Mubadalah.id – Beberapa hari menjelang wafatnya, Nabi Muhammad Saw mengundang para sahabatnya. Beliau ingin menyampaikan isi hatinya.
Namun, meski beliau seorang nabi yang senantiasa menjaga diri dan telah bertindak benar serta mendapat jaminan Tuhan masuk surga. Tetapi beliau juga seorang manusia yang tidak menutup diri dari kemungkinan salah atau orang lain merasa disakiti hatinya tanpa beliau sengaja. Karena itu, kepada para sahabatnya, beliau membuka diri bagi kemungkinan itu.
Nabi Muhammad Saw ingin segala hal yang berhubungan dengan hak-hak orang lain dapat diselesaikan sebelum pergi meninggalkan mereka selama-lamanya. Kepada mereka, beliau mengatakan,
“Sahabat-sahabat, jika ada di antara kalian yang punggungnya pernah kusakiti, maka inilah punggungku, silakan membalas. Jika ada di antara kalian yang kehormatan dirinya pernah kulukai, maka inilah kehormatanku, balaslah. Dan jika ada di antara kalian yang hartanya pernah kuambil, maka inilah pertama adalah, “Hai anak Adam, jika kamu tidak lagi punya rasa malu, maka kerjakanlah apa saja semaumu.”
Senada dengan hadits tersebut, sebuah syair Arab menyatakan:
“Jika engkau tiada peduli kehormatan diri Tidak takut pada Tuhan. Tidak takut kepada orang lain Kerjakan apa saja semaumu. Suatu hari, Nabi Muhammad Saw pernah menyampaikan kepada para sahabat tentang pentingnya memiliki rasa malu kepada Allah. Mereka spontan dan serentak menjawab, “Kami, alhamdulillah, sungguh-sungguh merasa malu kepada Allah.”
Namun, Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Bukan begitu, itu tidak cukup. Merasa malu kepada Allah adalah menjaga kepala dan pikiranmu (dari kecenderungan-kecenderungan yang buruk dan jahat), perut dan isinya (dari memakan harta yang bukan hak miliknya). Serta mengingat mati dan kebinasaan” (HR. Tirmidzi dan Thabrani).
Maka, upaya kita untuk mengatasi kerusakan sosial adalah bagaimana menumbuhkan kembali akhlak (budaya) “malu” tersebut di tengah-tengah masyarakat. []