Mubadalah.id – Kerelaan atau tidak adanya pemaksaan harus mewarnai relasi suami istri. Suami maupun istri harus rela satu sama lain. Dengan itu, kerelaan merupakan unsur penting yang layak berkembang dalam hubungan ini. Pemaksaan, terlebih dengan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pihak bisa dikatakan dekat dengan kezaliman. Perbuatan menegasi isteri dengan meninggalkan perannya dalam proses pengambilan keputusan berpisah juga bisa disebut sebagai tindakan penganiayaan yang melanggar hak asasi isteri.
perceraian yang baik dilakukan melalui jalan dan prosedur yang bersifat edukatif serta etis. Pertama, suami dan isteri saling memberi nasehat. Kedua, pisah tempat tidur antar keduanya. Jika cara kesatu dan kedua tidak membuahkan hasil, maka ketiga, suami dan isteri memberi ketegasan dengan tidak melukai perasaan. Dan keempat, keduanya mendatangi juru damai dan kalau tidak berhasil mesti bersepakat menyelesaikan lewat hakim untuk berpisah dengan baik-baik.
Dengan kata lain, dalam konteks ini, kezaliman relatif mungkin dilakukan suami terhadap isterinya. Mengingat, di satu sisi, pertanda problematika keluarga telah mencapai puncaknya yang bisa jadi sulit dipecahkan. Di sisi lain perempuan pada beberapa kasus sering menjadi korban.
Perceraian berbasis pada kebaikan merupakan peristiwa kontroversial yang berlalu di jalan ahlak yang terpuji. Buruknya persahabatan dan hilangnya kesenangan hidup akibat akhlak tercela bisa dilakukan oleh suami dan isteri.
Karena itu, perceraian yang baik dilakukan melalui jalan dan prosedur yang bersifat edukatif serta etis. Pertama, suami dan isteri saling memberi nasehat. Kedua, pisah tempat tidur antar keduanya. Jika cara kesatu dan kedua tidak membuahkan hasil, maka ketiga, suami dan isteri memberi ketegasan dengan tidak melukai perasaan. Dan keempat, keduanya mendatangi juru damai dan kalau tidak berhasil mesti bersepakat menyelesaikan lewat hakim untuk berpisah dengan baik-baik.
Ayat-ayat perceraian menunjukkan diperkenankannya perceraian yang dilaksanakan dengan cara baik. Ayat yang menyatakan perceraian sesuatu yang halal tetapi dibenci Allah Swt. terkesan tidak sejalan dengan pesan ayat-ayat lain tentang pemberian mut’ah yang mengisyaratkan pengobat luka akibat perceraian. Walaupun didadarkan pada hadis riwayat Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Hakim.
Berpijak pada perspektif logika teologis, Allah tidak akan menciptakan sesuatu yang kontradiktif, membenci sesuatu yang dihalalkan, melainkan menghalalkan sesuatu yang disukai dan melarang yang dibenci.
Logika ini mengisyaratkan bahwa perceraian tidak dilarang atau dapat dilakukan, jika penyelesaian problematika suami isteri menemui jalan buntu, dan apabila perceraian dijadikan alternatif pamungkas. Keberadaannya sebatas menjadi pintu darurat yang mesti dilalui dalam rangka tindakan penyelamatan bersama. Sedangkan yang dibenci-Nya adalah perilaku gegabah dari suami-isteri dalam melakukan perceraian.
Apabila ayat dan hadis mengenai perceraian dikompromikan secara hati-hati, maka agaknya dapat dikatakan bahwa perceraian diperkenankan bila dilakukan dengan cara baik, yaitu pertama, terdapat sebab yang sulit dipecahkan dengan cara selain bercerai. Kedua; penyertaan isteri dalam urun rembug membicarakan persoalan perceraiannya. Ketiga; pemberian mut’ah kepada isteri. Keempat; menempuh prosedur yang pedagogis dan berakhlak tanpa mencaci dan saling membuka keburukan.
Manakala perceraian dilaksanakan dengan cara sebaliknya atau semena-mena, bernuansa kezaliman dan rekayasa, serta berujung dengan perseteruan dan putusnya tali silaturahim, maka kiranya dapat dinilai bahwa perceraian macam ini tegolong sesuatu yang halal, tetapi dibenci Allah Swt.[]