Mubadalah.id – Di tengah dunia yang sering kali tidak ramah terhadap perempuan dan kebebasan berekspresi, hadir sosok Sakdiyah Ma’ruf, seorang komika perempuan yang menantang stigma dengan humornya.
Sakdiyah dikenal sebagai salah satu komedian stand-up perempuan pertama di Indonesia yang berhasil memadukan komedi dengan kritik sosial secara cerdas. Ia menggunakan komedi sebagai media untuk menyuarakan isu-isu penting seperti hak-hak perempuan, kebebasan berekspresi, dan tantangan yang perempuan Muslim hadapi di masyarakat.
Sakdiyah lahir di keluarga Arab-Indonesia yang tradisional. Meski ia besar dalam lingkungan yang memegang teguh nilai-nilai agama, Sakdiyah tumbuh dengan kecintaan pada seni, terutama pada komedi. Ia mengidolakan komedian seperti Jerry Seinfeld dan George Carlin, yang humornya tidak sekadar menghibur, tetapi juga mengangkat isu-isu penting dalam kehidupan sehari-hari.
Saya pernah menyangka bahwa Sakdiyah Ma’ruf adalah anak dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin karena kemiripan nama mereka. Kesamaan nama “Ma’ruf” membuat saya berpikir bahwa mereka memiliki hubungan keluarga. Namun, ternyata dugaan itu keliru.
Meskipun berbagi nama belakang yang sama, Sakdiyah Ma’ruf dan Ma’ruf Amin tidak memiliki hubungan keluarga. Sakdiyah adalah seorang komika yang sukses dengan pendekatan komedi yang kritis dan berani. Sementara Ma’ruf Amin adalah tokoh ulama dan politikus senior yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia.
Panggung Stand-up Comedy
Menemukan jalan ke panggung stand-up comedy bukan hal yang mudah bagi Sakdiyah. Di Indonesia, dunia komedi cenderung didominasi oleh laki-laki. Perempuan sering kali ditempatkan dalam peran stereotipis yang terbatas. Namun, Sakdiyah mampu mengubah pandangan ini dengan pendekatannya yang unik dan gaya komedi yang sarat pesan moral serta kritik terhadap realitas sosial.
Yang membuat Sakdiyah begitu unik adalah keberaniannya mengangkat isu-isu yang jarang terbahas di ruang publik, terutama di ranah komedi. Melalui lelucon-leluconnya, ia berbicara tentang kehidupan sebagai perempuan Muslim di Indonesia. Tantangan patriarki, diskriminasi, hingga isu-isu politik. Salah satu hal yang sering ia sentil adalah tentang stereotip terhadap perempuan Muslim yang ia anggap tidak bebas atau terbelakang.
Sakdiyah dengan berani mematahkan anggapan ini melalui humornya yang tajam namun penuh respek. Misalnya, ia kerap menyoroti bagaimana orang-orang kerap salah paham tentang jilbab yang ia kenakan. Lalu bagaimana keputusan pribadi seperti itu sering kali dihakimi oleh orang-orang di sekitarnya.
Dengan cerdas, ia menertawakan perdebatan tentang pilihan berpakaian dan memperlihatkan bahwa seorang perempuan bisa kuat, cerdas, dan independen tanpa harus meninggalkan identitasnya sebagai Muslim.
Menyoroti Isu Kemanusiaan
Selain soal identitas, Sakdiyah juga berani menyoroti isu-isu yang lebih besar. Seperti ketidakadilan gender, kekerasan berbasis gender, dan bahkan isu ekstremisme. Dalam setiap penampilannya, ia tidak hanya mengundang tawa, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang topik-topik yang sering kali kita anggap tabu.
Menjadi seorang perempuan, Muslim, dan komedian tentu menghadirkan tantangan tersendiri. Sakdiyah harus menghadapi kritik dari berbagai pihak yang menganggap bahwa komedi bukanlah tempat bagi perempuan. Apalagi bagi seorang Muslimah yang dianggap seharusnya lebih ‘sopan’. Namun, Sakdiyah tidak gentar. Ia justru menggunakan kritik-kritik tersebut sebagai bahan bakar untuk semakin memperkuat suaranya.
Di satu sisi, ia harus menjaga keseimbangan antara menjadi seorang Muslimah yang taat dan seorang komika yang bebas berekspresi. Di sisi lain, ia juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa banyak audiens yang masih belum terbiasa melihat perempuan membahas isu-isu serius dengan pendekatan humor.
Namun, melalui ketekunan dan keberanian, Sakdiyah mampu membuktikan bahwa perempuan bisa bersuara lantang dan tetap mendapat tempat di dunia hiburan yang keras.
Meraih Penghargaan Bergengsi
Selain menjadi finalis pertama di acara Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV pada tahun 2011, Sakdiyah Ma’ruf juga berhasil meraih penghargaan bergengsi Vaclav Havel International Prize for Creative Dissent pada tahun 2015.
Penghargaan ini ia terima dalam sebuah acara di Oslo, Norwegia, di mana Diyah memperoleh penghormatan atas karyanya di bidang stand-up comedy. Pengakuan internasional ini menjadi salah satu tonggak penting dalam karirnya. Selain itu, pada tahun 2018, nama Diyah masuk dalam daftar 100 wanita paling inspiratif dunia versi BBC atau BBC 100 Women, di mana ia menempati posisi ke-54 dari 100 wanita terpilih.
Penghargaan ini semakin mengukuhkan posisi Sakdiyah sebagai suara penting dalam memperjuangkan kebebasan berekspres. Terutama bagi perempuan di Indonesia dan di dunia Muslim. Ia telah membuktikan bahwa meskipun komedi sering kali dipandang sebelah mata. Namun ketika kita gunakan dengan bijak, bisa menjadi senjata ampuh untuk mengubah pandangan masyarakat dan memperjuangkan hak-hak yang lebih besar.
Simbol Keberanian
Sakdiyah Ma’ruf bukan hanya seorang komika, ia adalah simbol keberanian, kebebasan, dan harapan bagi perempuan-perempuan muda di Indonesia. Dengan humornya, ia membuka jalan bagi perempuan lain untuk berani bersuara, menantang stereotip, dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Dalam setiap penampilannya, Sakdiyah mengajarkan bahwa meskipun dunia sering kali tidak adil, tawa bisa menjadi senjata paling kuat untuk melawan ketidakadilan.
Bagi generasi muda, terutama perempuan, Sakdiyah menjadi contoh bahwa berani menjadi diri sendiri. Dalam segala keunikannya, adalah bentuk perlawanan yang paling kuat. Di panggung komedi, ia membuktikan bahwa perempuan bisa tertawa. Lebih dari itu, bisa membuat dunia tertawa sambil memikirkan kembali keyakinan yang mungkin selama ini tidak pernah mereka pertanyakan.
Sakdiyah Ma’ruf telah mengukir namanya dalam sejarah komedi Indonesia dan dunia. Melalui humornya, ia membawa pesan tentang keadilan, kesetaraan, dan kebebasan berekspresi. Ia menunjukkan bahwa komedi tidak hanya tentang membuat orang tertawa, tetapi juga bisa menjadi alat untuk mengubah pandangan dan memperjuangkan hak-hak yang lebih luas.
Bagi Sakdiyah, menjadi perempuan dan Muslimah bukanlah penghalang untuk berkarya. Justru menjadi identitas yang memperkaya perspektifnya sebagai komika yang tangguh dan berani. []