Mubadalah.id – Pada konteks ini, ayat-ayat al-Qur’an, termasuk surat an-Nisa ayat 3 turun untuk melakukan pembelaan dan pembebasan terhadap mereka dengan bersandar pada moralitas keadilan. Untuk memperkuat pandangan ini, kita bisa mengutip berbagai pandangan penafsiran para ulama dalam kitab-kitab tafsir.
As-Samarqandi (w. 375H) misalnya, menyatakan mengenai ayat an-Nisa ayat 3:
“(Orang-orang pada saat itu) mengawini perempuan sejumlah yang mereka suka, kemudian turunlah ayat ini. Maksud ayat adalah Jika kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil terhadap para anak yatim, kamu juga hendaknya takut untuk tidak berbuat adil terhadap istri-istri, jika kamu berpoligami.”
Dalam penjelasannya, ayat an-Nisa turun ketika orang-orang pada saat itu mempraktikkan poligami sesuka mereka. Mereka tidak merasa takut bertindak tidak adil ketika mempoligami perempuan. Sementara mereka merasa takut bertindak tidak adil terhadap anak yatim.
Padahal keduanya berpotensi terhadap tindak kesewenang-wenangan. Ketidak-takutan terhadap tindak ketidakadilan poligami ini yang dikritik ayat an-Nisa.
Dalam pandangan Imam al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa ayat an-Nisa turun untuk memperingatkan kesewenang-wenangan masyarakat terhadap perilaku poligami.
Dalam penafsirannya, ayat an-Nisa datang memerintahkan seseorang untuk menikah sesuai kemampuan memenuhi tanggung jawab terhadap perempuan. Terutama untuk berbuat adil. Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Baidhawi menyatakan:
“Nikahilah sejumlah perempuan sesuai dengan kemampuan kamu, yang memungkinkan kamu bisa memenuhi kewajiban. Orang yang takut akan suatu dosa, ia semestinya menjauhi dari segala kemungkinan dosa. Ketika Allah menganggap perlakuan terhadap anak yatim sebagai sesuatu yang besar, banyak orang merasa khawatir untuk memelihara mereka.”
“Tetapi mereka tidak pernah merasa khawatir terhadap poligami, yang sebenarnya juga berpotensi terjadinya perlakuan semena-mena. Ayat ini turun untuk memberi peringatan terhadap kemungkinan perlakuan semena-mena tersebut.” []