Mubadalah.id – Pandangan-pandangan keagamaan klasik tentang posisi dan langkah perempuan kini berhadapan dengan perspektif modernitas yang semakin terbuka lebar.
Keterbukaan ruang bagi perempuan untuk mengikuti pendidikan sampai setinggi-tingginya telah melahirkan kemampuan-kemampuan (alahliyah) mereka dalam segala urusan yang sebelumnya diklaim hanya menjadi milik laki-laki.
Persepsi tendensius bahwa kaum perempuan kurang rasional, lebih emosional, dan kurang kompeten menangani urusan domestik dan publik daripada kaum laki-laki kini telah gugur dan tak lagi populer. Kaum perempuan kini tengah bergerak merengkuh masa depannya dan mengubur masa lalu yang suram dan penuh nestapa.
Sejak awal abad 20, sejumlah negara Islam menggeliat, menggugat otoritas patriarkis. Pemingitan dan peminggiran perempuan dari ruang publik/politik kita sadari telah merugikan semua orang.
Status perempuan dalam hukum pada akhirnya harus mengalami perubahan setahap demi setahap dan dari waktu ke waktu.
Melalui amendemen dan revisi demi revisi atas UU di negara-negara tersebut, hak-hak perempuan mengalami kemajuan demi kemajuan. Perempuan-perempuan muncul dalam ruang-ruang sosial, politik, ekonomi, dan budaya berdampingan secara sinergis dengan kaum laki-laki.
Kemudian, agaknya, rakyat hari ini tak lagi bisa menolak kehadiran mereka. Meski masih belum cukup proporsional (adil), tetapi cita-cita dan langkah perempuan untuk membangun masa depannya semakin terbuka lebar.
Ini sejalan dengan al-Qur’an yang menyatakan, “Laki-laki dan perempuan beriman (untuk) saling bekerja sama. Mereka (Allah perintahkan) untuk menegakkan kebaikan dan menghapuskan kemungkaran. (QS. at-Taubah (9): 71). []