini, KH. Cholil Nafis menegaskan bahwa beliau telah mengkonfirmasi pihak MUI setempat. Di mana, pelaku melakukan aksi sawer di luar kebiasaan tradisi sebelumnya. Sehingga MUI setempat siap memanggil dan melakukan pembinaan.
Pemberi sawer menjadi salah satu aktor yang tersorot dalam tradisi sawer. Relasi kuasa erat kita kaitan dengan tradisi sawer dangdut. Dalam tradisi sawer dangdut, penyawer merupakan penonton yang memiliki uang. Jika Penyawer telah menguasai panggung, mereka berhak melakukan hal apapun kepada penyanyi di atas panggung.
Hal ini tentu berbeda dengan penyawer dalam tradisi sawer sunda yang merupakan “juru sawer”. Di mana ia dipasrahi oleh wali dari mempelai. Juru Sawer tentu bukan orang sembarangan. Ia memiliki kualifikasi tertentu seperti dapat menembangkan kidung nasihat pernikahan.
Hal ini juga seyogyanya kita lakukan dalam sawer Qari’. Penyawer kita ambilkan dari sesepuh atau tokoh agama yang ada di acara tersebut dalam upaya pencegahan agar tidak menimbulkan fitnah dan tindakan tidak etis lainnya.
Tata Cara Pelaksanaan Sawer
Dalam tradisi sawer sunda, ada beberapa pernak-pernik yang mereka gunakan sebagai simbol nasihat-nasihat yang berupa bunga, beras, uang logam dan sebagainya. Dalam konteks sawer Qari’ yang kita niatkan sebagai sebuah penghargaan. Pernak-pernik ini bisa kita sesuaikan. Misalnya saja untaian pin emas, roncean bunga, atau selempangan uang kertas.
Meski dalam tradisi sawer sunda, pernak-pernik mereka berikan dengan cara dijipratkan (mengandung makna tindakan positif dari kata “dilempar”) sebagaimana yang terkandung dalam kata “awer”. Dalam konteks sawer Qari’, “awer” bisa kita lakukan dengan cara kita sematkan, kita kalungkan, dan kita serahterimakan yang sama-sama mengandung makna tindakan positif. []