Mubadalah.id – Kampung halaman adalah tempat berpulang. Tempat yang selalu dirindukan, tempat yang berdiri atas nama bangunan kenangan masa kecil, masa lalu, kisah nostalgia, dan ingatan-ingatan tentang waktu yang telah lewat. Kampung halaman adalah tempat kembali, tempat yang spiritnya mampu menarik-narik kita untuk selalu rindu pulang, seolah ia adalah bahu sandaran yang selalu ingin kita tuju.
Aroma hujannya, dedaunan, tanahnya, airnya, udaranya, terasa nyata meski hanya dalam ingatan di kepala. Manusia bisa survive di manapun, namun akan selalu ada tempat di mana jiwa kita telah menjadi bagian daripadanya. Kepada bagian jiwa itu, kita ingin menengoknya walau hanya setahun sekali.
Kenangan akan Pohon Delima, Ara dan Zaitun
“Seperti yang kau lihat sendiri, kampung halamanku hancur!” Ucap Verdin padaku sembari menarik pelatuk senapan di tangannya. Bukan, itu bukan AK-103, apalagi MG-42, itu hanya senapan rakitan biasa yang hanya bisa menampung beberapa peluru.
Namun, kekuatan senjata lokal itu konon sangat melegenda. Aku beruntung bisa melihatnya hari ini. Verdin bukan seorang sniper profesional, dia hanya seorang otodidak yang berhasil. Dan saat ini ia melindungiku, seorang jurnalis sekaligus tenaga bantu medis; yang naif.
“Boleh aku memotretmu?” Tanyaku. Dia mengangguk. Aku langsung memotretnya. Dia seorang pemuda gagah usia 30an. Ia memakai rompi, memakai kain hitam yang ia ikatkan di seluruh kepala, celana jeans, dan sepatu boots. Hidung dan mulutnya tertutup selembar kain berwarna army.
Matanya memicing saat aku memintanya membuka masker, ia menolak. Ia ingin terus merahasiakan wajahnya dariku, bahkan dari semua orang yang ia temui—mungkin begitulah protokolnya (?). Aku ingin memiliki fotonya, bagaimanapun dialah penyelamat nyawaku.
Obrolan tentang Kampung Halaman
“Inilah kampung halamanku, Nur.” Ucap Verdin kembali membuka obrolan tentang kampung halaman. Sembari memasang mata awas ke seluruh penjuru, dia menceritakanku perihal kampung halamannya, bahwa dulu sangat asri ditumbuhi banyak macam pohon dan perdu. Buah Ara dan Delima adalah sentra utama. Perkebunan Zaitun juga membentang subur di sisi barat negara ini. Namun semua keindahan itu kini rata dengan tanah, ditaburi amis darah.
“Videokan juga kematianku.” Ucapnya datar, tanpa ketakutan. Ya, di tempat ini, kematian adalah hal biasa. Kita semua siap mati kapanpun. Bahkan, saat inipun rasanya kami sudah tak ada. Nyawa kami terancam saat ini juga. Semua surat-surat legal, berkas kependudukan, bahkan paspor dan KTP raib entah kemana.
Apa yang tersisa dariku hanya rompi pers dan kartu jurnalis, yang selalu kukalungkan di leherku. Siapa yang perduli kertas-kertas bertanda tangan itu? Saat rumah semua orang telah hancur berkeping, saudara-saudari menjadi martir, anak dan bayi telah menjadi malaikat mungil di surga.
Semua terjadi tak kurang dari satu bulan saat semua berawal dari jatuhnya sebuah rudal balistik menghantam apartemen tempatku numpang tinggal. Katanya apartemenku memiliki goa bawah tanah tempat persembunyian milisi Simurgh. Meski hasilnya nihil, tak ada goa sama sekali, tak ada yang bertanggung jawab. Apa yang dilakukan Falcon tak dikecam.
Tentang Upacara Minum Teh dan Taman Eden
“Ceritakan padaku, aktivitas penduduk di negaramu pukul 09.00 yang hangat, Nur!” Ucap Verdin. Entah apa motivasinya, kuceritakan saja padanya. Eden in the East. Orang-orang Barat ada yang memanggil negeriku demikian. Negeri yang dikelilingi gunung berapi aktif namun punya tanah yang sangat subur.
Justru karena berada di tempat berbahaya itulah, keindahannya menjadi tiada tara. Kau tau? Hal-hal indah memang biasanya selalu sebanding dengan bahayanya. Blessing in disguise. Negeriku sangat sejuk, berlimpah kedamaian, dengan tanah yang subur dan tumbuhan yang beraneka.
Apapun yang kau inginkan berada di sekitar; buah, sayur, air jernih yang terus mengalir, dan udara bersih yang terberkati. Setidaknya seperti itu gambarannya, meski saat ini kami sedang berjuang dengan ancaman kerusakan karena pengerukan membabi-buta isi bumi, polusi, dan penebangan pohon liar.
“Pukul sembilan kami sibuk melakukan aktivitas sesuai profesi. Jika yang kau maksud adalah upacara minum teh, tentu saja di pedesaan, pukul 09.00 adalah jeda pertama para petani meneguk teh hangat setelah mencangkul sejak pukul 06.00 pagi.”
“Memang terdengar seperti Eden. Penduduk yang masih bisa menikmati teh di pagi hari, pantas sekali kita sebut hidup di surga.” Mata Verdin berbinar saat mengucapkannya, seolah ia sedang berada di sana sedang minum teh.
“Berdasarkan cerita di novel, berdasarkan kisah di kitab suci, aku selalu membayangkan bisa berlarian di perkebunan Delima, menghabiskan waktu belajar di bawah pohon Ara, dan tentu saja, ingin mendapatkan minyak Zaitun dengan harga murah seperti di sini. Manusia selalu menginginkan hal-hal yang tidak dimiliki, Verdin. Namun itu bagus, karena hidup membutuhkan tujuan.”
“Kau betul, Nur. Kita mendambakan banyak hal. Namun saat ini kami hanya menginginkan satu hal: kemerdekaan. Inilah surga yang tidak kami miliki.”
Ini bukan hanya tentang keinginan menikmati teh di pagi hari, atau sekedar bersandar di bawah pohon yang rindang. Ini tentang kemerdekaan. Bahkan meski kita tidak memiliki teh atau pohon sekalipun, asal merdeka, kita bisa tetap dianggap “memiliki segalanya”. Kemerdekaan adalah surga.
Pena Lebih Tajam dari Pedang
Boom!!! Sebuah rudal menghantam gedung tak jauh dari kami. Lantas kami berdua lari menyusuri reruntuhan tembok agar bisa pindah tempat. Kami dalam perjalanan menuju kamp pengungsian. Satu jam yang lalu Verdin menyelamatkanku saat aku terjebak di wilayah perbatasan saat berusaha meliput.
Bodohnya aku, seharusnya aku tahu bahwa di situasi yang chaos dan genting ini, wartawan ataupun dokter bisa seketika ditembak tanpa peringatan. Tidak ada perlindungan hukum yang berlaku bagi pers dan tenaga kesehatan karena sudah sangat rusuh daerah ini.
Aku sudah tahu, aku sudah mempelajarinya bertahun-tahun, tapi aku keras kepala dan berambisi meliput kekejaman pasukan penindas di perbatasan. Aku pikir, dengan membawa nama media international mainstream tempatku bekerja, aku bakal selamat. Ternyata tidak. Aku ditodong pistol tepat di kepala. Beruntung Verdin menembak dahulu tentara itu.
“Tak kusangka aku menyelamatkan seorang pembunuh!” Ucap Verdin dengan senyum kecil di balik maskernya. Ucapan ini persis seperti ucapannya di hari pertama kami bertemu dua tahun lalu. Benar, aku adalah pembunuh. Sebagai jurnalis di wilayah konflik, nuraniku tentu menyadari, namun kesadaran itu terkubur atas nama kepentingan.
Pembelotan
Aku ikut serta membunuh anak-anak dan orang-orang tak berdosa dengan penaku, dengan narasi yang kutulis dalam artikel yang kukirim ke meja redaksi secara berkala setiap minggu. Pena memang lebih tajam dari pedang. Dengan pena, aku bisa mengambil nyawa orang lain dari kejauhan. Apa yang kutulis ikut serta mempengaruhi kebijakan para elit dunia.
Itu dua tahun lalu, saat aku masih berkhidmah total pada institusi tempatku bekerja, sebelum aku pelan-pelan membelot menjadi jurnalis yang membela negara Verdin. Alasan utamanya tentu karena aku melihat fakta di lapangan.
Kondisi faktual di medan perang yang kacau-balau akan merubah siapapun. Dibanding mereka yang duduk di belakang meja redaksi yang aman dan nyaman, persentuhan mata dan telingaku di medan perang telah menggoncang bagian tubuh terkecil dalam dadaku.
Namun bagaimanapun, di mata dunia, mereka tetap akan melihatku sebagai manusia yang telah didoktrin, dicuci otaknya, dikelabui oleh kenyataan semu, telah diromantisasi oleh situasi dan kondisi. Ibarat para tentara tawanan yang telah mendapat siksaan berat, mereka akan membelot demi mempertahankan nyawanya.
Propaganda dan Perang Opini
Jurnalis adalah ujung tombak informasi. Dari Kamilah, segala narasi di atas bumi ini dibentuk. Posisi kami sangat krusial bukan? Kami bisa menyelamatkan penduduk sebuah negara hanya dengan satu halaman artikel, namun juga bisa membinasakan mereka dengan beberapa paragraf saja.
Dulu, kami bebas menulis berita apapun yang kami inginkan, sesuai arah dan tujuan yang ingin kami tuju. Dan tujuanku adalah untuk menjadi profesional di tempat kerja, agar disenangi atasan, agar naik jenjang karirku; aku mendambakan kejayaan pribadi.
Untuk menuju kesana, aku membuat artikel sesuai dengan visi-misi perusahaan mediaku, aku membuat judul provokatif dan judgemental dalam tulisan-tulisanku. Aku menulis propaganda yang memojokkan dan menyudutkan orang-orang bar-bar, udik dan bebal itu (begitu kami memanggil penduduk negara Verdin).
Kami bergerak massif dengan segala sumber daya, kekuatan, dan jaringan yang kami miliki sehingga kami mampu menciptakan opini publik dunia, bahwa apa yang terjadi di kampung Verdin adalah murni kesalahan para ekstremis gila yang jahat, haus darah, haus kekuasaan, serakah, dan tak segan-segan mengorbankan nyawa warga sipil demi mencapai tujuannya.
Kisah yang Lebih Berpihak pada Falcon
Kami menciptakan sebuah kisah luar biasa dan memberi saran agar para ekstremis yang jahat itu mereka basmi. Penjahat harus menerima hukuman. Kancil yang jahil harus kita beri pelajaran agar ia bisa tobat dari kejahilannya menyerang Falcon tanpa alasan. Falcon sebagai burung yang mereka jahati, tentu ia berhak membalas tingkah nakal Kancil dengan cara menyerang balik. Meski serangan baliknya kemudian beberapa kali lebih brutal.
Kami membuat kisah yang berpihak pada Falcon, sehingga segala bentuk kejahatan, kekerasan, bombardir, yang tentara Falcon lakukan menjadi legal dan benar di mata dunia. Bahkan mendapatkan pendukung yang semakin banyak bukan hanya dari negara adidaya, pun negara berkembang yang memiliki kedekatan agama dan budaya dengan Simurgh.
Itulah apa yang kulakukan. Aku seorang pembunuh. Apa yang kulakukan saat ini, membela mati-matian kampung halaman Verdin adalah upaya penyucian dan penebusan dosaku. Kampung halaman adalah tempat berpulang.
Jika kampung halaman negeri Delima telah tiada, kemana Verdin dan jutaan saudaranya akan pulang dan membangun kembali sarang? Kita semua yang lahir di bumi berhak untuk hidup dan setiap kehidupan layak kita hormati. Aku berdiri di sini, berjuang, membelot, atas nama kemanusiaan. Meski hasilnya kematian, detak perlawanan mesti terus dilancarkan, agar dunia tahu, kita masih bertahan. []