Setelah dihajar berkali-kali oleh lagu Aisyah yang diputar Novi Yana, saya menenangkan diri dengan memutar lagu-lagu Nasidaria. Lagu pertamanya, “Ibu”. Liriknya menarik. “Ibu derajatmu tiga tingkat dibanding Ayah”. Saya jadi ingat Emak, Aisyah. Emak memang bernama Aisyah. Di matanya, Nasidaria itu nomor satu. Zainuddin MZ nomor dua. Lagu-lagu dangdut nomor tiga. Mendengar lagu-lagu kasidah itu buat Emak separuh dari ibadah.
Selepas shubuh menjelang matahari menyingsing dan nelayan melaut, Emak memutarnya. Saya jadi akrab dengan grup perempuan-perempuan hebat itu. Gaya berkerudung Nasidaria jadi tren mode di kalangan ibu-ibu di pulau kami. Nasidaria telah menjadi subkebudayaan. Lagu “Pengantin Baru’ di acara akad nikah di pulau kami seperti lagu Indonesia Raya di forum-forum pemerintah. Grup-grup kasidah pelajar Tsanawiyah dan ibu-ibu majlis taklim mengidolakan mereka.
Jika Nasidaria rutin diputar, MZ diputar bolong-bolong. Biasanya menjelang magrib. Seingat saya Emak tak akan putar, jika masjid pulau sedang live memutar MZ yang suaranya menggerayangi seluruh rumah-rumah warga.
Kalau dipikir-dipikir Nasidaria ini perempuan pendobrak di masanya. Melompati perdebatan halal-haram musik. Sebagian mereka bisa mengiris biola, memetik gitar, dan menghantam gendang. Saya juga suka dengan suara mereka yang fasih.
Dari beberapa tulisan dan berita, saya tahu Nasidaria ini didirikan pasangan suami istri Muhammad Zain dan Mudrika pada 1975 di daerah Kauman Semarang. Zain pegawai Kementerian Agama ketika itu yang juga pengajar qiraah, seni membaca al-Quran. Mudrika yang menjadi satu dari sembilan anggota Nasidaria adalah orang yang saban hari mengasuh grup ini.
Nasidaria punya pencipta lirik berbakat: Kiai Haji Buchori Masruri. Ia tokoh agama dan penceramah asal Semarang yang rupanya juga mencintai seni memahat kata-kata. Sejumlah lirik lagu grup kasidah ini lahir dari tangannya. Ketika Gus Dur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kiai Masruri menjadi Ketua Pengurus Wilayah Jawa Tengah.
Tapi, untuk urusan Nasidaria, Kiai Buchori tak menggunakan nama itu. Ia menggunakan kunyah, nama panggilan, Abu Ali Haidar. Maksudnya, Bapaknya Ali Haidar. Artinya, Ali Haidar adalah salah seorang anak dari Kiai Buchori.
Ngomong-ngomong Ali Haidar saya jadi ingat lelaki yang saya sapa Mas Haidar. Namanya lengkapnya Ali Haidar. Pertama kali kami bertemua di Piramida Circle, forum kajian yang kebanyakan sahabat-sahabat PMII Cabang Ciputat. Kulitnya kecoklatan dengan rambut lurus. Kata-katanya seperti terpilih agar lawan bicaranya tak tersinggung. Ia senang humor dan sering memberikan kami jajanan dan uang untuk ngopi , teman diskusi.
Mas Haidar salah seorang pendiri Piramida. Saat menjadi mahasiswa IAIN, ia juga aktif di PMII. Itu saja yang saya tahu ketika itu. Padahal kami sering bertemu. Sebab ia memang sering berkunjung ke Piramida, ngobrol, dan main karambol. Kami bersedih sekali pada 2018, Mas Haidar “pergi”. Saya baru tahu belakangan nama Ali Haidar yang dipakai Kiai Buchori itu memang nama Mas Haidar Piramida. []