Mubadalah– Konsepsi aurat dan fitnah yang dilekatkan pada perempuan masih saja menghantui ruang gerak perempuan di tengah terbukanya lebar peluang dan akses yang terbuka saat ini.
Masyarakat muslim mendasarkan stereotype ini kepada sejumlah teks hadis. Di mana secara literal menyebutkan bahwa perempuan adalah aurat, atau perempuan ialah fitnah terberat bagi laki-laki.
Pemahaman Tekstual terhadap Hadis Perempuan adalah Aurat dan Fitnah Terberat bagi Laki-Laki
Hadis yang kerap muncul berkenaan dengan stereotype bahwa perempuan adalah aurat yang harus kita jaga, tertutup, dan kita batasi aktivitas keluar rumah. Sebagaimana salah satu riwayat hadis Imam al-Tirmidzi berikut, “Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki”.
Berkaitan dengan konsepsi fitnah yang lekat dengan perempuan, salah satu hadis riwayat Imam Muslim menyatakan , ‘Sepeninggalku, tidak ada (sumber) bencana yang lebih besar bagi laki-laki selain dari pada wanita.’
Redaksi hadis ini mengisyaratkan secara literal bahwa pesona perempuan sebagai bagian dari fitnah yang membahayakan laki-laki.
Pada redaksi hadis pertama, al-Mubārakfūrī dalam syarahnya, Tuhfat al-Ahwadhi, menjelaskan bahwa apabila perempuan keluar rumah dan menampakkan perhiasannya, maka hal itu bisa mendatangkan gangguan dari setan yang akan menggodanya. Dan perempuan itu tidak lepas dari godaan tersebut.
Oleh karenanya, tidak bisa kita hindarkan salah satu dari mereka, atau keduanya akan terjatuh dalam fitnah. Setan dalam hal ini tertuju pada setan yang menyerupai manusia, karena perilaku dan sikapnya yang menyamai setan.
Implikasi Pemahaman Hadis secara Tekstual terhadap Akses dan Kontrol Perempuan
Pemahaman tekstual terhadap kedua hadis di atas tampak mengarah pada wacana peneguhan identitas perempuan sebagai makhluk sekunder, makhluk domestik, dan seksual.
Dalam masyarakat, pandangan ini turut melahirkan asumsi, pandangan, dan norma-norma sosial yang hanya tertuju bagi perempuan.
Perempuan harus menutup rapat seluruh tubuhnya dengan baju berwarna hitam penuh, tidak boleh berhias untuk umum, haram menyambung rambut, mencukur alis, menggambar di tubuhnya, membuka suara kepada orang lain, bahkan membagikan profil fotonya di media social.
Jika terjadi tindakan pelecehan, maka stereotype yang berkaitan dengan aurat dan fitnah perempuan akan menempatkan perempuan sebagai sumber penyebabnya.
Seks bebas, kehamilan di luar nikah, kekerasan, dan perkosaan bisa terjadi karena kehadiran tubuh perempuan di tempat-tempat yang dianggap tidak semestinya.
Jika menggunakan cara pandang sad al-dhari’ah yang di gunakan oleh ulama, maka ruang-ruang publik, pasar, sekolah, jalanan umum, transportasi publik, gedung-gedung pemerintahan, bahkan masjid-masjid di anggap sebagai tempat yang tidak semestinya bagi perempuan.
Bahkan, seringkali masyarakat kita menyamakan perempuan dengan harta dan tahta. Tentu saja kita pernah mendengar ujaran: harta, tahta, wanita, sebagai tiga hal yang menjadi potensi negatif dalam kehidupan seseorang.
Stereotype ini juga muncul dalam pemikiran keagamaan yang cenderung melarang perempuan untuk memimpin salat, memegang jabatan publik yang paling rendah sekalipun, apalagi memimpin Negara.
Stigma Perempuan Penggoda
Dalam pemikiran ini, ada kekhawatiran bahwa kehadiran tubuh perempuan di depan jama’ah salat bisa mengganggu kekhusyukan. Lalu membuyarkan konsentrasi mereka dalam beribadah kepada Allah.
Tubuh –tubuh perempuan juga mereka harapkan tidak duduk dalam jabatan-jabatan publik. Karena kehadirannya hanya akan menggoda masyarakat dan memalingkan perhatian mereka dari tugas-tugas mulia yang semestinya dikerjakan sebagai pejabat dan pelayan masyarakat.
Konsepsi mengenai aurat perempuan turut menjadi landasan untuk menetapkan bahwa berdiamnya perempuan di rumah merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Begitu pula, salatnya perempuan di rumah kita anggap lebih baik.
Daya tarik dan pesona yang berasal dari perempuan memicu kekhawatiran ketika ia keluar rumah. Sampai di sini, asumsi bahwa perempuan aurat dan sumber fitnah turut membatasi akses perempuan masuk dalam ruang-ruang keagamaan.
Lies Marcoes bahkan mengatakan, kuatnya anggapan konsep aurat dan fitnah perempuan sudah seperti dua alat pukul yang sangat mematikan bagi segala macam upaya untuk melakukan pembebasan perempuan. Menurut analisis akses, perbedaan gender yang demikian bisa memengaruhi akses individu terhadap sumber daya dan kontrol atas keputusan dalam berbagai aspek kehidupan.
Tawaran Alternatif Pemahaman Hadis Aurat dan Fitnah Perempuan di Era Kontemporer
Terkait dengan topik ini misalnya, Faqihuddin A. Kodir menulis pembahasan khusus yang me-reinterpretasi-kan kedua makna hadis di atas. Bahkan ia menulis buku yang ia beri judul Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah. Di satu sisi ia menyepakati bahwa perempuan memang berpotensi menjadi sumber fitnah, sebagaimana sabda Nabi Saw.
Dalam perspektif mubādalah, ia menambahkan catatan bahwa potensi ini pun juga bisa datang dari laki-laki. Hal ini merujuk pada makna term fitnah yang bermakna pesona, atau potensi yang bisa menggiurkan dan menggoda orang lain.
Fitnah bisa datang dari manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Namun di sisi lain, ia melanjutkan, bahwa perempuan juga bisa di katakan bukan sumber fitnah. Perempuan juga memiliki potensi sebagai sumber hikmah, ilmu pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman spiritual yang menginspirasi banyak ulama.
Ia menegaskan bahwa maksud utama hadis Nabi Saw sebenarnya lebih menekankan agar laki-laki menjaga diri dan waspada terhadap fitnah perempuan. Bukan malah mendiskriminasi dan menyudutkan perempuan. Apalagi mengekang perempuan dengan aturan-aturan yang menyulitkan.
Faqihuddin juga membahas makna hadis tentang perempuan adalah aurat riwayat al-Tirmidzi secara khusus dalam buku tersebut. Menurutnya, makna aurat dalam hadis ini bukan sekedar makna aurat secara fisik badaniyah yang seksual, melainkan lebih utuh secara sosial.
Ia kemudian memaknai bahwa ‘perempuan adalah aurat’ ketika lemah, bodoh, mudah terperdaya, mudah menjadi alat oleh individu atau pihak-pihak tertentu untuk memperdaya dan menghancurkan masyarakat secara umum.
Sebaliknya, jika mereka menjadi kuat, pintar, mandiri, bijak, dan paham situasi, sehingga mereka tidak mudah terperdaya, maka mereka bukan lagi aurat. Hal ini pun secara mubadalah, berlaku pula bagi laki-laki.
Pandangannya ini menjadi alternatif makna yang cenderung baru dalam memaknai konsep aurat. Pandangan demikian sebelumnya juga sudah di utarakan oleh mufassir kenamaan Indonesia, Quraish Shihab. Ia menekankan bahwa konsep aurat bukanlah semata-mata tertuju pada aspek fisik, tetapi juga mencakup aspek moralitas.
Perlunya Membaca Hadis secara Kontektsual demi Penguatan Misi Kesetaraan
Dengan demikian, penulis menilai perlunya mendekati ajaran agama dengan pemahaman kontekstual agar dapat memberikan kontribusi positif terhadap peran dan akses perempuan dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Penyadaran dan penguatan bahwa perempuan setara dengan laki-laki penting guna membuatnya lebih berdaya dan masyarakat merubah serta menghilangkan pandangan yang bias terhadap keduanya.
Dengan begitu, tidak ada lagi alasan yang membatasi perempuan mendapatkan akses lebih luas untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin, atau menempati posisi dan jabatan tertentu. Perempuan juga memiliki kendali atas diri, dan tidak melulu terbatasi gerak langkahnya, karena persoalan aurat dan fitnah. []