Mubadalah.id – Konsep mahram bagi perempuan yang melakukan perjalanan tidak disebutkan dalam al-Qur’an, melainkan dalam Hadis Nabi Saw.
Pemaknaan ulama terkait konsepsi ini sejak awal Islam sangat beragam, karena banyak redaksi Hadis terkait hal ini, juga karena logika dan tujuan hukum Islam yang harus menjadi acuan.
Bahkan Aisyah r.a., istri Nabi Muhammad Saw., pernah mengungkapkan kritik terhadap konsepsi ini yang saat itu beberapa sahabat adopsi.
Dalam kitab Al-Ijabah li Irad Ma Istadrakathu Aisyah ali al-Shahabah, Imam az-Zarkasyi mengisahkan bahwa ketika ia menyampaikan tentang Hadis ini kepada Aisyah r.a.
Ia berkata: “Tidak semua perempuan memiliki kerabat laki-laki yang bisa jadi mahramnya”.
Aisyah r.a. juga kita kenal melakukan perjalanan haji tanpa kerabat laki-laki yang menjadi mahramnya.
Dengan fakta ini, dan juga argumentasi lain. Lalu terjadi perdebatan di antara ulama fikih mengenai sejauh mana perempuan wajib ada mahram ketika melakukan perjalanan.
Di samping itu, ada beberapa versi redaksi Hadis yang berbeda. Seperti dalam riwayat Imam Ibn Hazm (w. 1064) di kitab a-Muhalla bi al-Atsir, ada versi tentang larangan tanpa mahram untuk perjalanan perempuan jika lebih dari tiga hari tiga malam.
Kemudian, ada versi selama tiga hari tiga malam, dan ada versi dua hari, ada versi satu hari. Lalu ada juga versi yang menyebutkan secara mutlak tanpa batasan hari sama sekali.
Tanpa batasan, artinya kurang dari satu hari, perjalanan perempuan harus tetap ditemani mahram. Perbedaan versi ini tentu saja berpengaruh terhadap perbedaan keputusan []