Mubadalah.id – Masih dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional, Redaksi Mubadalah.id menghimpun lima perempuan inspiratif dari jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Di mana mereka telah memberikan kontribusi dan karya nyata untuk kemajuan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Lima perempuan inspiratif ini berasal dari ujung Barat hingga Timur Indonesia.
Suraiyya Kamaruzzaman
Suraiya Kamaruzzaman atau yang akrab kita sapa Kak Aya banyak terlibat dalam upaya penyelesaian konflik di Aceh bersama kelompok perempuan. Dalam wawancaranya dengan BBC ia menuturkan bahwa pada bulan Februari 2000, perempuan-perempuan Aceh menyelenggarakan Duek Pakat Inong Aceh (Kongres Perempuan Aceh yang pertama) di mana ia menjadi Ketua Steering Comitte.
Hadir dalam kongres 500 perempuan dari berbagai kabupaten/kota dan latar belakang yang berbeda-beda dengan mengangkat tema perempuan dan perdamaian.
Suraiya berpendapat bahwa upaya awal penyelesaian konflik Aceh melalui dialog damai itu dilakukan oleh perempuan. Paska Kongres, Suraiya bersama empat perempuan Aceh menghadap Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid untuk mengusulkan agar penyelesaian konflik di Aceh mereka laksanakan dengan mengedepankan dialog damai dan menghentikan pendekatan militerisme.
Mereka juga menyampaikan seluruh hasil rekomendasi dari kongres Perempuan Aceh. Namun lima tahun kemudian, ketika kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM tertandatangani di Helsinki, Finlandia, di antara lima tim negosiator resmi yang mewakili kedua belah pihak tidak ada satu pun yang melibatkan perempuan.
Akibatnya, permasalahan perempuan di wilayah konflik luput dari topik penting yang mereka diskusikan. Selain itu juga tidak menjadi bagian kesepakatan di dalam MOU perdamaian. Dengan kata lain, secara formal mereka sudah menafikan peran krusial perempuan di dalam dialog perdamaian.
Aktif Berkampanye Pemenuhan Hak Perempuan di Aceh
Selama konflik bersenjata di Aceh, Suraiya aktif mengkampanyekan pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh di berbagai wilayah di Indonesia dan berbicara ke berbagai negara melalui konferensi-konferensi. Ia juga melakukan lobby atau mengikuti sidang-sidang PBB di Geneva.
Pada acara the 49th CEDAW session, di New York, dengan dukungan IWRAW (International Women’s Rights Action Watch) Asia Pacific, ia menyampaikan ‘’An Oral and Written Statement on Aceh, Commencing the Committee’s Process of Elaborating a General Recommendation on Women in Conflict and Post-conflict Situations”.
Tujuan dari rekomendasi umum ini adalah untuk memberikan masukan yang tepat kepada Negara yang ikut menandatangani Konvensi CEDAW. Yakni tentang tindakan yang akan diambil untuk memastikan kepatuhan dengan kewajibannya dalam rangka melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak asasi perempuan selama masa konflik bersenjata. Dalam semua proses pembangunan perdamaian, yang meliputi masa-masa segera setelah konflik dan rekonstruksi paska-konflik jangka panjang.
Suraiya juga mempromosikan partisipasi Perempuan dalam perdamaian melalui tulisan yang termuat di berbagai media. Pada tahun 2009, ia menjadi Gender Analysis Consultant bagi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang difasilitasi UNFPA. Yakni untuk memberikan masukan-masukan tentang prinsip keadilan, Gender mainstreaming, dan konsep Resolusi UNSRCS 1325 pada draft UU Konflik Sosial.
Siti Mahmudah
Pada tahun 2015 Mahmudah terpilih sebagai peserta program The Partnership in Islamic Education Scholarship (PIES). Program ini berupa studi jangka pendek di Austalian National University (ANU) Canberra-Australia selama dua semester untuk proses penyelesaian disertasi.
Disertasi yang ia tulis di bawah bimbingan Prof. Virginia Hooker ini terseleksi sebagai disertasi terbaik periode 2016/2017 di Program Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Karya ini juga membawa Siti Mahmudah menjadi salah satu Peneliti Muda Indonesia terbaik 2017. Lalu mengantarkan tulisannya untuk dibukukan bersama karya lainnya dalam buku Muslim Subjectivity: Spectrum Islam Indonesia.
Disertasi tersebut berhasil tercetak menjadi buku dengan judul “Historisitas Syari’ah Islam: Kritik Relasi-Kuasa Khalil Abdul Karim” pada bulan Juni 2016. Peluncuran buku tersebut bersamaan dengan acara orientasi mahasiswa baru S2 dan S3 Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 16 September 2016.
Meneguhkan Watak Islam Indonesia
Buku Historisitas Syariah tersebut juga telah terpilih untuk dibedah pada Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) pada 1-4 November 2016 di UIN Raden Intan Lampung. Sebagai pembahas bedah buku adalah Prof. Noorhaidi Hasan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Prof. Dr. Amany Lubis, MA dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mahmudah mengangkat tulisan berjudul “Islam and Local Traditions; The Study of the Thinking of Abdurrahman Wahid (1940-2009) and Khalil Abdul Karim (1930-2002); an Indonesian and Egyptian Perspective sebagai hasil penelitian yang ia lakoni secara serius selama dua bulan antara Februari-Maret 2018, di Australian National University (ANU) Australia.
Hasil riset Mahmudah yang bersifat studi kasus dan komparatif ini meneguhkan watak Islam Indonesia yang damai dan terus berdialektika secara produktif dengan budaya lokal. Secara khusus riset ini melihat nilai substantif Islam damai tersebut dari perbandingan antara pengalaman dan pemikiran tokoh Indonesia.
Ida Nurhalida
Praktik adil gender dan praktik mubadalah telah Ida Nurhalida lihat dari kehidupan orang tuanya. Hal ini menjadi inspirasi dan teladan baginya. Sehingga dengan kemampuan dan previlegenya, perempuan yang akrab kita sapa Neng Ida ini, aktif menjabat sebagai ketua di berbagai lembaga sejak usia muda.
Pada tahun 2002-2015, ia adalah ketua Fatayat tingkat cabang Tasikmalaya sekaligus menjadi ketua Fatayat tingkat Wilayah Tasikmalaya. Di organisasi Muslimat menjadi wakil sekretaris. Tapi saat ini ia menjabat sebagai bendahara. Neng Ida merupakan pengasuh pondok pesantren Cipasung Tasikmalaya. Perannya saat ini sebagai Pembina santri asrama putra dan putri.
Tidak hanya itu, ia juga menjabat sebagai Pembina Majelis Taklim di Ponpes Cipasung, dan aktif di MUI Kabupaten Tasikmalaya sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga (P3AK). Lalu ketua kelompok kerja kepala madrasah, wakil ketua persatuan guru madrasah, dan ketua himpunan pegiat adiwiyata Indonesia Kabupaten Tasikmalaya.
Tanpa menyebut istilah gender dan mubadalah, Neng Ida mengedukasi masyarakat melalui majelis taklim untuk memberikan kesempatan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan. Juga memberikan pemahaman dan kepercayaan diri bahwa menjadi ibu rumah tangga itu memberikan peran yang luar biasa di rumah.
Aktif Berceramah
“Bayangin saja kalau semua hal yang kita kerjakan harus kita nilai dengan uang, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan oleh suami?” jelasnya.
Karena ceramah Neng Ida di linkungan masyarakat, saat ini angka partisipasi masyarakat untuk menyekolahkan anaknya sampai kuliah sudah lumayan tinggi. Di sekolah tinggi tekonologi yang ia bangun bersama suaminya, banyak mahasiswa yang berasal dari warga Tasikmalaya.
Dalam memberikan ceramah kepada masyarakat, ia pun kerap menghadapi tantangan seperti adanya para kyai yang menyampaikan materi yang masih bias gender. Selain itu pandangan masyarakat yang tidak menghargai perempuan atau menyalahkan perempuan ketika terjadi perceraian, dan pemberian label negatif kepada janda.
Meskipun begitu, ia berusaha untuk memutus mata rantai patriarki melalui generasi muda, siswa dan siswinya di lembaga pendidikan.
“Persinggungan saya dengan Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina, KUPI itu semakin menguatkan tekad, saya berjihad di sini untuk membantu perempuan melalui anak-anak, melalui siswa siswi. Agar yang laki-laki tidak jadi pelaku dan yang perempuan tidak jadi korban.” tegasnya.
Alimatul Qibtiyah
Di Pusat Studi Wanita (PSW) Alimatul Qibtiyah mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan isu gender. Ia bertemu dengan mentor seperti Ruhaini Dzuhayatin dan Ema Marhumah untuk mematangkan konsep-konsep gender. Sejak tahun 2000 ia diajak oleh Susilaningsih Kuntowijoyo untuk terlibat dalam Pimpinan Pusat Aisyiyah.
Semenjak itulah Alim aktif di ‘Aisyiyah di Majelis Dikti, Majelis Tabligh, di LPPA (Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah), PP ‘Aisyiyah. Lalu sebagai anggota di Majelih Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang fokus terhadap isu perempuan dan anak.
Alim sangat bersyukur mendapat kesempatan untuk berproses di Majelis Tarjih (MTT) dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia bertemu alim ulama dan cendekiawan baik dari tradisi Timur Tengah maupun dari Tradisi Barat.
Sejak tahun 1995, banyak perempuan sudah mulai masuk di kepengurusan MTT Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Saat Ketua Umum ‘Aisyiyah dijabat oleh Elyda Djasman, Profesor Chamamah menjadi anggota perempuan MTT. Pada periode 2015-2022 ada sekitar 6% anggota pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang menjadi anggota pimpinan MTT.
Di Lembaga fatwa Muhammadiyah ini, Alim terlibat dalam tim tuntunan keluarga sakinah, fikih perlindungan anak, fikih difable, dan fikih amaliyah laki-laki dan perempuan perspektif Muhammadiyah. Sampai artikel ini tertulis, baru Tuntunan Keluarga Sakinah yang sudah disahkan atau ditanfid oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara karya lainnya masih proses finalisasi.
Alim juga sering diundang untuk pembahasan Tafsir at-Tanwir. Tak heran jika Panitia Seleksi Komnas Perempuan menyebutnya sebagai tokoh di balik putusan-putusan progresif Muhammadiyah.
Fatmawati Hilal
Ketertarikan Fatmawati pada isu perempuan telah tumbuh sejak kecil. Ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di mana ia mulai gelisah melihat ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki. Kegelisahannya tersebut juga ia tuliskan di buku harian dan sesekali ia berdiskusi bersama teman-temannya.
Sensitivitas Fatmawati makin terasah manakala ia mulai melihat bahwa perempuan memiliki berbagai persoalan dalam hidupnya. Permasalahan perempuan yang kerap ia temui adalah kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan kekerasan terhadap anak.
Ada pula persoalan terkait hambatan perempuan dalam memimpin, karena adanya stigma bahwa perempuan bukanlah sosok yang mampu menjadi pemimpin. Berdasarkan situasi tersebut, Fatmawati kemudian mengangkat isu-isu perempuan dalam setiap ceramah maupun diskusi di kampus. Terutama setelah ia terlibat dalam kegiatan KUPI.
Hal ini ia lakukan untuk mengedukasi jamaah maupun mahasiswanya, bahwa Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang harus terpenuhi hak-haknya.
Isu-isu yang sering ia sampaikan adalah relasi suami-istri di dalam rumah tangga, khitan perempuan, dan ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat. Dalam memberikan ceramah maupun forum diskusi, Fatmawati selalu menggunakan dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga jamaah maupun mahasiswa merespon dengan baik materi yang ia sampaikan.
Melalui upaya tersebut, gerakan dakwah Fatmawati mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dan secara perlahan memberikan dampak perubahan di masyarakat.
Pendampingan Korban Kekerasan
Fatmawati juga memberikan pendampingan korban kekerasan. Dalam catatan pengalamannya, suatu ketika ia mendengar seorang tetangga menangis histeris dengan suara-suara pukulan. Fatmawati memberanikan diri mendatangi rumah korban ketika suaminya keluar rumah. Ia mendapati paha korban lebam hitam karena hantaman balok kayu.
Fatmawati lantas mencarikan bantuan hukum untuk menghentikan kekerasan yang mungkin bisa berakibat lebih fatal bagi korban. Fatmawati juga menghubungi rekannya yang bekerja di lembaga bantuan hukum untuk segera mencari shelter agar dapat menampung korban.
Korban akhirnya tertolong dan pelaku masuk penjara. Kisah ini Fatmawati sampaikan dalam terbitan Swararahima berjudul, “Pengalaman Ulama Perempuan Pendamping Kasus Kekerasan” yang diunggah di Instagram Swararahima pada November 2020.
Fatmawati memiliki pengalaman sebagai pembicara atau narasumber di sejumlah acara, baik seminar, lokakarya, pelatihan, maupun halaqah di berbagai kampus di sekitar Makassar Sulawesi Selatan.
Demikian lima perempuan inspiraitif versi Redaksi Mubadalah.id yang terangkum melalui tokoh para ulama perempuan di laman Kupipedia.id. Semoga bermanfaat, dan kita semua bisa mengikuti jejak mereka, terutama dalam momentum peringatan Hari Perempuan Internasional 2024 ini. []