Mubadalah.id – Advokasi untuk menciptakan konstruksi sosial yang setara dan berkeadilan perlu mendengar dan merespon suara-suara perempuan yang terpinggirkan, diabaikan, dan tidak dihargai.
Suara adalah ekspresi, baik yang diaktualisasikan dalam aksi-aksi konkrit maupun verbal dalam bentuk mempertanyakan sesuatu, mengkritisi, atau menggugat.
Dalam konteks kebudayaan patriarkis, suara-suara perempuan tidak didengar dan dibungkam, aktualisasinya dibatasi dan dimarjinalkan.
Namun, sikap dan pandangan yang Nabi tunjukan dalam hal ini justru sangat berbeda. Abdul Rahman bin Syaibah, seperti dalam al-Thabari dalam tafsir Jami’ al-Bayan, mengatakan:
“Aku mendengar Ummu Salamah, istri Nabi Saw mempertanyakan kepada Nabi, Wahai Nabi, mengapa kami (kaum perempuan) tidak (jarang sekali) al-Qur’an sebut, tidak seperti laki-laki?.”
Setelah menyampaikan pertanyaan itu Ummu Salamah tidak melihat Nabi, kecuali mendengar suaranya di atas mimbar. Ummu Salamah bercerita,
“Waktu itu aku sedang menyisir rambut. Aku segera membenahi rambutku lalu keluar menuju suatu ruangan. Dari balik jendela ruangan itu aku mendengar Nabi berbicara di atas mimbar masjid di hadapan para sahabatnya.”
Nabi Bersabda, “Ayyuha al-Nas” (Wahai manusia), perhatikanlah Firman Allah ini:
“Bahwa sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang patuh (kepada Allah), laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk.
Laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki yang menjaga kemaluan mereka (dari yang Allah Swt haramkan).
Begitu pula perempuan, laki-laki yang banyak mengingat Allah, begitu pula perempuan, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. al-Ahzab ayat 35).*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.