Mubadalah.id – Jika merujuk tafsir Anwir at-Tanzil karya Imam al-Baidhawi (Nashiruddin Abdullah bin Umar asy-Syirazi, w. 791H) tentang poligami, maka menurutnya, tidak ada satupun ayat yang menunjukan bahkan sama sekali tidak ada indikasi yang mengarah pada pilihan keutamaan terhadap perkawinan poligami.
Dari uraian Imam Ibn Jarir ath-Thabari (w. 320H/922M) misalnya, pelopor disiplin ilmu tafsir, bisa dipastikan bahwa ayat 3 dari surat an-Nisa itu sama sekali tidak bisa dijadikan dasar anjuran al-Qur’an terhadap poligami.
Menurutnya, ayat tersebut terkait dengan perilaku wali yang sering tidak adil terhadap anak-anak yatim di bawah asuhannya. Al-Qur’an lalu turun mewasiatkan agar berlaku adil terhadap mereka.
Katanya, jika para wali merasa tidak mampu berlaku adil terhadap anakanak yatim, maka janganlah mengawini mereka. Lebih baik mengawini perempuanperempuan lain, bisa dua atau lebih.
Tetapi jika tidak mampu berlaku adil, maka yang diperkenankan hanya satu orang istri. Pilihan ini menjadi lebih baik, karena bisa membebaskan orang dari kemungkinan perilaku zalim dan aniaya.
Demikian halnya ketika menelusuri penafsiran dalam kitab al-Jam li Ahkim al-Jur’ain, karya Imam al-Qurthubi (w. 671H/1273M), pelopor tafsir hukum terhadap al-Qur’an. Juga tidak kita temukan satu indikasipun yang mengisyaratkan pengutamaan bentuk perkawinan poligami.
Namun yang berkembang di masyarakat muslim, terutama pada saat ini adalah yang sebaliknya. Poligami menjadi mode tersendiri dalam perkembangan pemikiran keagamaan umat Islam.
Poligami bukan Ladang Ibadah
Dewasa ini, tidak sedikit dari mereka yang menyatakan bahwa poligami adalah ibadah, tuntunan al-Qur’an, ladang berkah, memudahkan orang masuk surga dan menganggapnya sebagai keutamaan dibanding dengan perkawinan monogami.
Mereka menganggap orang-orang berperilaku poligami sebagai orang yang berpekerti baik, mulia, kuat dan banyak pahala.
Pembacaan terhadap kitab-kitab tafsir tersebut di atas, menunjukkan bahwa pokok bahasan ayat yang mereka anggap ayat poligami justru pada risalah yang jauh lebih mulia daripada sekedar poligami atau monogami.
Bisa kita pastikan bahwa titik persoalan dalam pembahasan para ulama tafsir, sesungguhnya tidak pada pilihan perkawinan poligami.
Tetapi pada sejauh mana seseorang bisa mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan kenistaan dari kehidupan, terutama pada relasi perkawinan.
Terutama kehidupan mereka yang terlibat dalam perkawinan, laki-laki sebagai suami, perempuan sebagai istri, begitu juga anak-anak dan keluarga. []