Mubadalah.id – Ketika aktivis perempuan di Barat menyuarakan hak-haknya kita sebut feminis, spirit yang sama juga bisa kita temukan dalam jiwa-jiwa pemikir dan pembaharu Islam.
Para pembaharu Islam yang turut menyumbangkan pemikiran feminisme ini, hadir mengoreksi tatanan yang diskriminatif terhadap perempuan, seperti hak pendidikan, hak ijbar orang tua, hak pembagian waris, status, poligami dan berbagai hiruk pikuk aturan yang menyelimuti tatanan hidup perempuan.
Mereka adalah Rifa’ah al-Tahtawi, Qasim Amin, Muhammad Abduh dan Tahrir Mahmood
1. Rifa’ah Rafi al-Tahtawi
Rifa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi adalah peletak batu pertama kebangkitan Arab Islam modern yang juga kita kenal sebagai sosok yang berani menyuarakan status perempuan. Ia menyatakan bahwa kemuliaan perempuan terletak pada status pendidikannya, bukan pada busananya. Gamis, jilbab, cadar segala atribut yang perempuan kenakan bukanlah tolak ukur kemuliaan. Baginya, agama Islam adalah agama yang memuliakan ilmu.
Menukil pada buku Modernisasi Pendidikan Islam di Mesir karya M. Fazlurrahman Hadi, cita-cita besarnya adalah mereformasi pendidikan dan melakukan pembaharuan pemahamaan keagamaan. Namun, pada zaman al-Tahtawi, wanita akan mengalami kendala tatkala akan menerima pendidikan.
Hal ini karena di Mesir terdapat pandangan bahwa wanita lemah dalam akal dan pemahamannya. Selain itu, adanya kekhawatiran akan terjadi penyalahgunaan jika perempuan menerima pendidikan khususnya dalam bidang baca-tulis, sehingga mereka hanya boleh mengerjakan pekerjaan rumah.
Ia mengatakan bahwa orang-orang Yunani sejak dulu telah memberikan pendidikan bagi perempuan. Hal tersebut berdampak pada masyarakat yang memandang perempuan berpendidikan memiliki kedudukan yang mulia. Maka tak heran, jika di Yunani banyak bermunculan pahlawan perempuan.
2. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh ibn Hasan Khayr merupakan salah satu figur penting Islam pada abad ke-20. Di tempat asalnya, Mesir ia dikenal sebagai ilmuwan besar dan seorang pembaharu dalam dunia Islam. Selama masa hidupnya ia menggiatkan modernisme Islam dengan cara mensintesiskan ajaran Islam dengan pemikiran modern.
Melalui artikel-artikel di surat kabar Al-Ahram, di Kairo, gagasan pembaruannya bisa sampai ke telinga para pengajar. Ia secara tegas melarang poligami. Menurutnya, ayat al-Qur’an yang membahas tentang poligami hanya menjelaskan konteks sosiohistoris terhadap budaya jahiliyah di masa tersebut.
Poligami tentunya bertentangan dengan hakikat dari tujuan pernikahan suami istri yaitu sakinah, mawaddah dan wa rahmah. Baginya, syariat Islam tentang poligami harus disesuaikan dengan konteks masyarakat bukan diberlakukan secara menyeluruh tanpa reserve.
Pemikiran Abduh ditunjang oleh beberapa gurunya yang menjadikan Abduh sebagai sosok pemikir yang rasionalis-modernis seperti syekh Darwisy, Hasan al-Tawil dan yang paling berpengaruh dengan dalam pembentukan pola pikirnya adalah Jamaluddin al-Afgani. Darinya, Abduh mulai bersinggungan dengan dunia barat yang modern dengan kebebasan berpikirnya.
3. Qasim Amin
Perempuan harus dimerdekakan, begitulah pemikiran yang Qasim Amin usung. Ia menyuarakan pemikiran feminismenya ke dalam dua buah karyanya yaitu al mar’ah al jadidah dan tahrir al-mar’ah. Gagasannya terpengaruh oleh nuansa pemikiran Muhammad Abduh. Di berbagai tempat ia begitu kritis terhadap Barat sedangkan di tempat lain ia juga mengkritisi kondisi bangsanya sendiri.
Awalnya, Qasim Amin mendapat banyak tantangan karena pemikirannya yang berlawanan dengan kondisi Mesir saat itu. Meskipun mendapatkan banyak tentangan dan kritik, karya-karyanya telah memiliki pengaruh besar dalam rangka kemajuan bangsa Mesir khususnya di dunia Islam pada umumnya.
Buku al-mar’ah al jadidah telah menampilkan ide atau pemikiran pokok dari Qasim Amin tentang kebebasan dan pengembangan daya-daya wanita untuk mencapai kemajuan.
Sedangkan pada bukunya yang ke dua yaitu Tahrir al-Mar’ah, ia menanggapi kritik dan protes terhadap buku pertamanya, dan sekaligus mejadi penegas dan penguat atas ide-idenya. Di dalam buku keduanya inilah ia mengemukakan contoh-contoh konkret perbandingan antara wanita Mesir, wanita Eropa, dan juga wanita Amerika
Dalam menanggapi persoalan di zamannya, ia menekankan teori ilmu pengetahuan modern dan filsafat Barat modern. Qasim Amin juga mengatakan bahwa kemajuan bukanlah berdiri di atas landasan ibadah dan aqidah saj. Aakan tetapi atas penemuan-penemuan ilmiah yang telah berhasil umat manusia ciptakan dalam rangka kemaslahatan bersama.
Abduh berusaha menengahi antara ajaran Islam dan budaya Barat. Untuk tujuan ini ia tak henti-hentinya mendesak para tradisionalis di Mesir. Selain mengusahakan pembaharuan, ia juga berupaya menangkis tulisan para penulis Barat yang menurutnya salah dalam memahami Islam.
4. Tahir Mahmood
Sementara itu, Tahir Mahmood, seorang pemikir Islam modernis, dan menegaskan bahwa hukum Islam adalah buah dari interpretasi yang bias gender dan patriarki.
Ada banyak isu krusial yang harus diubah seperti hak ijbar orang tua, pembagian hak waris, hak kewajiban suami istri, batas usia minimal perkawinan, pembatasan hak talak suami dll.
Dari gebrakan yang dilakukan oleh para pemikir muslim tersebut seharusnya kita sepakat bahwa pemikiran feminisme tidak hanya berkembang di dunia Barat, tetapi juga dunia Muslim. Apa yang diperjuangkan oleh feminisme itu memiliki persamaan dengan apa yang Islam perjuangkan. Yakni sebagai upaya untuk melakukan penyetaraan dan perlakukan yang adil terhadap kaum perempuan sebagai makhluk Allah SWT.
Tentunya, mereka hanyalah beberapa dari sekian banyaknya pemikir yang memperjuangkan hak perempuan . Di mana mereka menyadarkan akan ketimpangan relasi yang ada. Tugas kita adalah melanjutkan estafet pemikiran mereka untuk kita sebarluaskan, agar semakin banyak orang yang sadar akan budaya patriarki. []