Mubadalah.id – Jika kita sepakat, bahwa perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-laki memiliki perasaan, keinginan, kebutuhan dan penghargaan yang sama sebagai manusia. Maka kritik poligami juga harus kita teruskan dan tempatkan pada koridor posisi kemanusiaan perempuan yang sama dengan kemanusiaan laki-laki.
Hal ini sebagaimana az-Zamakhsyari tegaskan bahwa ia memilih monogami dengan dasar prinsip keadilan. Ajakan ini seharusnya sudah bisa menghentikan perdebatan ulama mengenai makna keadilan, apakah keadilan fisik atau keadilan non-fisik. Al-Qur’an sendiri tidak menjabarkan makna keadilan tersebut.
Sehingga banyak orang mencoba memaknai sesuai dengan konteks masing-masing. Pada konteks di mana poligami masih menjadi tradisi dan budaya, keadilan akan mereka maknai sebagai sesuatu yang bersifat fisik. Karena sesuatu yang bersifat non-fisik, sangat tidak mungkin untuk bisa ia bagi secara adil.
Perdebatan keadilan fisik dan non-fisik, pada saat ini sudah tidak relevan lagi. Karena, pada praktiknya yang nonfisikpun seringkali melahirkan ketidak-adilan fisik. Di samping keadilan fisikpun tidak mudah menerapkannya pada tataran realitas sekarang.
Saat ini, kita sudah harus menegaskan bahwa keadilan adalah sesuatu yang prinsip, yang harus menjadi pertimbangan pilihan monogami atau poligami. Monogami-poligami adalah sesuatu yang parsial, yang tidak bisa mengangkangi prinsip dasar untuk berlaku adil, dengan tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
Praktiknya, makna keadilan akan selalu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemungkinan. Jika yang menjadi prinsip utama justru ‘poligami harus diperbolehkan’, apalagi ‘dianjurkan’.
Jika ‘poligami diperkenankan’ menjadi prinsip utama, maka keadilan sebenarnya hanya merupakan suplemen belaka. Karena ketika poligami ‘harus’ diperbolehkan, maka prinsip keadilan sebisa mungkin ditafsiri agar poligami tetap dilangsungkan dan diperkenankan. []