Mubadalah.id – Bilal Ra adalah budak belian berkulit hitam dari Etiopia, tak goyah meski terik matahari Sahara yang bisa membuat kulit tubuh terkelupas, bahkan meski batu besar panas juga menindihnya. Ia tetap setia dan berkomitmen kepada kepercayaan tauhid itu meski penderitaan terus menderanya berhari-hari sampai Abu Bakar ash-Shiddiq Ra membebaskannya.
Bilal Ra diminta oleh Nabi Muhammad Saw menjadi orang pertama yang berdiri gagah di atas Bukit Kubais untuk menyerukan keesaan Tuhan dan kemahabesaran-Nya. Allahu Akbar, Laa ilaaha illallaah (Tuhan Maha Besar. Tidak ada tuhan selain Allah). Mari menuju perenungan atas keagungan-Nya dan atas seluruh ciptaan-Nya. Mari kita raih kebahagiaan.
Mengapa mereka begitu luar biasa kukuh dalam mempertahankan keyakinan itu? Kalimat tauhid (keesaan) “Laa ilaaha illallaah” dan kumandang takbir Bilal Ra, “Allahu Akbar”, memang begitu singkat dan sederhana. Namun, mereka amat mengerti bahwa itu menyimpan makna yang amat dahsyat dan mengguncang tradisi dunia kuno, bagai magma gunung berapi yang meledak dan melelehkan panas.
Kalimat itu sejatinya merupakan pernyataan amat tegas dan sangat gamblang tentang basis bagi prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Allahu Akbar bermakna hapuskan diskriminasi manusia atas nama apa pun. Bebaskan manusia dari sistem politik despotik dan aristokratis.
Hentikan perampokan dan perampasan harta rakyat. Sudahi pembunuhan bayi-bayi perempuan dan perendahan atas mereka. Ajari rakyat tentang arti menjadi manusia, ciptaan Tuhan yang paling terhormat dan bermartabat, serta tentang keadilan.
Penghapusan Perbudakan
Kalimat tauhid itu jelas sekali merupakan deklarasi tentang keharusan penghapusan perbudakan manusia atas manusia, penghentian monopoli kekayaan ekonomi dan sumber daya alam, pembebasan manusia dari kekuasaan politik yang menindas, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan sekaligus memajukannya hingga menjadi setara.
Dalam waktu yang sama, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kalimat tauhid juga merupakan deklarasi Islam tentang keharusan manusia membangun sistem sosial dan ekonomi yang adil.
Selain itu, hukum ditegakkan secara benar, jujur, dan berkeadilan, pembentukan sistem politik yang demokratis, pembangunan relasi persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Termasuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pencerdasan masyarakat. Serta melakukan kontestasi perlombaan dalam kebajikan dan keshalihan, baik individu maupun sosial.
Tak pelak, tak lama sesudah deklarasi kemanusiaan universal itu didengungkan, dunia lama yang kelam tiba-tiba berubah menjadi dunia baru yang bercahaya. Cahaya itu berpendar laksana matahari: menyinari semesta, menghidupkan, mencerdaskan, dan menggairahkan. []