Mubadalah.id – Keyakinan dominan dalam masyarakat Indonesia dan juga pada masyarakat yang lain, adalah bahwa pekerjaan perempuan (istri) harus dibatasi pada ruang domestik (di dalam rumah), sedangkan laki-laki pada ruang publik.
Sebagian orang bahkan mempersempit kerja istri hanya dalam kerja mengasuh dan melayani suami. Tidak ada kewajiban lain bagi perempuan (istri) kecuali untuk fungsi-fungsi reproduksi, melayani suami, mengurus anak, dan mengatur rumah.
Hal ini terjadi karena masyarakat menganggap bahwa watak dan karakter perempuan memang diciptakan Tuhan untuk kerja-kerja seperti itu.
Yakni, kerja-kerja yang membutuhkan sentuhan emosional, kelembutan, kesabaran, ketelitian, dan sifat-sifat feminitas lainnya. Mereka tidak layak untuk kerja-kerja yang membutuhkan otot dan intelektual. Ini adalah pekerjaan laki-laki.
Kerja perempuan di luar rumah sering juga dipandang sebagai penyimpangan dari karakter mereka. Pandangan umum seringkali juga menganggap hasil kerja dan keringat perempuan sebagai hasil tambahan atau sampingan belaka.
Lebih dari itu, hasil kerja perempuan tersebut dalam acap kali juga tidak menjadi miliknya sendiri melainkan sah suaminya ambil, baik untuk keperluannya sendiri maupun untuk kepentingan keluarganya.
Mulai Terbuka untuk Perempuan
Dewasa ini dunia telah terbuka bagi kaum perempuan. Mereka dapat bekerja di ruang publik. Dunia kerja publik sudah bisa dimasuki oleh kaum perempuan, baik perempuan yang masih lajang maupun yang sudah bersuami.
Al-Qur’an maupun hadis Nabi sama sekali tidak melarang mereka bekerja demikian. Islam tidak memberikan batasan-batasan ruang untuk kerja perempuan maupun laki-laki.
Masing-masing bisa bekerja di dalam maupun di luar rumah dan dalam semua bidang yang baik yang mereka butuhkan untuk kelangsungan hidup yang baik pula.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.